Rakyat
Menggugat: MPR Bukan Pemilik Hakiki Kedaulatan Rakyat Anthony Budiawan ; Managing Director Political Economy and
Policy Studies (PEPS) |
WATYUTINK, 21
Agustus 2021
Sebelum
17 Agustus 1945, negara Indonesia belum berdiri. Pemerintah (Indonesia) belum
ada. Pada 17 Agustus 1945, sekelompok masyarakat Indonesia, yang berjuang
untuk kemerdekaan Indonesia, mendeklarasikan berdirinya negara Republik
Indonesia yang merdeka, dari Sabang sampai Merauke. Sekelompok
masyarakat ini, yang mendapat kepercayaan dari seluruh rakyat (Indonesia),
sepakat untuk membentuk pemerintah, berdasarkan butir-butir kesepakatan yang
dituangkan di dalam produk hukum Undang-Undang Dasar (UUD), yang menjadi pegangan
hukum bagi semua pihak, bagi rakyat dengan pemerintah yang dibentuknya, dan
senantiasa harus ditaati. Berarti,
Kesepakatan sekelompok masyarakat yang dituangkan menjadi UUD tersebut pada
dasarnya adalah Kontrak Sosial antar masyarakat. Sedangkan Pemerintah, yaitu
presiden dan segenap pembantunya, adalah pihak yang ditunjuk untuk
menjalankan kesepakatan Kontrak Sosial (UUD) antar masyarakat ini. Untuk
menyeimbangi kekuasaan presiden agar selalu berada dalam koridor kesepakatan
Kontrak Sosial (UUD), Kontrak Sosial juga sepakat menunjuk Perwakilan Rakyat
yang disebut Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Serta membentuk Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang terdiri dari anggota DPR ditambah utusan
golongan dan utusan daerah, yang sekarang (setelah amandemen UUD) menjadi
Perwakilan Daerah. DPR
dan MPR mempunyai wewenang yang berbeda. DPR mengawasi jalannya pemerintahan
antara lain pembentukan peraturan perundang-undang yang diperlukan negara.
MPR berwenang antara lain memilih dan memberhentikan presiden. Seusai Kontrak
Sosial (UUD) yang disepakati pada 17 Agustus 1945, yang mana wewenang MPR
tersebut sekarang sudah diamputasi sendiri oleh MPR, melalui amandemen UUD
(atau Kontrak Sosial). Pertanyaannya,
apakah amandemen UUD tersebut sah? Apakah MPR dapat mengubah Kontrak Sosial
antar masyarakat yang disepakati pada 17 Agustus 1945 tanpa melibatkan
masyarakat secara langsung? Apakah MPR sebagai perwakilan rakyat dapat
menjelma menjadi rakyat, sebagai pemegang kedaulatan rakyat dalam mengubah
Kontrak Sosial (UUD)? MPR
periode 1982 – 1987 yang dipimpin oleh Amir Machmud sebagai ketua MPR
berpendapat bahwa MPR tidak berwenang mengubah Kontrak Sosial (UUD) tanpa
melibatkan rakyat secara langsung dan sebagai pemiik Kedaulatan yang
sebenarnya. Oleh karena itu, MPR mengeluarkan Ketetapan (TAP) MPR No
IV/MPR/1983 tentang referendum. Pasal
2 menyatakan "Apabila MPR berkehendak untuk merubah UUD 1945, terlebih
dahulu harus meminta pendapat rakyat melalui Referendum". Presiden
Soeharto sebagai mandataris MPR ketika itu menjalankan perintah MPR
sepenuhnya dengan menerbitkan UU No 5 Tahun 1985 tentang Referendum untuk
perubahan UUD. Ketika
Presiden Soeharto mengundurkan diri, banyak pihak yang ingin mengubah dan
menghancurkan Kontrak Sosial antar masyarakat tertanggal 17 Agustus 1945. MPR
pimpinan Harmoko periode 1 Oktober 1997 hingga 30 September 1999 mengeluarkan
TAP MPR No VIII/MPR/1998 pada 13 November 1998 yang isinya mencabut TAP MPR
tentang Referendum. Dengan demikian, UU No 5 Tahun 1985 tentang Referendum
kehilangan dasar hukum, dan Presiden Habibie ketika itu “terpaksa” mencabut
UU tersebut dengan menerbitkan UU No 6 Tahun 1998 tentang pencabutan UU No 5
tahun 1985. Alasan
pencabutan TAP MPR tentang referendum tersebut karena referendum melanggar
hak MPR. Pertama, melanggar Pasal 1 ayat (2) UUD bahwa Kedaulatan adalah di
tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
dan kedua, MPR mempunyai wewenang untuk mengubah UUD seperti tercantum pada
Pasal 37 UUD. Referendum dianggap mengamputasi hak MPR tersebut. Dampaknya,
terjadi perubahan yang sangat mendasar terhadap isi Kontrak Sosial (UUD)
tertanggal 17 Agustus 1945, di mana MPR bahkan mengamputasi sendiri secara
suka rela wewenangnya sebagai wakil rakyat, sebagai “pemilik” kedaulatan
rakyat. Di mana MPR tidak mempunyai wewenang lagi untuk memberhentikan
presiden apabila dianggap melanggar kesepakatan Kontrak Sosial (UUD). Hal
ini juga berarti, MPR melanggar Kontrak Sosial tertanggal 17 Agustus 1945.
MPR tidak menjalankan tugas yang diberikan kepadanya untuk menegakkan Kontrak
Sosial (UUD), sehingga MPR tidak layak lagi menjadi pemegang kedaulatan
rakyat. Karena
MPR saat ini hanya berfungsi sebagai pelaksana (tukang) lantik, pelaksana
berhentikan presiden kalau diminta DPR, dan pelaksana mengubah UUD tanpa
melibatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan sebenarnya. Menurut
pendapat saya, dan sekaligus sebagai pembuka diskusi publik, referendum untuk
mengubah Kontrak Sosial (UUD) tidak melanggar hak MPR. Tidak melanggar
Kontrak Sosial (UUD) 17 Agustus 1945. Karena, pertama MPR masih mempunyai
wewenang untuk mengubah UUD sesuai Pasal 37. Tetapi, ada persyaratan
tambahan, yaitu sebelum mengubah UUD rakyat harus tahu apa yang akan diubah
dan memberi persetujuan atas topik yang mau diubah tersebut. Karena hal ini
berkaitan dengan Kontrak Sosial antar masyarakat. Kedua,
bertanya langsung kepada rakyat (referendum) sebagai pemilik kedaulatan yang
sebenarnya tidak melanggar Pasal 1 ayat 2 UUD yang mengatakan Kedaulatan
rakyat dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Karena, “dilakukan sepenuhnya oleh MPR”
bukan berarti terjadi pengalihan hak dari rakyat kepada MPR secara abosult
dan permanen. Oleh
karena itu, untuk hal-hal penting yang menentukan nasib rakyat di masa depan
seperti perubahan Kontrak Sosial (UUD), MPR bahkan harus melibatkan rakyat
secara langsung tanpa melalui perwakilan, melainkan melalui referendum,
termasuk kemungkinan referendum mosi tidak percaya baik terhadap eksekutif
maupun kepada pimpinan DPR dan MPR. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar