KPK
dan Tubir Korupsi Umbu T.W. Pariangu ; Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang |
JAWA POS, 21
Agustus 2021
KOMNAS HAM
menguak fakta terkait tes wawasan kebangsaan (TWK) pegawai Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Ada 11 hal yang dilanggar. Antara lain, hak atas
keadilan dan kepastian hukum, hak perempuan, hak untuk tidak didiskriminasi
atas hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, hak atas pekerjaan, hak atas
rasa aman (Jawa Pos, 16/8/2021). Sebelumnya
Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menemukan adanya penyimpangan prosedur TWK
berupa nota kesepahaman pengadaan barang atau jasa melalui swakelola yang
dibuat tanggal mundur antara KPK dan Badan Kepegawaian Negara (BKN). ORI juga
melakukan koreksi terhadap nasib 75 pegawai KPK agar diangkat menjadi ASN
sebelum 30 Oktober 2021. Fakta tersebut
semakin menegaskan bahwa TWK sejatinya diliputi labirin manipulasi dan
persekongkolan sistematis untuk ”mengeliminasi” 75 pegawai KPK. Meskipun
sebelumnya KPK ngotot membela proses TWK di hadapan rakyat, temuan Komnas HAM
dan Ombusdman pada akhirnya menelanjangi kebobrokan sistemis institusi
pemburu koruptor tersebut. Prinsip good governance yang selalu didengungkan
Ketua KPK Firli Bahuri selama ini nyatanya hanya lip service untuk
mengesankan lembaga tersebut sedang baik-baik saja. Padahal,
berbagai skandal (di antaranya pelanggaran etik ketuanya, kasus suap,
pencurian barang bukti oleh penyidik KPK, hingga pelanggaran TWK) yang
menggerogoti jantung KPK selama ini sudah cukup untuk menunjukkan betapa
lembaga ini mengidap paradoks akut. Di satu sisi, KPK dianggap inkarnasi
spirit demokrasi yang dihadirkan untuk melawan kebobrokan korupsi di tubuh
negara. Namun, pada saat bersamaan, KPK dengan berbagai kebijakannya
cenderung memengapkan dan mengotori ruang demokrasi dan harapan keadilan dan
kesejahteraan rakyat. Kebiri Demokrasi Harus diakui,
defisitnya kepercayaan publik terhadap kekuasaan hari-hari ini salah satunya
disumbang oleh perilaku elite KPK yang berupaya mereduksi benih demokrasi
dengan selalu membentengi diri dari protes moral masyarakat. Bayangkan,
perintah Presiden Jokowi beberapa waktu lalu yang meminta KPK bersama Badan
Kepegawaian Negara (BKN) menyusun skenario menyelamatkan 75 pegawai KPK
ternyata tidak diindahkan sama sekali oleh Firli. Padahal,
sebagai panglima pemberantasan korupsi (Rahardjo, 2019), presiden memiliki
kewenangan untuk mengintervensi kebijakan yang merugikan masa depan eliminasi
korupsi. Pimpinan KPK juga seakan ada dalam langgam serupa yang kerap mbalela
terhadap sikap kritis dan pengawalan moral publik terhadap kerja arbitrer
KPK. Kita masih
ingat soal aksi protes Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi terhadap
pelaksanaan TWK dengan menembakkan laser ke gedung KPK (28/6/2021). Bukannya
menyikapi gerakan moral tersebut sebagai ekspresi kebebasan berpendapat
publik, KPK justru melaporkan demonstrasi itu ke aparat kepolisian. Bagaimana
mungkin, institusi yang bersumber dari rahim demos (rakyat) berbalik mencederai
hak-hak populis rakyat dalam berdemokrasi. KPK mestinya menerima dengan
lapang dada kritik publik. Toh, kritik tersebut diniatkan untuk menyelamatkan
KPK dari devitalisasinya. Michael
Johnston (dalam Syndrome of Corruption, 2005) mengatakan bahwa pemberantasan
korupsi tidak hanya membutuhkan demokrasi prosedural, tetapi juga perlawanan
terhadap isu-isu riil antara orang dan kelompok yang mau merebut tujuan
kebaikan bersama dari cengkeraman kepentingan elite oligarki (elite capture).
Sayangnya, perlawanan dan kekritisan rakyat sering diberangus dengan
alasan-alasan yang irasional. Tidak sedikit yang beranggapan, KPK sudah lama
dijadikan sebagai arena pertempuran kekuatan koruptif yang terus sibuk
membancaki sumber-sumber kekayaan negara secara barbar. Tembok
integritas KPK sengaja dilemahkan oleh jejaring penguasa modal yang
menggunakan elite politik dan institusi KPK sebagai imprimatur proyek korupsi
pada semua lini kepentingan. Sistem institusi KPK juga sengaja dibuat samar,
tertutup dari kontrol agar persekongkolan najis bisa dilanggengkan dari pintu
belakang (backdoor deal’s) KPK. Situasi itulah yang oleh Stephen Robbins
(1994:7) disebut sebagai entropy ketika sistem di sebuah institusi
perlahan-lahan mengalami kolaps dan kehancuran karena alpa memasukkan energi
atau kekuatan baru. Dewan Pengawas
(Dewas) KPK yang diharapkan sebagai energi baru untuk merawat sistem dan
marwah KPK pun ikut-ikutan memfasilitasi bercokolnya kepentingan dimaksud.
Keputusan Dewas KPK terkait dugaan pelanggaran kode etik (terkait TWK KPK)
yang dinilai tidak cukup bukti sehingga tak memenuhi syarat untuk dilanjutkan
ke sidang etik menunjukkan kian mediokernya fungsi dewas dalam menegakkan
standar moral kerja institusi KPK. Situasi tersebut seakan menggenapi
kecurigaan publik bahwa keberadaan dewas lebih sebagai pembela (ketua) KPK
ketimbang menjadi hakim etik bagi tegaknya kebenaran di institusi KPK. Tak Boleh Masa Bodoh Bagaimanapun,
ketua KPK tak boleh masa bodoh, khususnya terhadap temuan Komnas HAM atau
tuntutan ORI agar KPK mengangkat 75 pegawainya sebagai ASN berhubung TWK
sarat dengan maladministrasi. Itu merupakan representasi desakan moral publik
untuk menyelamatkan muka KPK dari keburukan integritasnya. Hanya itu yang
bisa memperkuat taring KPK ke depan untuk mematahkan tulang kaki-kaki para
koruptor yang terus berupaya melangkahi ’’mayat’’ kesejahteraan rakyat
Indonesia. Kita sepakat
negara ini sedang di tubir pandemi korupsi mematikan. Bahkan, Indonesia
berpotensi menjadi korupstaat manakala institusi dan penegak hukum dibiarkan
diambil alih gerombolan koruptor. Hal tersebut terlihat jelas, misalnya dari
fenomena vonis hukuman rendah terhadap koruptor yang antara lain dinikmati
Pinangki dan Djoko Tjandra. Dalam
keresahan itulah, bangsa ini sangat membutuhkan benevolensi elite yang
memproteksi arus kuat kebencian dan permusuhan kolektif terhadap banalitas
korupsi. Meminjam pendapat Joel S. Migdal, pemimpin (presiden) dan elite
politik (parpol, DPR) harus berani dan bisa merelevansikan faedah kehadiran
negara (state in practice) dalam kehidupan konkret rakyat. Salah satunya
dengan menjustifikasi dan memperkuat temuan korektif Komnas HAM dan ORI di
atas agar dipatuhi dan dijalankan KPK. Presiden punya otoritas yang kukuh
untuk meluruskan segala penyimpangan yang dilakukan KPK secara mulus.
Presiden memiliki modal sosial yang cukup signifikan untuk melakukannya
karena publik sedang menaruh harapan besar terwujudnya reformasi di KPK. ● Sumber
: https://www.jawapos.com/opini/20/08/2021/kpk-dan-tubir-korupsi/?page=all |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar