Rangkap
Jabatan dan Integritas Akademisi Saifur Rohman ; Pengajar Program Doktor di Universitas
Negeri Jakarta |
KOMPAS, 5 Agustus 2021
Setelah
kasus rangkap jabatan Rektor Universitas Indonesia mengemuka akibat kisruh
"King of Lip Service" oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Sabtu
(26/6/2021), rambu-rambu umum universitas itu pun kini berubah. Peraturan
Pemerintah Nomor 75 Tahun 2021 tentang Statuta Universitas Indonesia telah
ditandatangani Presiden, 2 Juli 2021. Pada
awalnya, sebagaimana termaktub dalam PP Nomor 68 Tahun 2013, Pasal 35
menyebutkan Rektor dan Wakil Rektor UI dilarang rangkap jabatan pada satuan
pendidikan lain, instansi pemerintah pusat maupun darah, pejabat di badan
usaha milik negara, anggota partai politik, atau jabatan lain yang
bertentangan dengan UI. Untuk
klausul yang sama termaktub dalam Pasal 39, PP Nomor 75 Tahun 2021.
Perbedaannya, Rektor dan Wakil Rektor tetap dilarang menjabat di BUMN, tetapi
diperbolehkan untuk mengurusi BUMN di luar jabatan direksi. Berdasarkan
diktum tersebut, pejabat di UI bisa menjadi komisaris di BUMN. Apabila
dilihat secara redaksional, pihak rektorat tampak hanya mengubah satu kata
“pejabat” menjadi “direksi”, tetapi berdampak signifikan terhadap integritas
pribadi, visi pendidikan, dan kehidupan kita sebagai warga bangsa.
Pertanyaannya secara institusional, sebagai penyelenggara pendidikan papan
atas di Indonesia, apa dampaknya terhadap perkembangan pendidikan tinggi di
Indonesia? Secara personal, bagaimana integritas akademisi dalam jaringan
birokrasi? Garis merah Universitas Statuta
univesitas layaknya sebuah anggaran dasar di dalam sebuah organisasi
masyarakat. Peraturan bukan saja berfungsi untuk mengatur tiap orang yang menjadi
subyek, bukan sekadar kesepakatan dari masing-masing pihak, apalagi urusan
formalitas, melainkan sebuah standar nilai, sebuah martabat, semangat yang
hendak dijunjung tinggi oleh subyek. Secara moral, seluruh sivitas akademika
harus melihat status sebagai garis merah yang memberi batasan setiap sikap
terjang secara akademis Tidak
semua statuta menjelaskan secara rinci tentang rangkap jabatan. Apalagi
secara umum peraturan perundang-undangan memberikan rambu-rambu bagi aparatur
sipil negara. Sebagai contoh, PP Nomor 30 Tahun 2012 tentang Statuta
Universitas Airlangga, khususnya Pasal 32 dinyatakan larangan rangkap jabatan
sebagai pimpinan atau pejabat struktural pada perguruan tinggi lain, pejabat
struktural pada lembaga atau instansi pemda, dan pejabat lainnya yang dapat
menimbulkan pertentangan kepentingan dengan Unair. Akan
tetapi Statuta Universiats Negeri Jakarta (UNJ) misalnya hanya secara
spesifik mengatur tugas dan kewenangan rektor. Hal itu dapat dicermati dalam
Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia
Nomor 42 Tahun 2018 tentang Statuta Universitas Negeri Jakarta yang diteken
pada 21 September 2018 oleh Menristek Dikti Mohamad Nasir. Atas
dasar itu, ketika statuta merupakan aturan main tertinggi bagi akademisi,
maka kasus-kasus yang berpotensi menyalahi statuta universitas perlu
ditertibkan. Manakala peraturan yang justru ditertibkan, hal itu membawa pada
sebuah kesan tentang sentuhan kekuasaan terhadap peraturan sangat kentara
agar sesuai dengan kebutuhan aparatur. Ujungnya, pernyataan-pernyataan di
dalam peraturan itu disusun sebagai legalitas formal atas perilaku subyek
yang menjalankan institusi tersebut. Sebenarnya
rangkap jabatan tidak hanya terjadi pada Rektor UI, tetapi juga rektor-rektor
universitas lainya, seperti Universitas Hasanuddin maupun Universiats
Bengkulu. Mereka menjabat rektor sekaligus sebagai komisaris sebuah bank di
daerah. Ilegal secara moral Jika
logika ini disetujui, sekurang-kurangnya ada tiga kesalahan kaum akademisi
yang melakukan rangkap jabatan. Pertama,
rangkap jabatan ini meskipun menjadi legal secara yuridis, tetapi ilegal
secara moral. Jabatan memang bukan arisan tetapi rangkap jabatan menyalahi
asas keadilan sosial. Kewenangan yang berbeda bisa dipegang oleh dua ahli.
Demikian pula pendapatan yang mestinya bisa bermanfaat untuk dua kepala
keluarga harus terkumpul pada satu kepala keluarga. Kedua,
integritas akademisi dipertanyakan. Pengubahan peraturan yang terkesan hanya
untuk memenuhi legalitas kepentingan tertentu bukan membawa pada iklim
akademik yang segar, tetapi sebaliknya. Kewenangan sebagai akademisi yang
memiliki akses terhadap kekuasaan maupun keputusan-keputusan politik
senyatanya tidak dijadikan sebagai kekuatan untuk menjaga marwah para
ilmuwan. Ketiga,
pengabaian terhadap tuntutan institusi pendidikan sebagai gerbang membentuk
manusia Indonesia yang unggul. Posisi universitas sebagai laboratorium
peradaban, produsen nilai-nilai ilmiah, atau makelar ilmu pengetahuan
mestinya dijaga dengan integritas yang tinggi. Pada
masa lalu, pemeritah Orde Baru pernah mencanangkan program “padat karya”;
pekerjaan dan pendapatan perlu disebar sebanyak mungkin orang untuk
mengurangi pengangguran. Pada masa kini, ketika pekerja telah diganti dengan
keterampilan teknologi digital dan kreativitas telah menjadi tuntutan utama
dalam bisnis maka kini kita perlu “padat nilai”. Aturan
umum sebagaimana termaktub di dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur
Sipil Negara, PP Nomor 53 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil,
PP Nomor 29 Tahun 1997 tentang Pegawai Negeri Sipil yang Menduduki Jabatan
Rangkap, itu semua memberikan petunjuk tentang pentingnya integritas individu
dalam roda pemerintahan. Untuk ASN golongan rendah dengan gaji sekitar upah
minimum regional, mereka akan mencukupi kebutuhan dengan menjalankan
pekerjaan sambilan sebisanya yang tidak bertentangan dengan peraturan
pemerintah. Rangkap jabatan bagi pejabat eselon tentu bukan soal kebutuhan
sehari-hari. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar