Kamis, 05 Agustus 2021

PPKM: Kegilaan Level 4

Rachland Nashidik ;  Pendiri Perhimpunan Pendidikan Demokrasi

TEMPO.CO, 3 Agustus 2021

 

 

                                                           

“Insanity is doing the same thing over and over again, but expecting different results”. Melakukan hal yang sama berulang-ulang, tapi mengharap hasil berbeda, adalah kegilaan.

 

Bukan Albert Einstein, melainkan Rita Mae Brown yang menulis dalam novelnya “Sudden Death” (1983) kalimat yang menjadi sangat populer dalam hampir empat dekade itu. Saya teringat padanya saat mendengarkan pengumuman pemerintah memperpanjang PPKM untuk ke empat kali.

 

Pada 3-20 Juli 2021, pemerintah memberlakukan PPKM darurat Jawa-Bali. Lalu diganti PPKM level 4 pada 21-25 Juli. Ini diteruskan hingga 2 Agustus 2021. Diteruskan lagi sampai nanti 9 Agustus 2021.

 

Jokowi terus mengubah-ubah nama kebijakan. Dari PSBB, PSBB transisi, PSBB ketat, Pembatasan Sosial Berskala Mikro atau Kecil (PSBM/PSBK), Pembatasan Sosial Kampung Siaga (PSKS), PPKM Darurat, hingga kini: PPKM Level 4. Tujuh nama berbeda untuk kebijakan serupa.

 

Apakah hasilnya? Jauh dari kabar gembira. Pada 20 Juli 2021, tanggal di mana PPKM darurat berakhir, angka kematian adalah 1280 orang. Kemarin, sehari sebelum PPKM Level 4 kembali diperpanjang, pada 1 Agustus 2021 jumlah kematian adalah 1604 orang. Untuk beberapa lama di antara tanggal tanggal itu, jumlah kematian dalam satu hari pernah mencapai 2000-an orang.

 

Sebenarnya, memang tak tersedia cukup alasan untuk sangat optimis. Namun, sejujurnya kita masih berharap: kebijakan pemerintah, dalam cara yang belum kita ketahui, kali ini akan benar-benar menyumbang pada upaya Indonesia menghindari spiral pandemi (pandemic spiral). Itu adalah mimpi paling buruk: jebakan pandemi tak berkesudahan, dengan tingkat penyebaran virus dan kematian warga yang naik turun. Seperti permainan yoyo.

 

Negara Pariah

 

Presiden Jokowi bukan saja tak belajar dari pengalaman negara lain yang terbukti lebih maju menangani pandemi. Ia juga tak kelihatan telah belajar dari pengalaman atau kesalahannya sendiri.

 

Saat virus Corona pertama kali merebak di Wuhan, Cina, banyak negara di dunia buru-buru mengunci pintu perbatasannya. Presiden Jokowi sebaliknya. Ia justru membuka lebar-lebar pintu Indonesia, bahkan menggelontorkan dana untuk promosi pariwisata dan merayu kunjungan turis, tak sedikit dari Cina.

 

Presiden mengulangi kesalahan ini, ketika dunia dikejutkan oleh serangan varian delta di India. Pintu perbatasan Indonesia lagi-lagi tak dikunci dari kedatangan turis India.

 

Pada kenyataannya, angka kasus Covid-19 aktif kini melonjak tinggi. Pada hari PPKM Level 4 diperpanjang, ada hampir tiga setengah juta kasus aktif dengan positivity rate sekitar lima ratus ribu orang dan angka kematian lebih dari sembilan puluh lima ribu jiwa. Excess death tidak diketahui pasti. Tapi organisasi mandiri Lapor Covid-19 pernah menyebut, ada belasan ribu kematian tidak dilaporkan.

 

Indonesia kini adalah episentrum pandemi di Asia. Disebut-sebut sebagai negara dengan penanganan pandemi terburuk di dunia.

 

Walhasil, banyak negara kini mengunci pintu bagi Indonesia. Singapura termasuk di dalamnya. Beberapa negara melangkah lebih jauh: melarang warganya ke Indonesia dan menarik pulang mereka yang masih di sini. Amerika Serikat, Kanada, Inggris dan Rusia ada di barisan ini.

 

Arab Saudi bahkan lebih keras. Raja Salman bukan cuma menarik warganya keluar dari Indonesia, ia juga menghukum mereka yang berani mengunjungi kita.

 

Indonesia kini negara pariah.

 

Revisi kebijakan!

 

Tujuh kali kebijakan berganti nama, selalu ada hal hal yang terus menerus sama. Pertama, upaya mati-matian Jokowi menyelamatkan ekonomi. Termasuk ke dalamnya: pembangunan infrastruktur. Padahal, nun ke belakang di awal pandemi, bahkan para ekonom sudah bernubuat: selamatkanlah manusia lebih dulu!

 

Kerusakan ekonomi bisa diperbaiki. Manusia mati tak bisa dihidupkan lagi. Semakin lama pandemi tak ditangani sepenuh hati, semakin ia akan tak terkendali. Akibatnya, akan semakin lama dan sulit ekonomi diperbaiki.

 

Kedua, penolakan Jokowi pada UU Kekarantinaan Kesehatan tahun 2018—dimana lockdown atau karantina wilayah adalah norma fondasionalnya. Padahal UU ini ditandatangani dan diberlakukan Jokowi sendiri.

 

Presiden Jokowi sebenarnya adalah satu-satunya orang di republik ini yang paling mampu menyelamatkan negeri kita. Ia memegang artileri kebijakan yang ampuh untuk itu. Salah satunya adalah Perpu Covid tahun 2020, yang menarik hak budgeting DPR sepenuhnya ke tangan Presiden.

 

APBN, bagi Presiden Jokowi, kini laksana selembar cek kosong. Ia bisa menulis angka berapa saja dan untuk apa saja. Secara konstitusional, isi perpu tersebut sebenarnya bermasalah. Namun karena sudah diberlakukan, kenapa itu tidak digunakan saja untuk keperluan yang sangat mendesak?

 

Misalnya menyusun ulang prioritas APBN. Agar negara bisa membiayai test PCR gratis untuk rakyat. Menyediakan vaksin unggul untuk rakyat dengan manajemen vaksinasi yang lekas. Membangun Rumah Sakit darurat. Melindungi dan menambah tenaga kesehatan. Menyediakan tabung oksigen gratis. Dan seterusnya.

 

Juga untuk memberi rakyat makan. Lockdown atau karantina wilayah dalam pandemi besar ini sangat krusial. Kombinasi lockdown dan percepatan vaksinasi di Inggris terbukti mampu menekan tingkat kematian. Tapi supaya tujuan karantina dicapai, negara wajib memenuhi kebutuhan pokok warganya. Agar rakyat tak lapar dan memaksa mencari makan keluar rumah.

 

Sangat disarankan, Presiden merevisi kebijakan penanganan pandemi dengan terutama mendengarkan pendapat para ahli. Jangan mengulang-ulang kebijakan yang sama, tapi mengharap hasil berbeda. Kebijakan sekarang ini terbukti kurang berhasil menekan angka kematian.

 

Pandemi dan politik

 

Bagaimanapun, tujuan utama penanganan pandemi di negeri ini seharusnya melindungi kehidupan dari kematian. Siapapun di dalam tubuh kekuasaan yang membina para Buzzer, harus dilarang mempolitisasi pandemi.

 

Jangan keterlaluan menganggap seolah permintaan agar kesehatan publik mendapat prioritas lebih di dalam APBN adalah jebakan. Sebab spiral pandemilah jebakan sesungguhnya yang harus ditakuti.

 

Proposal lockdown bukan gerilya oposisi untuk menjatuhkan Presiden. Sorotan kritis terhadap prioritas APBN bukan taktik politik supaya proyek infrastruktur mangkrak.

 

Kebijakan penanganan pandemi saat ini perlu segera direvisi atau diganti. Kegilaan level 4 ini harus diakhiri.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar