Pendidikan:
Segeralah Sadar Sejarah & Budaya Erros Djarot ; Budayawan |
WATYUTINK, 8 September 2021
Tidak
mudah memahami apa yang ada dalam benak seorang Jokowi sebagai Presiden,
ketika pertanyaan tentang Pendidikan, Kebudayaan, dan Riset & Teknologi
menjadi subyek perenungan perjalanan bangsa ini ke depan. Sampai kemarin,
saya masih mencoba mereka-reka kebijakan apa, pemahaman apa, dan capaian apa
yang beliau harapkan ketika masalah pendidikan dan kebudayaan yang begitu
sangat dan teramat penting bagi masa depan bangsa Indonesia terkesan
cenderung disepelekan. Pertanyaan
ini berkaitan dengan langkah beliau sebagai Presiden yang memiliki hak
prerogatif menunjuk para pembantunya, secara berani menyerahkan sejumlah
subyek kementerian yang sangat vital dan super strategis bagi masa depan
bangsa ini kepada seseorang yang banyak mengundang pertanyaan. Dari rekam
jejaknya saja sudah sangat mudah terbaca bahwa seorang Nadiem Makarim
tergolong sosok yang masih harus belajar sangat banyak untuk memahami seluk
beluk pendidikan dan kebudayaan di Indonesia-Nusantara ini. Andai
saja sejak ditunjuknya Nadiem sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
geliat pendidikan dan kebudayaan terasakan kehadirannya bergerak ke arah yang
memberi nilai tambah positif, tentu tulisan ini menjadi terlalu mengada-ada.
Secara garis besar, saya sengaja mengenyampingkan masalah teknis dan tetek-bengek
sepak terjang kinerja sang menteri, satu kesimpulan yang dapat ditarik bahwa
faktor pengalaman dan kematangan lapangan ternyata sangat diperlukan.
Merasakan asam garamnya segala ragam masalah dan persoalan dalam dunia
pendidikan dan kebudayaan yang begitu luas dan multi dimensi, seharusnya
telah terkunyah dan dikunyah selama perjalanan hidup seseorang yang menangani
dunia pendidikan dan apalagi KEBUDAYAAN! Mengapa
seorang Ki Hajar Dewantara bisa merumuskan tiga tonggak pilar budaya
institusi pendidikan untuk negerinya; Ing Ngarso Sun Tulodho (di depan, para
pemimpin dalam kaitan pendidikan adalah Guru, harus mampu tampil memberi suri
tauladan dengan moral dan ahlak yang baik; Ing Madyo Mangun Karso (di wilayah
kinerja (tengah) harus mampu memberi bimbingan dan tuntunan yang baik; Tut
Wuri Handayani, harus senantiasa memberi dorongan (dari belakang) agar yang
dibina dan dibimbing berkembang dengan baik, berada di jalan yang lurus dan
benar. Tentunya rumusan ini hadir dari seorang budayawan pemikir pendidikan
yang merupakan hasil dari rekaman panjang perjalanan hidupnya menggeluti
dunia pendidikan dan sejarah panjang perjalanan bangsanya. Tidak datang
‘ujug-ujug’ begitu saja atau hasil ngendon di kampus-kampus hebat di luar
negeri dan pulang dengan hanya berbekal secarik kertas ijazah dengan stempel
‘Ph.D’ sekalipun. Begitu
juga ketika Bung Karno meletakkan asas kehidupan dan etos kerja masyarakat
bangsa Indonesia dengan menjadikan Gotong Royong sebagai pijakan nilai
kebudayaan bangsa. Rumusan ini tentunya lahir lewat perenungan panjang dan
hasil perjalanan empiriknya bergumul dalam deru dan debunya perjuangan rakyat
Indonesia hingga mencapai Kemerdekaannya 17 Agustus 1945. Lahir dari seorang
Bung Karno sebagai Bapak Bangsa yang
ingin menyatukan bangsanya— yang multi
kultural, multi etnis, multi ras, multi agama dan multi masalah, agar hidup
rukun saling bahu membahu yang hanya mungkin dilakukan dan diwujudkan lewat
semangat Gotong Royong. Nah,
agaknya saya khawatir, kegandrungan memuja semangat ‘millenialisme’ telah
menghilangkan sejumlah catatan penting perjalanan sejarah dan kebudayaan
bangsa. Akibatnya, hari ini kita seperti diasingkan oleh ulah kita
sendiri sehingga menjadi gagap untuk
mengatakan dengan pasti; apa, siapa, mau apa, dan untuk apa kita hidup?!
Tentunya hidup sebagai bangsa merdeka yang memiliki cita-cita dan kehendak
kebudayaan —dengan karakter dan kepribadian sebagaimana arahan-amanat yang
jelas-jelas tersurat dan tersirat dalam Mukadimah UUD’45. Oleh
karenanya, sangat memprihatinkan menyaksikan, merasakan dan mendapatkan
kenyataan bahwa dunia pendidikan dan kebudayaan kita hari ini melingkar dan
berputar di tempat tanpa kejelasan arah dan tujuan. Hasil penilaian yang saya
bisa simpulkan: kehendak menuju Timur, langkah yang diarahkan para pemimpin
koq bergerak dan berjalan bahkan lari malah ke arah Barat. Harapannya
berlabuh di pantai Selatan, kapal malah berlayar ke Utara menuju pelabuhan
yang dingin dan dipenuhi salju sehingga membuat kita beku dan rawan
terjangkit batuk pilek. Tapi anehnya, masih ada saja pemimpin kita hari ini
yang berseru lantang dan bangga…Kita
sudah berjalan di trek yang benar (We are already in the right
track!)…maksudnya??? Dalam
kaitan pendidikan; bagaimana tugas mencerdaskan bangsa bisa dilakukan dan dibangun
bila budaya kehidupan yang cerdas dan mencerdaskan masyarakat bangsa ini
semaikin kehilangan ruang kehidupannya. Budaya, arah, dan tujuan pendidikan,
berada dalam ketidakjelasan. Bagaimana bila kesempatan untuk pandai dan
berilmu hanya dimungkinkan bagi mereka yang mampu dan berkemampuan prima.
Bahkan seorang pegawai negeri dengan eselon tertinggi pun tak mungkin sanggup
menyekolahkan lebih dari satu anaknya ke perguruan tinggi yang prima jika
hanya mengandalkan gaji pokok murninya. Apalagi yang di bawahnya dan di
lapisan pegawai negeri paling bawah yang tergolong sebagai kumpulan manusia
paling banyak, mayoritas penduduk negeri ini! Bagaimana
kualitas kebudayaan kita akan naik kelas bila pendidikan yang menjadi salah
satu kunci terpenting berjalan seiring dengan desparitas kaya-miskin yang
semakin melebar? Gontok-gontokan mudah terjadi, diciptakan, atau terjadi oleh
kebijakan yang cenderung memenangkan kepentingan politik kekuasaan sesaat.
Rakyat yang kurang pendidikan dan pemimpin yang kurang berkebudayaan prima,
akan sangat mudah terjerumus dalam pengentalan kubu politik 1 dan 2, atau
‘Cebong’ dan ‘Kadrun’. Karenanya jangan heran bahwa kondisi miris dengan
realita masyarakat bangsa ini terbelah dua, terus dibiarkan dan cenderung
dipelihara. Jangan
heran juga di masa pandemik yang membuat kehidupan rakyat kebanyakan dalam
penderitaan yang luar biasa, ada pejabat yang masih saja tega melakukan
kejahatan luar biasa alias korupsi. Tidak mengherankan juga bila banyak orang
berada dan bahkan super kaya, enggan berbagi meringankan penderitaan
masyarakat bangsanya yang hidup di ujung tanduk kematian. Bahkan mereka malah
tega mengeruk keuntungan dari peristiwa kemanusiaan yang memprihatinkan ini. Yah
keamburadulan nilai yang terjadi belakangan ini, semuanya adalah masalah yang berawal dari
masalah pendidikan dan kebudayaan yang salah arah! Dan akan salah arah bila
nilai buruk dilimpahkan hanya kepada seorang Nadiem Makarim, anak baik, wakil
milenial yang hanya menjalankan tugas yang secara nekad telah diterimanya
dari Bapak Presiden Jokowi. Lebih mengundang ribuan kepala bergeleng-geleng
ketika di pundak Nadiem ditambah lagi tugas memimpin kementerian Riset &
Teknologi. Sebuah kementerian yang oleh negara-negara maju dijadikan
kementerian masa depan yang akan menentukan tinggi rendahnya nilai peradaban
bangsanya di masa depan. Dengan
realita ini, apa salah bila saya kemudian menjadi sangat ingin mengetahui apa
yang ada dalam benak Pak Jokowi sehubungan dengan pengetahuan, rasa hormat
dan sejauh manakah pentingnya dunia Pendidikan, Kebudayaan, dan Riset&
Teknologi bagi seorang Jokowi? Andai saja seorang Nadiem diberi tanggung
jawab sebagai Menteri Perdagangan, atau Menteri Pemuda dan Olahraga, atau
Menteri UKM, pertanyaan di atas tentu tidak perlu muncul membebani pikiran. Dengan
menyatakan hal ini sama sekali saya tidak menganggap Nadiem seorang pemuda
yang tidak potensial. Justru Nadiem adalah menjadi salah satu pemuda
kebanggaan yang dimiliki bangsa ini. Hanya saja kebangeten kalo ada yang
menugaskan seorang militer dengan prestasi sangat gemilang sekali pun,
ditugasi untuk mampu menjadi penari balet yang prima dalam waktu sangat
terbatas. Apalagi tidak ada waktu untuk belajar karena yang harus dilakukan
langsung naik panggung dan sukses menguasai panggung dengan suguhan tarinya
yang memukau! Komentar
pun tidak bisa lain kecuali celetukan…yang mboten-mboten aja..! Segeralah
insaf sejarah dan budaya, mungkin merupakan salah satu jalan pendidikan yang
baik untuk menjadikan para pemimpin dapat mampu menerjemahkan dan
melaksanakan amanat pembukaan UUD ’45 dalam sepak terjang kinerjanya….Ing Ngarso Sun Tulodho...Ing Madyo Mangun
Karso...Tut Wuri Handayani! ● Sumber : https://www.watyutink.com/topik/berpikir-merdeka/Pendidikan-Segeralah-Sadar-Sejarah-Budaya |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar