Sampah
Bukan untuk Dibuang Retno Suryandari ; Mahasiswa Magister Ilmu Lingkungan
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta |
KOMPAS, 26 Agustus 2021
Andaikata
kita bertanya kepada setiap orang tentang apa yang dihasilkan setiap hari,
disadari atau tidak setiap orang menghasilkan sampah. Tak terkecuali kita,
masyarakat di Indonesia. Total produksi sampah nasional di Indonesia tahun
2020 mencapai 67,8 juta ton, atau setara dengan rata-rata 0,68 kilogram
sampah per hari untuk setiap penduduk. Banyaknya
sampah yang dihasilkan ternyata belum terkelola dengan baik. Pengelolaan
sampah saat ini masih berbasis linear (kumpul-angkut-buang) yang berakhir di
TPA (Tempat Pemrosesan Akhir). Menurut Direktorat Pengelolaan Sampah KLHK
optimalisasi pengelolaan sampah pada 514 kabupaten/kota di Indonesia masih di
bawah 50 persen, sedangkan di kota besar sudah mencapai 70-80 persen. Padahal
pola pengelolaan sampah linear ini senantiasa membutuhkan lahan baru untuk
menampung sampah yang semakin menggunung. Apalagi TPA di Indonesia belum
mencapai standar sanitary landfill (menumpuk di lokasi cekung, memadatkannya
dan menimbunnya dengan tanah) dan justru lebih banyak menjadi open dumping
(menumpuk sampah hingga tinggi) yang rawan longsor. Egoisme "nyampah" Sampah
atau residu menjadi salah satu anasir yang menjadi keniscayaan bagi setiap
makhluk. Apabila meminjam teori dalam fisika, hal ini sesuai dengan hukum
termodinamika yang menyatakan bahwa energi tidak dapat dihancurkan atau
dihilangkan akan tetapi dapat berubah bentuk. Namun demikian, perubahan
bentuk energi tidak berlangsung efisien dan selalu menghasilkan energi
sampingan yang kurang berguna. Seperti halnya sampah. Menyadari
bahwa setiap orang menghasilkan sampah, lebih dari itu yang menyedihkan
adalah tidak setiap orang sadar bahwa sampah yang dihasilkan sepenuhnya
tanggung jawab masing-masing individu. Tidak hanya mengalami krisis tanggung
jawab terhadap sampah, masyarakat agaknya mengidap sindrom egois NIMBY (Not
in My Backyard) sejak dalam diri. Sindrom
NIMBY pada dasarnya merupakan sebuah gerakan yang seringkali diidentikkan
dengan gerakan terorganisir untuk menolak adanya pembangunan atau penggunaan
lahan. Penolakan tersebut dilakukan sebagai bentuk pencegahan terjadinya
dampak buruk yang dapat menimpa ‘pihak penolak’. Pernyataan ini terdengar
positif, namun sindrom NIMBY juga dinilai ibarat dua sisi mata pisau. Sindrom
NIMBY seringkali dikatakan sebagai sebuah gerakan egois dan mengakibatkan adanya
ketidakadilan lingkungan. Hal tersebut seringkali mengorbankan kaum miskin
dan minoritas. Kaum miskin dan minoritas cenderung tidak memiliki daya untuk
melakukan perlawanan atas sindrom egois NIMBY dari kaum mayoritas. Contoh
fenomena yang pernah terjadi dari sindrom egois NIMBY yaitu kisah abu
insinerator Philadelphia pada tahun 1986. Abu berbahaya tersebut kemudian
diangkut dan dibuang ke beberapa negara kurang berkembang dengan label palsu
sebagai pupuk tanah. Kejadian
abu insinerator di Philadelphia tersebut memiliki kemiripan dengan kejadian
impor sampah plastik dari negara maju ke Indonesia yang terbawa dalam sampah
kertas. Meskipun pada dasarnya sampah tersebut sengaja dibeli untuk kebutuhan
pabrik kertas. Sampah yang tidak disortir (unsorted solid waste) lebih murah
dibanding yang sudah disortir (sorted solid waste) sehingga untuk menekan
harga pokok produksi, pabrik kertas memilih sampah yang belum disortir. Kejadian
itu menjadi salah satu contoh ketidakberdayaan negara berkembang menghadapi sindrom
NIMBY di tengah tuntutan ekonomi. Mereka memilih untuk menekan harga produksi
meskipun harus mengorbankan lingkungan. Ekonomi sampah Lingkungan
tidak seharusnya terus-menerus menjadi pihak yang dikorbankan. Adanya sindrom
NIMBY seharusnya menjadi gerakan dan refleksi bagi setiap orang sehingga
muncul kesadaran bahwa tidak ada lagi tempat untuk sampah. Oleh karena itu
masyarakat pun wajib menyadari adanya tanggung jawab individu untuk mengelola
sampahnya. Mengorbankan
lingkungan berarti mengorbankan aspek penting lainnya seperti kesehatan.
Kesehatan juga akan menimbulkan efek domino terhadap aspek lain seperti
ekonomi. Hal ini tentu saja bukan sesuatu yang dikehendaki. Sebagaimana
kondisi Covid-19 saat ini. Apabila
pengelolaan sampah yang memadai tak kunjung dapat perhatian, maka penyakit
pun menjadi ancaman. Beberapa penelitian menunjukkan masyarakat yang tinggal
di kawasan dekat dengan TPA sering menderita asma, iritasi, diare, flu
berulang, kolera, malaria, batuk, dan TBC yang lebih tinggi dibandingkan yang
tinggal jauh dari TPA. Bukan tidak mungkin beberapa penyakit yang menular
dapat menyebar dan melumpuhkan ekonomi. Inovasi
senantiasa dilakukan untuk pengelolaan sampah di Indonesia. Terdapat tiga
pendekatan pengelolaan sampah yang dilakukan pemerintah, yaitu minim sampah
(eco-living), ekonomi sirkular, serta layanan dan teknologi. Semua itu
memerlukan partisipasi dan kolaborasi dari semua pihak. Pendekatan
minim sampah adalah pendekatan yang bisa dilakukan oleh setiap individu.
Masyarakat diharapkan mampu mengesampingkan egoisme ‘membuang sampah’ dan
beralih pada mengurangi dan memilah sampah. Namun
hal ini tentu saja menjadi sulit tercapai apabila perusahaan FMCG (Fast
Moving Consumer Goods) yang notabene menjadi penyedia kebutuhan sehari-hari
masyarakat tidak memberikan opsi. Masyarakat harus memperoleh opsi untuk
tidak banyak menggunakan kemasan sekali pakai supaya target pendekatan minim
sampah sejak dari individu dapat tercapai. Begitu
juga dengan perihal pemilahan sampah. Kenyataan bahwa masyarakat menjadi
enggan memilah adalah mengetahui bahwa sampah yang sudah dibedakan berdasar
kategori tersebut kemudian diangkut dalam satu bak dan kembali bercampur.
Masyarakat merasa usaha yang dilakukan menjadi sia-sia. Oleh
sebab itu untuk melancarkan program ini, akan lebih bijak jika pemerintah
menggandeng wirausahawan sosial yang bergerak dalam pengelolaan sampah.
Pemilahan sampah yang dilakukan masyarakat terfasilitasi, perusahaan
pengolahan sampah menyerap tenaga kerja, dan program yang dilaksanakan
berjalan bersamaan sekaligus. Sungguh kolaborasi yang apik. Ketika
pemilahan sampah dapat terlaksana dengan baik di Indonesia baik skala rumah
tangga maupun industri, maka sangat memungkinkan bahwa Indonesia tidak lagi
memerlukan impor sampah. Impor sampah kertas yang seringkali terselip sampah
plastik yang tidak digunakan perusahaan dan justru mencemari lingkungan. Selain
menyediakan opsi bagi masyarakat supaya dapat memilih tidak menggunakan
kemasan sekali pakai, FMCG juga memiliki tanggung jawab yang tidak kalah
penting. Menurut UU Nomor 18 Tahun 2008 Pasal 15 disebutkan bahwa “Produsen
wajib mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksinya yang tidak dapat
atau sulit terurai oleh proses alam”. Berdasarkan
landasan tersebut, maka produsen sudah seharusnya beralih dari sistem ekonomi
linear (Produksi-Pakai-Buang) menjadi sistem ekonomi sirkular (Reduce, Reuse,
Recycle, Recovery dan Repair). Apabila sistem tersebut tidak dapat serta
merta dilakukan oleh internal perusahaan, bekerja sama dengan perusahaan
pengolah sampah adalah pilihan tepat. Perusahaan dapat melakukan imbauan
terhadap konsumen untuk mengembalikan sampah ke pihak yang ditunjuk supaya
perusahaan juga dapat melaksanakan tanggung jawabnya. Pemerintah
juga memiliki peran penting dalam efektivitas pelaksanaan UU tersebut.
Sebagai pilihan, pemerintah dapat membuat peraturan bagi produsen untuk
mengeluarkan dana CSR wajib yang akan dipergunakan untuk pengelolaan sampah
di daerah-daerah. Pengelolaan
sampah di setiap daerah dapat mengadopsi berbagai jenis teknologi. TPA dapat
pelan-pelan dilakukan transisi menjadi Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu
(TPST) untuk mengolah sampah yang telanjur menggunung. Sampah-sampahnya dapat
mulai diolah menggunakan sistem Refused-Derived Fuel (RDF) yang dapat
mengubah sampah menjadi energi terbarukan. Selain
itu, untuk mengolah sampah organik menggunakan lalat tentara hitam (black
soldier fly/BSF) juga menjadi langkah yang tepat. BSF dapat mengubah sampah
organik menjadi pupuk organik yang selain bermanfaat bagi pertanian juga aman
bagi lingkungan. Intinya
permasalahan sampah teratasi apabila semua elemen saling berkolaborasi.
Sebagai masyarakat Indonesia, semboyan kebhinekaan tentu tidak asing lagi.
Maka, penyelesaian masalah sampah dapat ditanggulangi dengan cara yang
beragam oleh semua elemen. Melakukan dengan tujuan yang sama dan didukung
dengan sistem yang ajeg. Salah
satu narasi sederhana, tetapi penting untuk direnungkan. “Sampah bukan untuk
dibuang, tetapi diletakkan pada tempatnya”. Tempat yang tepat dan dapat
mengolahnya. Pergeseran paradigma ini akan membentuk kultur yang positif
untuk menuju Indonesia bersih dari egoisme nyampah dan sampah. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/26/sampah-bukan-untuk-dibuang/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar