Petani
Milenial dan Masa Depan Bangsa Dyah Margani Utami ; Kandidat Doktor Ilmu Ekonomi Universitas
Indonesia, Fungsional Ketenagaan dan Kelembagaan Kementerian Pertanian |
MEDIA INDONESIA,
8 September 2021
SAAT sambutan
pada pembukaan pelatihan petani dan penyuluh serta pengukuhan Duta Petani
Milenial (DPM)/Duta Petani Andalan (DPA) pada Jumat (6/8), Presiden Joko
Widodo berharap lebih banyak lagi generasi muda banting setir menjadi petani.
Pada kesempatan ini Presiden menegaskan bahwa sektor pertanian justru
terbilang sektor yang paling kuat di masa saat ini. Setidaknya ada
dua hal utama yang tersirat pada sambutan tersebut; pertama, sektor pertanian
terbukti menjadi penyelamat pada krisis finansial 1998 maupun krisis akibat
pandemi covid-19. Dengan mencatat pertumbuhan 0,93%, sektor pertanian
merupakan satu-satunya sektor yang mencatatkan pertumbuhan positif pada saat
semua sektor yang lain mengalami pertumbuhan negatif. Pengalaman yang sama
terjadi saat ini dengan pertumbuhan 1,75% pada 2020, dan 2,95% pada kuartal I
2021 sementara sebagian besar sektor lain mengalami penurunan. Kedua, fungsi
penyelamat juga ditunjukkan dengan tertampungnya tenaga kerja dari sektor
non-pertanian yang kehilangan pekerjaan akibat krisis. Secara umum, tingkat
pertumbuhan tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian cenderung menurun
sekitar 5% per tahun. Namun pada 1998 dan 2020 terjadi anomali berupa
penambahan proporsi sebesar 4,5% pada 1998 dan 7,5% pada 2020. Dengan demikian
muncul pertanyaan, manakah yang lebih menguntungkan pembangunan di sektor
pertanian, jumlah tenaga kerja yang semakin berkurang ataukah bertambah? Bertahan di sektor pertanian Diskusi
tentang berpindahnya tenaga pertanian atau transformasi struktural oleh
ekonom pada umumnya mengacu pada teori yang dikenal dengan surplus tenaga
kerja dua sektor (two sector surplus labor), yaitu sektor tradisional yang
merujuk pada sektor pertanian atau perdesaan subsisten dan sektor
non-tradisional (modern) yang merujuk pada sektor industri perkotaan. Teori
ini dikemukakan Arthur Lewis pada 1954.
Menurut teori
ini, pembangunan sektor pertanian dapat tercapai dengan adanya perpindahan
tenaga kerja pertanian ke sektor non-pertanian. Hal ini dikarenakan
produktivitas marjinal sektor non-pertanian lebih tinggi. Sedangkan sektor
pertanian mengalami produktivitas marjinal nol. Produktivitas
marjinal yang lebih tinggi berarti petani yang berpindah ke sektor
non-pertanian akan memperoleh tingkat upah yang lebih tinggi. Dengan kata
lain, pendapatan tenaga kerja di sektor pertanian rata-rata lebih rendah
dibanding upah tenaga kerja di sektor non-pertanian. Namun ternyata
perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor non-pertanian tidak
selalu diikuti dengan peningkatan pendapatan. Analisa secara
makro dengan menggunakan perbandingan proporsi PDRB dan proporsi tenaga kerja
antar sektor non-pertanian dan sektor pertanian di 10 kabupaten/kota yang
tergolong mengalami pertumbuhan ekonomi tertinggi seperti Kota Bandung, Kota
Gorontalo, Kota Denpasar, Kota Sukabumi, Kota Malang, Kabupaten Banyuwangi,
Kabupaten Bantul, Kabupaten Badung, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Kudus
menunjukkan kecenderungan beragam. Berdasarkan data antara 2007 sampai 2015,
pada semua kabupaten/kota tersebut terjadi peningkatan proporsi tenaga kerja
di sektor non-pertanian. Namun demikian
berbeda dengan kabupaten/kota lainnya, sektor non-pertanian di Kota Denpasar
dan Kabupaten Badung terutama sektor pariwisata, mengalami peningkatan tenaga
kerja yang sangat tinggi dibanding peningkatan produktivitasnya. Hal ini
mengindikasikan adanya kecenderungan pendapatan rata-rata tenaga kerja di
sektor non-pertanian yang semakin menurun, akibat pertumbuhan produktivitas
yang jauh lebih rendah dibanding penambahan tenaga kerja. Di sisi lain,
pendapatan rata-rata tenaga kerja di sektor pertanian semakin meningkat. Sementara itu,
analisa data mikro menunjukkan hasil yang berbeda pada rentang waktu berbeda.
Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data Indonesian Family Life
Survey (IFLS). Data ini didapatkan dari survei berulang (survei 2000, 2007,
dan 2014) pada rumah tangga yang sama. Berdasarkan data IFLS, Lembaga
penelitian di bawah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
menyimpulkan bahwa berpindahnya rumah tangga petani miskin dari sektor
pertanian ke sektor non-pertanian antara 2000 sampai 2007, berdampak pada
peningkatan kesejahteraan keluarga bersangkutan. Namun dampak
ini tidak ditemukan untuk rumah tangga petani miskin yang berpindah pada
periode 2007 sampai 2014 (Moeis, Dartanto, Moeis, & Ikhsan, 2020). Dengan
kata lain, perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor
non-pertanian tidak menjamin dapat meningkatkan pendapatan atau bukan menjadi
solusi untuk mengentaskan kemiskinan. Dampak lain yang perlu digarisbawahi
terkait perpindahan ini adalah bahwa perpindahan pekerjaan seringkali
disertai pengurangan atau konversi aset produksi pertanian. Bahkan
pengurangan atau konversi ini bersifat permanen sehingga berdampak pada
penurunan input produksi pertanian. Kondisi SDM pertanian Dari sektor
pertanian, pengurangan penyerapan tenaga kerja pertanian memang menjadi salah
satu mekanisme untuk mengurangi beban sektor pertanian yang pada akhirnya
akan meningkatkan produktivitas pertanian. Namun, apa yang terjadi jika
tenaga kerja yang keluar dari pertanian adalah tenaga kerja unggulan?
Bukannya meningkat, produktivitas sektor pertanian semakin menurun dan
produktivitas sektor lainnya meningkat. Fenomena
inilah yang terjadi saat ini di Indonesia dan banyak negara lainnya. Jika
perpindahan ke sektor industri dan jasa ini membutuhkan persyaratan
kompetensi tertentu, bisa jadi sebagian besar yang bertahan di sektor
pertanian adalah mereka yang tidak dapat berpindah ke sektor lain karena
kompetensinya yang kurang. Kondisi ini menyebabkan brain drain atau
pengurasan tenaga kerja berpendidikan tinggi di sektor pertanian. Statistik
Ketenagakerjaan Sektor Pertanian yang diterbitkan Pusat Data dan Sistem
Informasi Kementerian Pertanian menyatakan bahwa pada 2020 proporsi tenaga
kerja di sektor pertanian yang berlatar belakang pendidikan dasar sebesar
83%, pendidikan menengah sebesar 15%, dan pendidikan tinggi hanya sebesar 2%.
Dari segi usia, terlihat adanya penuaan tenaga kerja di sektor
pertanian. Dalam
sambutannya, Presiden juga menyoroti dominasi petani tua dengan usia di atas
45 tahun sebanyak 71% dan menyisakan petani berusia kurang dari 45 tahun sebesar
29%. Hal ini dipengaruhi oleh citra sektor pertanian yang kurang keren bagi
generasi muda dan kurang bisa memberikan imbal hasil yang memadai menurunkan
minat untuk menjadi petani. Rendahnya imbal hasil ini dipengaruhi oleh
relatif sempitnya penguasaan lahan. Sejalan dengan
pandangan seperti ini, pada umumnya orang tua di perdesaan juga tidak
menginginkan anak-anak mereka bekerja di desa sebagai petani sebagaimana
pekerjaan mereka saat ini. Krisis petani muda inilah yang menjadi hambatan
terhadap produktivitas pertanian, daya saing pasar, kapasitas ekonomi
perdesaan, dan bermuara pada ancaman terhadap ketahanan pangan serta
keberlanjutan sektor pertanian. Potensi kesuksesan Dari uraian di
atas, merangkul generasi muda ke dunia pertanian dapat dipandang sebagai
upaya ideal untuk pembangunan sektor pertanian sebagai penyangga ketahanan
pangan yang berkelanjutan. Dalam hal ini, generasi muda, khususnya generasi
milenial yang lahir di sekitar 1980 sampai 2000an merupakan target utama.
Bukan hanya dominasi secara kuantitas yang mencapai 34% pada 2020, perilaku
generasi milenial juga menjadi market-driver. Kriteria dari generasi tersebut
biasanya ditandai dengan adanya keakraban dengan komunikasi, media, juga
teknologi digital. Karakteristik
inilah yang memungkinkan generasi milenial mampu berkembang di sektor
pertanian. Dengan memanfaatkan teknologi, usaha-usaha pertanian di tangan
generasi milenial diharapkan mampu beradaptasi dan berkembang karena beberapa
alasan utama. Pertama, pemanfaatan artificial-intelligence dan
roboticsenabled technologies akan meningkatkan efisiensi kegiatan produksi.
Kesan kotor, panas, bahkan kumuh juga akan hilang. Pada tahap budidaya
misalnya, pengendalian faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dapat
dilakukan jarak jauh. Kedua, dengan
adanya digital platform, pemasaran hasil ataupun pembelian input produksi
menjadi lebih murah dan efisien karena proses pengiriman yang semakin baik,
rantai pasok yang semakin pendek, dan adanya kesesuaian yang lebih baik
antara produsen dan konsumen. Di Indonesia,
potensi transaksi secara elektronik meningkat lebih dari enam kali lipat dari
2016 yang hanya sekitar Rp261 triliun menjadi Rp1.700 triliun pada 2020. Dari
besaran ini, penggunaan aplikasi terbesar adalah untuk layanan transportasi
dan pengantaran makanan. Di sinilah potensi usaha pertanian terbuka lebar,
yaitu sebagai pemasok bahan pangan. Dukungan Pemerintah Gerakan
pembentukan petani milenial diyakini dapat mensejahterakan kehidupan
berbangsa. Dua aspek utama yang dibutuhkan gerakan ini adalah peningkatan
kualitas SDM petani milenial dan lingkungan yang mendukung perkembangan usaha
pertanian. Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian (BPPSDMP)
menjadikan petani milenial, yaitu petani dan/atau pengusaha pertanian yang
saat ini berusia antara 19-39 tahun, sebagai sasaran utama kegiatan. Berbagai
program dalam bingkai penyuluhan, pendidikan, dan pelatihan pertanian
ditujukan untuk menumbuhkembangkan kewirausahaan muda pertanian. BPPSDMP
menetapkan target terbentuknya 2,5 juta petani milenial dalam lima tahun ke
depan. Pandemi
nampaknya menjadi kesempatan untuk memperbesar skala peserta pelatihan dalam
waktu relatif singkat. Penggunaan metode daring ataupun modifikasi antara
daring dan luring memungkinkan Pusat Pelatihan Pertanian untuk
menyelenggarakan pelatihan beberapa gelombang yang diikuti oleh lebih dari
1,6 juta peserta yang terdiri dari petani dan insan pertanian lainnya dalam
waktu kurang dari dua minggu. Selain itu,
BPPSDMP juga menetapkan kegiatan pendukung lainnya seperti penumbuhan
wirausaha muda pertanian (PWMP), pelatihan kewirausahaan bagi petani,
pendidikan vokasi, pelatihan vokasi, pengembangan Komando Strategi
Pembangunan Pertanian tingkat Kecamatan (Kostratani), pemberdayaan pusat
pelatihan pertanian dan perdesaan swadaya (P4S), Duta Petani Milenial/Duta
Petani Andalan, integrated participatory development and management of
irrigation project (IPDMIP), serta program youth enterpreneur and employment
support services (YESS). Sebulan
setelah pembukaan pelatihan petani dan penyuluh serta pengukuhan DPM/DPA,
pada Senin (6/9) Pusat Pelatihan Pertanian menyelenggarakan kegiatan dukungan
lainnya berupa pelatihan kewirausahaan pertanian bagi petani milenial. Target
kegiatan ini adalah 10.473 peserta pelatihan. Dalam lingkup
yang lebih luas, peningkatan kualitas SDM ini juga dibarengi dengan program
kredit usaha rakyat (KUR) yang melibatkan sektor perbankan dengan target
penyaluran sebesar Rp70 triliun pada 2020. Selanjutnya, integrasi program
lintas kementerian juga sangat pendukung terciptanya lingkungan usaha yang
sesuai seperti pemanfaatan program dana desa dari Kementerian Desa, PDT, dan
Transmigrasi untuk membangun sarana dan prasarana pendukung usaha pertanian,
dan kerja sama dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif untuk
pengembangan agrowisata. Model kerja
sama dalam peningkatan kualitas SDM pertanian antar kementerian ini telah
diwujudkan melalui program IPDMIP. Sedangkan program YESS merupakan bentuk
kerja sama dengan lembaga internasional IFAD (International Fund for
Agricultural Development). Jadi, masih ragu untuk menjadi petani? ● |
Sumber : https://mediaindonesia.com/opini/431296/petani-milenial-dan-masa-depan-bangsa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar