Saatnya
BI Mendorong Inflasi Agus Herta Sumarto ; Ekonom Indef dan Dosen FEB Universitas Mercu
Buana |
KOMPAS, 10 September 2021
Pada
16 Agustus, Presiden Joko Widodo telah menyampaikan pidato pengantar RAPBN
2022 pada Rapat Paripurna DPR. Pada
pidato tersebut Presiden menyampaikan beberapa poin penting yang akan
dilakukan pemerintah pada 2022 mendatang, terutama terkait upaya pemulihan
ekonomi pascapandemi Covid-19. Sebagaimana
yang sudah kita ketahui, pandemi Covid-19 telah menimbulkan efek domino yang
sangat besar terhadap kondisi perekonomian Indonesia. Sejak triwulan II-2020
hingga triwulan I-2021, ekonomi Indonesia mengalami kontraksi yang cukup
dalam yang menjadikan Indonesia berada dalam zona resesi ekonomi. Tingkat
pengangguran bertambah, angka kemiskinan meningkat dan roda perekonomian
nasional hampir berhenti total. Namun
di triwulan II-2021, untuk pertama kalinya selama periode pandemi, Indonesia
berhasil mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang positif. Hal ini seolah-olah
memberikan asa dan menjadi momentum bagi pemerintah untuk mendorong roda
perekonomian kembali berputar optimal. Dalam
RAPBN 2022, pemerintah mencoba menyampaikan rasa optimisme itu melalui target
pencapaian beberapa asumsi ekonomi makro. Pemerintah yakin pada 2022 ekonomi
mampu tumbuh di kisaran 5,0-5,5 persen. Pemerintah juga menargetkan tingkat
inflasi mampu naik dan terkendali di angka 3,0 persen seiring meningkatnya
daya beli masyarakat. Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS ditargetkan
stabil di Rp 14.350/dollar AS. Suku
bunga Surat Utang Negara (SUN) 10 tahun diyakini dapat dipatok di angka 6,82
persen. Lifting minyak bumi ditargetkan bisa mencapai 703.000 barrel/hari dan
lifting gas bumi ditargetkan 1.036.000 barrel setara minyak per hari. Salah
satu poin yang cukup menarik dari target capaian asumsi ekonomi makro itu
adalah target tingkat inflasi. Pada 2022 pemerintah akan berusaha mendorong
tingkat inflasi menjadi lebih tinggi. Ini sedikit berbeda dari kebiasaan
pemerintahan Jokowi sebelumnya. Sejak era pemerintahan Jokowi, target inflasi
selalu dipatok rendah guna menjaga daya beli dan mendorong terciptanya
pemerataan pendapatan dan pemerataan tingkat kesejahteraan. Target
peningkatan inflasi ini seolah-olah menjadi sinyal bahwa pada 2022 pemerintah
akan mendorong pertumbuhan ekonomi jauh lebih tinggi sehingga berdampak pada
peningkatan permintaan agregat masyarakat di dalam perekonomian. Dinamika
pertumbuhan ekonomi dan inflasi ini ibarat dua hal yang tak bisa dipisahkan
bahkan seolah-olah telah menjadi hukum kausalitas sebagaimana dijelaskan
dalam teori ilmu ekonomi melalui Kurva Philips. Pertumbuhan ekonomi yang
tinggi akan mengakibatkan inflasi yang juga tinggi. Sebaliknya, pertumbuhan
ekonomi yang rendah akan menciptakan inflasi yang juga rendah. Peran Bank Indonesia Dengan
adanya peningkatan capaian target tingkat inflasi yang ditetapkan pemerintah,
perhatian para pelaku ekonomi akan tertuju pada Bank Indonesia. Hal ini
karena dalam kapasitasnya sebagai bank sentral, BI mempunyai satu tujuan
tunggal: mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan
rupiah ini mengandung dua aspek: kestabilan nilai mata uang terhadap barang
dan jasa serta kestabilan terhadap mata uang negara lain. Aspek pertama,
tercermin pada perkembangan laju inflasi. Dengan demikian, BI jadi pelaksana
tugas utama dari pencapaian target inflasi pemerintah. Target
capaian inflasi yang lebih tinggi ini menjadi babak baru bagi BI di zaman
kepemimpinan Perry Warjiyo. Sejak diangkat menjadi gubernur BI pada Mei 2018,
BI selalu didorong untuk menurunkan dan menstabilkan pergerakan inflasi.
Namun kali ini BI didorong untuk meningkatkan inflasi. Walaupun
BI memiliki instrumen kebijakan moneter yang lengkap untuk mengendalikan
tingkat inflasi, mendorong inflasi perlu usaha yang lebih keras dan lebih
besar dibanding menahan laju inflasi. Mendorong
tingkat inflasi bukan hanya sekadar menambah jumlah uang beredar dan
menurunkan tingkat suku bunga acuan. Mendorong inflasi, terutama inflasi
jenis demand pull inflation, sama dengan mendorong kinerja perekonomian
secara keseluruhan. Dengan
kata lain, mendorong tingkat inflasi sama dengan mendorong produktivitas
perekonomian nasional. Penambahan uang beredar dan penurunan tingkat suku
bunga acuan harus selalu dibarengi dengan peningkatan aktivitas perekonomian
di sektor riil. Padahal
untuk mendorong dan meningkatkan produktivitas perekonomian nasional melalui
peningkatan kinerja di sektor riil sebagian besarnya berada di luar ranah BI.
Oleh karena itu, untuk meningkatkan produktivitas kinerja sektor riil, BI
harus bisa membuka ruang kerja sama dengan kementerian dan lembaga pemerintah
lainnya yang secara langsung bertanggung jawab terhadap peningkatan kinerja
sektor riil. Di
sisi lain, pembukaan ruang kerja sama serta koordinasi antar kementerian dan
lembaga pemerintah sampai saat ini masih menjadi “pekerjaan rumah” yang belum
selesai dengan tuntas. Ego sektoral masih menjadi masalah klasik yang
seringkali menghambat pelaksanaan program-program pemerintah. Jika
kerja sama antara BI dengan kementerian dan lembaga lainnya tak berjalan
dengan baik, hasil capaian target tingkat inflasi tak akan tercapai dengan
sempurna. Jika BI hanya sekadar menambah jumlah uang beredar dan menurunkan
tingkat suku bunga acuan maka yang akan terjadi adalah penurunan nilai uang
yang berakibat pada meningkatnya inflasi jenis cost push inflation. Cost push inflation
adalah jenis inflasi yang sifatnya destruktif terhadap perekonomian. Ketika
suatu negara mengalami cost push inflation maka perputaran uang berkurang,
harga-harga faktor produksi meningkat, biaya produksi naik, dan harga barang
dan jasa juga mengalami peningkatan. Dengan
meningkatnya harga-harga faktor produksi maka pendapatan nasional pun
mengalami penurunan dan akan kembali menekan pertumbuhan ekonomi. Tingkat
inflasi yang tinggi yang diakibatkan oleh cost push inflation akan menggerus
pendapatan dan daya beli masyarakat secara keseluruhan dan signifikan. Cost
push inflation akan mengakibatkan berkurangnya lapangan pekerjaan dan
bertambahnya angka kemiskinan. Sudah
saatnya BI mendorong tingkat inflasi, namun BI harus menjamin inflasi yang
tercipta bukanlah inflasi dari jenis cost push inflation tetapi demand pull
inflation. BI harus benar-benar hati-hati dalam upaya mendorong tingkat
inflasi ini. Jangan sampai peningkatan inflasi ini malah kontraproduktif
dengan tujuan utama Presiden Jokowi, mempercepat pemulihan ekonomi. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/10/saatnya-bi-mendorong-inflasi/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar