Pelajaran
dari Afghanistan Raja J Antoni ; Politisi PSI; Alumni the Department of Peace
Studies, Universitas Bradford, Inggris |
KOMPAS, 13 September 2021
Tanggal
31 Agustus 2021 merupakan hari terakhir tentara Amerika Serikat dan sekutunya
di Afghanistan setelah dua dekade bercokol di sana. Dua pekan sebelumnya, 15
Agustus 2021, Kabul jatuh ke tangan Taliban. Tidak hanya terpanjang, perang
ini juga tercatat sebagai perang termahal yang menguras anggaran AS sekitar 2
triliun dollar AS. Banyak
pertanyaan tersisa. Bagaimana gelar pasukan yang sedemikian panjang, mahal,
dan melibatkan teknologi persenjataan yang paling canggih dapat dikalahkan
dalam waktu yang super kilat oleh Taliban? Apa implikasi naiknya kembali
Taliban ke tampuk kekuasaan bagi keamanan internasional dan domestik
Indonesia? Kalah perang Tanggal
16 Agustus 2021, sehari setelah Kabul jatuh ke tangan Taliban, CNN.com
menampilkan foto the fall of Saigon yang disandingkan dengan foto lainnya the
fall of Kabul. Dua foto yang mirip menampilkan helikopter yang mengevakuasi
warga AS. Dua foto dengan dua latar belakang perang yang beda konteks
politiknya, namun menggambarkan hal yang sama: Amerika kalah perang. Fareed
Zakaria menyebut kekalahan AS di Afghanistan sebenarnya terprediksi dan sudah
terjadi sejak lama. AS dan tentara Afghanistan tidak pernah benar-benar
menguasai seluruh teritori Afghanistan yang kebanyakan masih rural. Tercatat
pada tahun 2016 sebelum AS memulai menarik pasukannya, pemerintah Afghanistan
hanya bisa mengontrol 65 persen dari seluruh distrik. Perang panjang dan
brutal pada musim panas 2018, misalkan, menewaskan tentara paling banyak
selama dua dekade. Sebanyak 280.000 rakyat menjadi pengungsi yang menimbulkan
ketidakpercayaan yang memuncak kepada AS dan pemerintah Afghanistan. Survei
pada tahun 2018 menunjukan dukungan terhadap tentara AS di kalangan rakyat
Afghanistan hanya 55 persen, menurun tajam dari 90 persen 10 tahun
sebelumnya. Sebanyak
300.000 tentara baru Afghanistan yang dilatih dan dipersenjatai Amerika dan
sekutu tidak memiliki fondasi moral untuk bertempur. Para prajurit tahu benar
bahwa mereka dipimpin oleh pemerintah dan komandan yang korup. Secara
ideologis seolah mereka gamang untuk kepentingan apa dan siapa mereka harus
mengangkat senjata kecuali untuk menerima gaji tiap bulan. Mengutip
Carter Malkasian dalam bukunya, the
American War in Afghanistan, Taliban berperang untuk sebuah keyakinan
untuk surga dan membunuh orang-orang kafir. Sedangkan tentara dan polisi
Afghanistan berperang untuk mencari uang belaka. Banyak
yang berpendapat apabila saja Presiden Biden dapat mengelola proses penarikan
pasukan AS dengan lebih baik dari Afghanistan maka AS bisa keluar dari perang
dengan lebih elegan. Pendapat ini dibantah oleh Zakaria. Baginya, tidak ada
cara elegan dalam kalah perang. Nasionalisme gagal Perdebatan
yang lebih mendasar sebenarnya bagaimana kita mengelola hubungan dan keamanan
internasional agar dunia tempat kita tinggal bersama ini lebih damai. Sejak
lama para filosof seperti Michael Walzer dalam bukunya, Just and Just Wars: A Moral Argument with Historical Illustrations,
membuka perdebatan tentang tentang dilema moral perang. Kriteria moral apa
sebuah perang dapat dijustifikasi (jus ad bellum) dan bagaimana sebuah
peperangan harus dilakukan (jus in bello). Taruhlah
enam prinsip jus ad bellum
terpenuhi untuk memulai perang di Afghanistan. Namun apakah tujuan perang
seperti yang disampaikan oleh Jenderal Stanley McChrystal, yaitu untuk
mendukung sebuah pemerintahan yang memiliki kontrol kuat teritorinya untuk
mendukung stabilitas regional dan mencegah teritori itu dipergunakan untuk
terorisme internasional, tercapai? Rasanya tidak. Dalam
waktu yang relatif singkat kekuatan militer AS dapat menjungkalkan Taliban
dari kekuasaan. Rezim Taliban yang melindungi Al Qaeda dan melakukan
pelanggaran terhadap hak-hak warganya, berakhir. Namun rekonstruksi pasca
perang (post-war reconstruction) dan pembangunan perdamaian pasca-konflik
(post-conflict peacebuilding) yang melibatkan aspek sosiologis dan
antropologis gagal dijalankan. Daron
Acemoglu penulis buku Why Nations Fail menyempat menulis artikel pendek soal
ini. Lebih mendasar, baginya, pendekatan lama, proses nation-building dari
atas dalam sejarah politik bangsa-bangsa telah ditakdirkan gagal. Kasus
Afghanistan hanya pengulangan kesalahan sejarah saja. AS tidak belajar dari
sejarah. Pendekatan state first tanpa diikuti dengan pelibatan masyarakat
sipil sebagai bagian dari proses bottom up dan pelibatan grassroots membuat
rakyat teralienasi dari apa yang dikerjakan AS dan elite Afghanistan yang korup. Akhirnya,
dukungan terhadap proses demokrasi dan pemerintahan sangat lemah. Pemilu
2019, misalkan, hanya diikuti sekitar 1,8 juta pemilih dari 39 juta yang
memiliki hak pilih. Tidak banyak yang bisa diharapkan dari sebuah rezim yang
lahir tanpa ada dukungan dan partisipasi politik dari akar rumput. Selain
itu, nasionalisme di Afghanistan sangat rapuh. Tidak ada yang disebut oleh
Benedict Anderson sebagai imagined communities. Tidak ada tonggak-tonggak
sejarah yang membangun imajinasi mereka sebagai bagian dari sebuah bangsa. Konsep
Afghanistan sebagai sebuah negara-bangsa sangat asing di tengah rakyat
Afghanistan. Setiap orang lebih merasa sebagai anak etnis, klan dan afiliasi
bahasa ketimbang sebagai anak bangsa. Hal ini tentu saja diperburuk oleh perang
saudara berbasis etnis-politik yang berkepanjangan di kawasan tersebut. ”Taman bermain” teroris Zabiullah
Mujahid, juru bicara resmi Taliban, berusaha keras menyakinkan publik
internasional bahwa Taliban sekarang berbeda dengan Taliban yang berkuasa 1996-2001.
Taliban berjanji mengubah praktik sosial politik keagamaannya. Mereka akan
lebih membuka ruang partisipasi terhadap perempuan, menghargai hak-hak
minoritas seperti Hazara, dan menghargai keberagaman. Apakah
Taliban benar berubah? Saya ragu. Taliban adalah kelompok ideologis yang
memobilisasi dukungan politik dengan mempergunakan doktrin agama yang
literal, eksklusif, dan hitam-putih. Belajar dari kelompok serupa (meski
tidak sama), seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir, tidak mudah bagi kelompok semacam
ini secara tiba-tiba mengubah pandangan keagamaan mereka. Mungkin
pada level elite ada kelompok yang lebih realistis dan pragmatis. Namun,
dipastikan akan terjadi ketegangan antara ”faksi realis” dan ”faksi
ideologis” yang berujung pada perpecahan internal. Pemimpin yang paling
konservatif-ideologis, agaknya, akan memenangkan pertarungan level elite
karena didukung massa yang memang konservatif-fundamentalis. Indonesia
mempunyai kepentingan besar akan stabilitas Afghanistan. Perang dan konflik
berkepanjangan di Afghanistan telah menarik banyak anak muda Indonesia untuk
bergabung berjihad di sana. Para ”teroris asli” Indonesia kebanyakan adalah
”alumni Afghanistan” atau yang berinteraksi dengan mereka. Melihat
konservatisme yang makin merebak di Tanah Air, apabila kondisi Afghanistan
semakin buruk tidak menutup kemungkinan akan menjadi ”taman bermain” para
kader teroris baru. Seperti konflik Suriah yang telah mengundang banyak
Muslim Indonesia untuk bergabung bersama ISIS. Bulan
ini kita memperingati dua dekade tragedi 9/11 yang telah mengubah wajah dunia
dalam war on terror termasuk di Afghanistan. Dengan rendah hati perlu diakui
bahwa dunia tempat kita tinggal ini tidak lebih damai dibandingkan sebelum
9/11 terjadi. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/13/pelajaran-dari-afghanistan/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar