Vaksin:
Antara Negara dan Perusahaan Farmasi Ahmad Zaenudin ; Jurnalis Tirto |
TIRTO.ID, 4 Agustus 2021
Pada awal dekade 1980-an, Betty Dong, profesor
farmasi klinis University of California at San Francisco (UCSF), Amerika
Serikat, melakukan penelitian kecil-kecilan. Ia mencoba mengungkap perbedaan
kimiawi-biologis antar obat, khususnya pada pelbagai obat yang berinteraksi
dengan hormon tiroid. Tidak seperti obat-obatan non-tiroid yang dapat melawan
penyakit dengan dosis serampangan, obat-obatan yang berhubungan dengan hormon
tiroid membutuhkan racikan presisi. Ketika titrate (titrasi atau konsentrasi
larutan kimiawi) dari obat yang berinteraksi dengan hormon tiroid terlalu
banyak, pasien akan mengalami hipertiroidisme atau peningkatan laju
metabolisme dan detak jantung gara-gara kelenjar tiroid bereaksi secara
berlebihan. Sebaliknya, jika terlalu sedikit, pasien akan mengalami
hipotiroidisme atau turunnya aktivitas kelanjar tiroid yang dapat
mengakibatkan keterbelakangan pertumbuhan dan perkembangan mental bagi
anak-anak serta orang dewasa. Usai melakukan penelitian kecil-kecilan dalam
tempo singkat, Betty Dong menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan kemujaraban
antarobat yang berhubungan dengan hormon tiroid gara-gara adanya perbedaan
kimiawi-biologis. Kesimpulan ini membuat Carter Eckert, bos perusahaan
farmasi bernama Boots, tertarik dan memintanya melakukan penelitian yang
lebih besar dan modern. Pada 1958, Boots pernah merilis obat untuk
menyembuhkan tiroid bernama Synthroid dan langsung menguasai pasar. Kemudian
pada pertengahan 1980-an, didukung oleh Presiden Ronald Reagen melalui Price
Competition and Patent Term Restoration Act of 1984 atau undang-undang yang
mengatur pengendalian harga dan kompetisi obat-obatan, muncul obat generik di
pasaran. Obat ini, sebagaimana dipaparkan Jeremy Greene dalam Generic: The
Unbranding of Modern Medicine (2014), adalah versi "copy-paste"
yang murah meriah dari pelbagai obat-obatan bermerek, termasuk Synthroid. Bagi Eckert dan para penggawa Boots,
kemunculan obat generik ini membuat posisi tawar Synthroid melemah di
pasaran. Musababnya, obat generik diizinkan dijual di pasaran oleh Federal
Drugs Administration (FDA)--BPOM-nya AS--bukan karena hasil uji klinis,
tetapi hanya atas pembuktian bahwa obat generik memiliki kemiripan kimiawi
dengan obat bermerek. Padahal, Boots mengklaim, Synthroid dibuat dengan
racikan khusus, levothyroxine, yang mustahil ditiru oleh obat bermerek lain,
apalagi obat generik. Menurut Boots, hal akan membuat masyarakat
dijejali obat-obatan sampah dan membuat obat berkualitas seperti Synthroid
ditinggalkan. Maka, melalui tangan Betty Dong, Boots ingin menggiring
masyarakat berpikir ulang tentang penggunaan obat generik. Boots berupaya mencari sebanyak mungkin
perbedaan kimiawi-biologis serta kemujaraban obat bermerek versus obat
generik. Namun, setelah Betty Dong melakukan penelitian pesanan Boots yang
besar, modern, dan membutuhkan waktu bertahun-tahun hingga 1993, tak ditemukan
satu pun perbedaan antara obat bermerek dengan obat generik. Sebaliknya, ia
menemukan banyak persamaan yang akhirnya menyimpulkan: obat bermerek
(termasuk Synthroid) dengan obat generik sama mujarabnya. Ironisnya, seminggu sebelum Betty Dong mengirimkan
temuan tersebut pada Journal of the American Medical Association untuk
dipublikasikan, pengacara Boots menghampiri dan mengancamnya. "Jika penelitian ini dipublikasikan, Anda
telah melanggar kontrak dengan Boots karena segala hasil penelitian ini, yang
jelas-jelas kami biayai, adalah milik kami. Dan jika Anda tetap ngotot
memublikasikan penelitian ini, saya yakin Anda tidak akan menang melawan kami
karena gugatan hukum yang akan kami ajukan terlalu mahal untuk Anda biayai
sendiri," ujar salah seorang pengacara tersebut. Betty Dong menyerah. Ia tak jadi
memublikasikan temuannya. Dan Boots, meskipun berhasil menyembunyikan hasil
penelitian tersebut, tetap tertekan di pasaran karena produsen obat generik
bernama My-K Laboratories menyuap para petinggi FDA untuk mengutamakan obat
generik dibandingkan obat bermerek. Tindakan Boots dan My-K Laboratories, menurut
antropolog Harvard University Arthur Kleinman, merupakan bukti bahwa industri
farmasi--di balik nilai guna yang sangat besar bagi umat manusia--"adalah
tempat di mana manusia kehilangan jiwa (kebaikan)" karena dipertukarkan
dengan keuntungan. Pertukaran sesat ini juga yang membuat vaksin,
senjata umat manusia untuk menghadapi banyak penyakit--termasuk Covid-19 yang
saat ini tengah melanda dunia--cenderung ditinggalkan gara-gara dianggap
tidak menguntungkan bagi perusahaan-perusahaan farmasi. Ketika Vaksin Dianggap
Tidak Menguntungkan "Manusia sangat pandai menciptakan virus
baru melalui ketidaksengajaan, entah itu virus flu yang muncul atas
kesembronoan manusia mengelola peternakan babi ataupun virus HIV yang hadir
gara-gara ketidakwaspadaan kita terhadap simpanse," tulis Carl Zimmer,
jurnalis The New York Times dalam A Planet of Viruses (edisi pertama 2011).
Dan berbalik dari kepandaian yang tak layak dirayakan ini, "sayangnya,
manusia bukanlah makhluk yang pintar membasmi virus." Dalam sejarah peradaban manusia, hanya cacar
atau smallpox--yang disebabkan oleh virus Variola, dan bukan cacar air atau
chickenpox yang disebabkan virus Varicella-zoster--yang berhasil dibasmi
secara keseluruhan. Keberhasilan manusia membasmi cacar tak berlangsung dalam
tempo singkat, tetapi dalam waktu ribuan tahun. Cacar telah hadir sejak 3.500 tahun silam yang
dibuktikan dengan penemuan tiga mumi Mesir di zaman Firaun yang memiliki
bekas pustula (gelembung kulit yang berisi nanah) cacar di kulitnya, dan
menyebar ke seantero dunia sejak 430 SM. Dalam usaha-usaha membasmi cacar,
proses "trial and error" jadi satu-satunya pilihan yang tersedia. Dan usaha pertama manusia yang cukup
memberikan hasil manis dalam pembasmian cacar terjadi karena
ketidaksengajaan. Sekitar tahun 900 Masehi, para dokter di Cina tanpa sengaja
mengetahui bahwa ketika seseorang terkena cacar, tetapi sebelumnya pernah
bersentuhan dengan pustula penderita cacar, ia hanya mengalami gejala biasa,
tidak mematikan. Dari temuan ini, dokter-dokter tersebut lantas
memproduksi variolasi (variolation), semacam bubuk atau lotion yang terbuat
dari bekas pustula guna menciptakan imunitas terhadap cacar. Dan dari temuan
dokter-dokter Cina ini, didukung desas-desus tentang tidak ditemukannya
penderita cacar di kalangan pemerah sapi, seorang dokter asal Inggris bernama
Edward Jenner berhasil menciptakan obat khusus anti-cacar yang dibuat
memanfaatkan pustula cacar sapi (cowpox) pada tahun 1700. Obat khusus ini,
meminjam nama latin untuk cowpox (Variola vaccinae), ia namai vaksin. Berbeda dengan obat-obatan biasa, vaksin
umumnya diberikan kepada masyarakat melalui bantuan negara. Merujuk tulisan
Zimmer, Kekaisaran Cina di bawah Dinasti Tang menjadi kekuatan pertama yang
memberikan vaksinasi (dalam bentuk variolasi) cuma-cuma kepada khalayak umum.
Lalu, ketika Jenner berhasil menciptakan vaksin, Raja Carlos IV dari Spanyol
menginisiasi "Ekspedisi Vaksin" pada 1803 guna memberikan vaksinasi
kepada masyarakat di seluruh dunia. Dan ketika dunia memasuki zaman modern,
sebagaimana dipaparkan Bernice L. Hausman dalam Anti/Vax: Reframing the
Vaccination Controversy (2019), pemberian vaksin dari negara kepada rakyat dipertegas
melalui "vaccine mandate" atau produk undang-undang yang mewajibkan
negara/rakyat memberikan/menerima vaksin. Di AS, tutur Hausman, mandat vaksin
ini berbentuk kewajiban negara untuk memberikan vaksin difteri, tetanus,
rejan, campak, gondongan, rubela, dan polio pada rakyatnya sejak awal
1980-an, dan bertambah sembilan vaksin lain sejak akhir 1980-an. Vaksin didistribusikan oleh negara karena obat
khusus ini sangat mahal dan tak menguntungkan bagi para perusahaan farmasi.
Menurut Vega Masignani dalam studinya berjudul "The Value of
Vaccines" (Journal of Vaccine Vol. 21 2003), tatkala perusahaan farmasi
hendak melakukan penelitian dan dilanjutkan dengan memproduksi obat-obatan,
cost-effectiveness (efektivitas biaya) jadi indikator utama penggeraknya.
Melalui indikator ini, jika biaya penelitian dan produksi lebih murah
dibandingkan perkiraan keuntungan yang akan diraih, perusahaan farmasi akan
memulai proses penelitian dan produksi. Sebaliknya, jika biaya penelitian dan
produksi lebih mahal daripada keuntungan, maka obat akan ditinggalkan. Dan
vaksin adalah obat yang lebih mahal biaya penelitian dan produksinya
dibandingkan keuntungannya. Mengapa vaksin tidak
menguntungkan? Berbeda dengan parasetamol yang terus-terusan
dikonsumsi selama sakit kepala muncul, misalnya, vaksin hanya sekali
disuntikkan lalu ditinggalkan. Ketika seseorang diberikan vaksin campak di
waktu belia, contohnya, tidak ada alasan baginya untuk memperoleh vaksin
campak kedua, ketiga, dan seterusnya. Alasan sederhana inilah yang membuat
perusahaan farmasi memilih mengembangkan obat-obatan non-vaksin. Bahkan
memilih mengembangkan obat untuk penyakit yang sebetulnya telah ada
vaksinnya. Alasannya, jika terdapat orang-orang yang ngotot menolak divaksin,
maka perusahaan farmasi memperoleh keuntungan melimpah dari obatan-obatan
non-vaksin untuk melakukan perawatan kepada orang-orang anti-vaksin ketika
terkena penyakit. Berbanding terbalik dari kacamata perusahaan
farmasi, cost-effectiveness vaksin
sangat menguntungkan bagi masyarakat. Kembali merujuk Masignani, vaksin
merupakan satu-satunya obat yang dapat mengeliminasi biaya kesehatan di masa
depan. Dengan menerima vaksin campak, misalnya, seseorang akan terhindar dari
biaya perawatan penyakit tersebut. Melalui cost-effectiveness
ini, vaksin adalah bisnis senilai $6,5 miliar. Memang terlihat besar. Namun,
angka tersebut hanya 2 persen dari total bisnis farmasi di seluruh dunia. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar