Prospek
Papua Pasca Revisi UU Otonomi Khusus Usman Hamid ; Direktur Amnesty International Indonesia dan
Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Dewan Pakar Peradi RBA |
KOMPAS, 5 Agustus 2021
Pemerintah
pusat sering menggunakan klaim bahwa segala kebijakan Jakarta adalah demi
tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam kasus Papua,
seolah-olah segala masalah terkait Papua hanya berasal dari ancaman terhadap persatuan
Indonesia. Kalau
pun ancaman itu ada, salah satu akar masalahnya lebih berasal dari pola pikir
yang keliru dan kebijakan yang inkonsisten. Sebagian besar yang selama ini
diberlakukan oleh Jakarta adalah pendekatan koersif dalam konteks mempertahankan
integrasi Papua dalam wilayah NKRI. Wilayah
beserta kekayaan alamnya diutamakan, tetapi manusianya dikesampingkan. Itu
sebabnya banyak terjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) juga dalam revisi
Undang-Undang tentang Otonomi Khusus (UU Otsus) dan disahkannya RUU tentang
Perubahan Kedua atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (UU Otsus)
bagi Provinsi Papua. UU No 2/2021
tentang Perubahan Kedua atas UU No 21/2001 itu sudah diundangkan pada 19 Juli
2021. Dalam
pembahasan revisi itu, pemerintah pusat tidak melibatkan Majelis Rakyat Papua
(MRP) sebagai representasi kultural orang asli Papua secara memadai. Bahkan
protes penolakan ditangani secara koersif. Terkait
integrasi Papua ke dalam Indonesia, Bung Hatta pernah khawatir akan munculnya
apa yang ia sebut sebagai imperialisme Indonesia atas Papua. Imperialisme,
dalam sejarah, mengutamakan pemusatan kekuasaan, akumulasi modal, dan politik
rasisme. Hal
ini terlihat dari gagalnya implementasi UU Otsus Papua. Di atas kertas, UU
Otonomi Khusus tahun 2001 selama ini telah dianggap mengandung pasal-pasal
yang mengakui hak-hak masyarakat adat. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, UU
Otonomi Khusus 2001 tidak pernah benar-benar dilaksanakan. Salah
satunya adalah karena pemerintah pusat tidak pernah benar-benar memberi
kepercayaan kepada orang Papua, termasuk MRP yang telah ditetapkan menjadi
representasi kultural orang asli Papua, dengan yang bisa dikatakan tertinggi. Bahkan
beberapa kegagalan pelaksanaan otonomi khusus selama ini juga disebabkan oleh
inkonsistensi Jakarta terhadap apa yang telah disepakati dalam UU Otsus.
Misalnya, pembentukan provinsi baru atau pemekaran wilayah provinsi Papua
pada tahun 2003. Pemekaran wilayah yang menghasilkan pembentukan provinsi
baru, yaitu Irian Jaya Barat, atau yang sekarang dikenal sebagai Papua Barat. Sekarang,
masalahnya makin melebar. Bukan hanya pelaksanaan atas UU Otsus, melainkan
juga proses perumusan draf revisi UU Otsus dan proses pembahasannya yang
tanpa pelibatan dan konsultasi yang memadai dari orang asli Papua. Jika
memang surat presiden (surpres) dari Presiden Joko Widodo kepada DPR yang
menjadi dasar revisi UU Otsus mencerminkan konsultasi publik yang meluas dari
orang asli Papua, maka seharusnya MRP tidak akan memutuskan untuk mengajukan
permohonan kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Persoalan
lain, substansi hukum dari UU Otsus tersebut justru kembali ditabrak. Salah
satunya melalui pengambilan wewenang Majelis Rakyat Papua, lembaga negara
resmi yang dibentuk oleh undang-undang otonomi khusus, dalam keputusan
pemekaran wilayah. Dalam
UU Otsus yang lama, Pasal 76 menyatakan bahwa “Pemekaran Provinsi Papua
menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah
memerhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber
daya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang.” Artinya,
pemekaran wilayah dilakukan atas persetujuan MRP dan Dewan Perwakilan Rakyat
Papua (DPRP), walaupun pernah dilanggar di era Presiden Megawati
Soekarnoputri yang membentuk Provinsi Irian Jaya Barat dengan Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 2003. Adapun
dalam naskah Revisi UU Otsus Papua yang baru disahkan, pemerintah pusat ingin
memiliki kewenangan untuk secara langsung melakukan pemekaran wilayah di
Papua tanpa harus mendapat persetujuan dari Majelis Rakyat Papua. Simak
ketentuan berikut. Pasal 76 Ayat 1 berbunyi: “Pemekaran daerah provinsi dan
kabupaten/kota menjadi provinsi-provinsi dan kabupaten/kota dapat dilakukan
atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memerhatikan dengan sungguh-sungguh
kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia, kemampuan ekonomi, dan
perkembangan pada masa yang akan datang". Ketentuan
ini menghilangan sifat imperatif (wajib) dari persetujuan Majelis Rakyat
Papua dalam pemekaran wilayah, dengan menambahkan kata “dapat”. Artinya
pemekaran wilayah itu boleh dilakukan oleh MRP, tetapi juga dibolehkan untuk
dilakukan oleh pemerintah pusat dengan tanpa persetujuan MRP. Dengan kata
lain, revisi UU Otsus yang baru ini ingin memusatkan kembali kendali Papua
pada Jakarta. Begitu
pula dengan Pasal 76 Ayat 2: "Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat
dapat melakukan pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota menjadi daerah
otonom untuk mempercepat pemerataan pembangunan, peningkatan pelayanan
publik, dan kesejahteraan masyarakat, serta mengangkat harkat dan martabat
Orang Asli Papua dengan memerhatikan aspek politik, administratif, hukum,
kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia, infrastruktur dasar,
kemampuan ekonomi, perkembangan pada masa yang akan datang, dan/atau aspirasi
masyarakat Papua". Dengan
rumusan ini jelas bahwa kedua ketentuan baru ini menunjukkan inkonsistensi
Jakarta untuk yang kesekian kalinya. Pasal-pasal lainnya, penambahan orang
asli Papua dan badan khusus Papua yang dipimpin oleh Wakil Presiden, hanya
menegaskan kendali Papua ditarik kembali ke Jakarta. Dengan
pemusatan kendali politik tersebut, maka jaminan hak-hak masyarakat adat atas
kekayaan alam mereka kerap dikesampingkan. Contohnya, dalam sektor
pengelolaan sumber daya alam. Hak mereka dibenturkan dengan undang-undang
lain yang bertentangan. Hal
ini dapat dilihat dengan berlanjutnya deforestasi di wilayah adat. Menurut
data Forest Watch Indonesia, antara tahun 2000 hingga 2009, laju deforestasi
di Papua sekitar 60.300 hektar per tahun. Antara 2013 dan 2017, angka ini
meningkat lebih dari tiga kali lipat menjadi 189.300 hektar per tahun. Respons
pihak berwenang atas sejumlah protes di Papua dan wilayah lain-yang dipicu
ketidakpuasan atas implementasi otonomi khusus-juga tidak memuaskan. Protes-protes
tersebut ditanggapi dengan penangkapan dan kekerasan. Demonstrasi mahasiswa
disambut dengan represi. Ketika MRP mengadakan pertemuan publik evaluasi
otonomi khusus di Merauke pada November 2020, misalnya, dua anggota dan
stafnya ditangkap atas tuduhan makar. Contoh
lain adalah pembubaran paksa aksi damai mahasiswa dan pemuda di lingkungan
Universitas Cendrawasih, serta menangkap 23 mahasiswa demonstran pada Rabu (14/7/2021), dan
penangkapan 50 aktivis Papua di Jakarta (15/7/2021). Pemerintah
harus memastikan bahwa penduduk asli Papua didengar pendapatnya dan
dilibatkan secara berarti dalam menentukan segala aspek yang menyangkut
kehidupan mereka, termasuk dalam penyusunan UU Otsus. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar