Episentrum
Korupsi Politik Dinasti Aminuddin ; Pemerhati Politik, Alumnus UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta |
DETIKNEWS, 13 September 2021
Akhir-akhir
ini, mandat demokrasi sering menjadi panggung elite politik. Hampir setiap
perayaan demokrasi, baik dalam pemilihan legislatif maupun pemilihan kepala
daerah, elite politik menjadi aktor utamanya. Bisa jadi pemilihan kepala
daerah hanya menjadi bancakan para elite politik. Sementara masyarakat sipil
yang semestinya berkesempatan merotasi dan mengevaluasi pemimpin daerah masih
jauh panggang dari api. Di pihak lain, awan politik elit semakin mengepul
akibat ketidakdigdayaan masyarakat madani untuk mengubur politik elite. Kedaulatan
rakyat yang semestinya dijaga dan disiram agar tidak redup, seolah-olah
diamputasi oleh elite-elite politik. Para elite yang memiliki kepentingan
politik masih menjadi batu sandungan dalam menegakkan demokrasi, baik
nasional maupun lokal yang sesuai dengan kehendak rakyat. Elite masih menjadi
penentu pesta demokrasi, baik di pemilu maupun di pilkada. Setidaknya, dalam
beberapa bulan terakhir ini bisa menjadi rujukan bagaimana kepentingan dan
daulat elite masih menguasai singgasana demokrasi. Hebatnya
lagi, tidak sedikit elite daerah berkembang menjadi kekuatan baru dan menjadi
raja-raja kecil. Lingkaran eksekutif dan legislatif dikuasai secara masif.
Jejaring vertikal dan horizontal inilah yang membuat dinasti politik semakin
kuat. Sehingga, kekuasaan nyaris tidak terbendung. Nahasnya lagi, dinasti
politik yang terbangun justru dihinggapi kasus korupsi yang menggurita. Terbongkarnya
Bupati Probolinggo, Puput Tantriana Sari dan suaminya, Hasan Aminuddin
(anggota DPR) dalam dugaan jual beli jabatan menjadi salah satu potret
bagaimana gurita korupsi politik dinasti masih belum bisa dihapus di negeri
ini. Disadari
atau tidak, penangkapan terhadap Bupati Probolinggo menandakan bahwa
aset-aset demokrasi kita masih menjadi ladang basah praktik korupsi. Bupati
merupakan hasil dari proses demokrasi. sekaligus "cakar ayam"
tegaknya demokrasi tersebut. Namun nahas, dua aset demokrasi tersebut masih
belum mampu keluar dari parasit korupsi. Lalu, bagaimana menempatkan
demokrasi sebagai nyawa terakhir menegakkan keadilan dan kesejahteraan bagi
bangsa? Ada
beberapa hal penting yang menjadi benang kusut atas praktik korupsi yang
menyandera hierarki kehidupan bangsa dan negara. Pertama, kronisnya sistem
demokrasi terutama di internal partai politik. Hal ini dapat terpateri dari
sistem perekrutan di internal partai politik yang begitu elitis dan tertutup.
Perekrutan yang tidak transparan dan tertutup kemudian menggiring parpol
sangat elitis dan sukar dijangkau oleh publik. Pada akhirnya, sistem
perekrutan kader parpol berdasar sejauh mana individu dekat dengan elite
parpol. Masalah
di atas juga didorong oleh sistem kepartaian kita yang cenderung tidak
memikirkan pengaderan yang berjenjang seperti lama tidaknya seorang kader
mengabdi di tubuh partai. Proses pengabdian tidak pernah diimplementasikan
layak tidaknya kader partai didelegasikan menjadi calon kepala daerah atau
calon anggota legislatif. Malahan, parpol menjelma menjadi organisasi politik
yang menampung siapapun yang siap membayar sejumlah mahar. Maka, ketika
sistem ini berjalan, tidak jarang kader parpol mengeluh di ruang publik
karena tidak bisa menjadi calon kepala daerah akibat dimintai mahar. Kedua,
kapasitas dan kapabilitas pemimpin kita yang masih jauh dari sikap
anti-korupsi. Dari banyaknya pemimpin kita di Indonesia, mulai dari eksekutif
hingga legislatif, sangat jarang pemimpin yang secara cara autentik
antikorupsi. Di kalangan legislator misalnya, kita mudah menemukan bahwa
ikhtiar memberantas korupsi masih setengah hati. Jika pun ada segelintir
wakil rakyat yang anti-korupsi, justru ia tidak bernyali karena tidak
memiliki energi politik. Langkah
pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui wewenangnya dengan
merevisi beberapa undang-undang antikorupsi menjadi salah satu kaca
pembesarnya. Begitupun dengan larangan mantan napi korupsi maju dalam
pemilihan legislatif yang dilawan dengan serius hingga ke pengadilan. Hal
inilah yang membuat pemberantasan korupsi di negeri ini sulit untuk
direalisasikan. Kedua
problem di atas yang sebenarnya menjadi paradoks demokrasi kita. Demokrasi
sebagai cara untuk mencari pemimpin yang amanah, antikorupsi, justru
tersandera oleh praktik-praktik yang jauh dari hakekat demokrasi.
Implikasinya, aset-aset demokrasi yang aras lokal terjebak dalam kubangan
korupsi. Korupsi lantas menjadi tumor yang sulit untuk disembuhkan. Kendati
proses pemilihan dilakukan dengan demokratis, namun tumornya sudah menjalar
di tubuh demokrasi tersebut, sehingga sulit untuk disembuhkan. Ketika
tumor korupsi sudah mendarah daging, maka KPK pun tidak mungkin bisa
menyelesaikan sendiri. Sebab, KPK juga memiliki beberapa kendala. Pertama, di
tengah semakin inovatif dan kreatifnya perilaku korupsi, perlawanannya tidak
diimbangi oleh personel yang ada di internal KPK. Jika dalam beberapa tahun
lalu KPK hanya berhadapan dengan kepala daerah dan pejabat di pemerintahan.
Namun kini, KPK harus berurusan dengan korporasi, oknum penegak hukum, dan
politisi. Sementara, personel yang ada di KPK tidak mengalami penambahan yang
signifikan untuk mengimbangi penjarah uang negara. Kedua,
sejak didirikan, KPK hampir tidak pernah mendapatkan energi politik. Dalam
setiap sepak terjangnya, KPK hampir tidak pernah mendapatkan
"restu" politik, baik dari legislatif maupun dari partai politik.
Yang ada, malah mereka ramai-ramai "menyerang" KPK dengan berbagai
kewenangannya. Bergulirnya hak angket terhadap KPK boleh saja dianggap
sebagai upaya memperkuat KPK. Namun jika diamati dan dirunut sejak awal, itu
tidak lebih sebagai upaya menghalang-halangi kinerja KPK. Belum lagi teror penyiraman
air keras terhadap pegawai KPK. Melihat
sepak terjang para politisi, tersingkap sikap antagonisme dari jajaran
politisi itu sendiri. Sikap para politisi dan bahkan orang penting di
internal parpol seolah tidak merasa memiliki tanggung jawab dalam pemberantasan
korupsi. Padahal, dengan terjaringnya politisi oleh KPK, sedikit banyak
meruntuhkan nama baik parpol. Seharusnya, mereka berjibaku membantu KPK agar
parpol dibersihkan dari politisi dan kepala daerah yang korup. Alih-alih
melakukan itu, justru parpol tidak merasa bersalah. Ke
depan, aset-aset demokrasi kita akan semakin terancam apabila korupsi terus
menjadi persoalan bangsa. Bangsa ini akan tumbuh menjadi bangsa yang permisif
dengan praktik korupsi karena generasi bangsa sudah terbiasa dicekoki oleh
praktik korupsi. Maka, jangan heran dalam beberapa tahun ke depan, korupsi
dianggap sebagai hal yang wajar tanpa ada beban moral yang dipikulnya. ● Sumber : https://news.detik.com/kolom/d-5721468/episentrum-korupsi-politik-dinasti |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar