Senin, 09 Agustus 2021

 

Olimpiade dan Kesenian Selalu Bergandengan Tangan

Agus Dermawan T ;  Pengamat Seni Rupa; Penulis Buku Karnaval Sahibulhikayat

KOMPAS, 8 Agustus 2021

 

 

                                                           

Olimpiade Tokyo 2020 digelar pada 23 Juli sampai hari ini, 8 Agustus 2021. Mata manusia di bumi telah memperhatikan pesta olahraga terbesar ini. Prestasi demi prestasi telah dicatat dan kenangan pertandingan lekat terpateri.

 

Di balik peristiwa olahraga yang seru itu sesungguhnya ada ”makhluk halus” yang selalu mendampingi. Dan itu adalah kesenian. Pendampingan ini dimulai sejak Olimpiade kuno diselenggarakan di Yunani pada ribuan tahun silam. Bukti dari peran kesenian itu tampak pada banyaknya artefak yang kini terpajang di Museum Olympia di kota Olympia. Begitu menariknya artefak sehingga sejumlah patung batu, tembikar dan tembaga merangsang hasrat perampok pada 2012.

 

Olimpiade dan kesenian tetap bertaut hati ketika Olimpiade modern mulai digagas pada akhir abad ke-19. Dan itu dimulai ketika seorang bangsawan Perancis, Pierre Baron de Coubertin, melihat bahwa ada sebuah kota kecil di Inggris telah beberapa kali mengadakan pertandingan olahraga bagi atlet-atlet berbagai wilayah. Ia berpikir: alangkah menarik apabila perhelatan olahraga itu diformulasi dalam bentuk seperti Olimpiade. Untuk mengembangkan ide tersebut, ia lantas berdiskusi panjang dengan para sejarawan dan pakar olahraga Yunani, pihak yang memiliki sejarah Olimpiade kuno. Sampai akhirnya Olimpiade modern pertama pun digelar di kota Athena pada 1896.

 

Dalam perancangan acara, panitia penyelenggara mendapati fakta bahwa perhelatan olahraga Yunani dahulu kala senantiasa bersekutu dengan kesenian. Mengapa itu terjadi, ceritanya demikian.

 

Syahdan Olimpiade kuno yang digelar pada 776 SM sampai 394 M adalah sebuah ritual besar untuk memuja Zeus (Dewa Langit dan Bumi), bapak para dewa yang tinggal di puncak Gunung Olimpus. Dan sekaligus untuk memuliakan Athena (Dewa Kebijaksanaan dan Kejujuran), Hermes (Dewa Perdagangan), Apollo (Dewa Kesenian dan Logika) serta Aphrodite (Dewi Kecantikan dan Percintaan). Bentuk pemujaan dan pemuliaan itu berupa pergelaran besar Olimpiade, yang diselenggarakan di kota Olympia, sebelah barat kota Athena.

 

Konten utama Olimpiade kuno ini adalah pertandingan olahraga, yang dipersembahkan sebagai kultus atas Dewa Zeus. Karena pesta ini juga menjunjung Dewa Athena dan Dewa Hermes, maka setiap acara diproyeksi bisa mengembangkan kearifan budi serta kesejahteraan sosial ekonomi warga kota Olympia (dan Yunani).

 

Lalu untuk pemuliaan Dewa Apollo dan Dewa Aphrodite, kesenian dimunculkan sebagai bagian amat penting dari perhelatan. Busana para penyambut, alat olahraga, mahkota daun dan buah zaitun bagi juara, sampai panggung perhelatan didesain indah. Acara pembukaan pun dikemas dalam seremoni artistik.

 

Pada hari-hari pertandingan, di luar arena ada pertunjukan musik tambur, lira, sampai harpa. Ada pula pembacaan syair, pentas monolog dan dongeng. Bahkan ceramah filsafat, yang berkonteks dengan gairah dan semangat manusia. Dalam buku The Histories yang disusun sejarawan dan ahli geografi Yunani, Herodotus (kelahiran 484 SM), ceramah filsafat biasanya dilakukan di sejumlah kuil di Olympia. Sementara kesenian boleh dipentaskan di mana saja.

 

Lalu dalam Olimpiade kuno, olahraga dan kesenian terlihat selalu bergandeng tangan.

 

Pembukaan dan penutupan

 

Pada Olimpiade modern, persahabatan kesenian dan olahraga paling kelihatan pada saat opening dan closing ceremony. Dua acara ini di kemudian hari ditunggu sebagai bagian yang harus dipandang sepenuh mata. Karena akhirnya kemunculan kesenian di situ tidak lagi cuma bermuatan mitos atas Apollo dan Aphrodite, tetapi juga menjadi ajang pertunjukan kebudayaan bangsa yang jadi penyelenggara.

 

Persis seperti yang dikatakan petinggi panitia Olimpiade Meksiko 1968: ”Seni adalah wajah kebudayaan sebuah bangsa. Acara Olimpiade–betapapun itu memerlukan biaya selangit–adalah kesempatan emas untuk menunjukkan ketinggian kesenian bangsa kepada khalayak dunia.” Itu sebabnya sebuah negara kadang tak lagi menghitung medali yang akan didapat, tetapi bagaimana lewat kesenian di Olimpiade bangsanya naik martabat.

 

Kesenian pun lantas dieksplorasi habis-habisan dalam acara Olimpiade sepanjang 120 tahun terakhir.

 

Olimpiade 1992 di Barcelona, misalnya, mementaskan warni-warni kebudayaan Spanyol, yang merupakan asimilasi dari budaya Visigothic Eropa, Latin, Islam Timur Tengah, Katolik Roma, dan Meditarenia. Tarian flamenco, fandango, mulneira sampai jerapah jangkung lukisan surealis Salvador Dali pun muncul secara spektakuler di lapangan.

 

Olimpiade London 2012 mementaskan teater akbar bertema keunggulan manusia Inggris dalam menaklukkan seribu tantangan. Sejak dari penguasaan jagat samudra sampai pembangunan pabrik-pabrik raksasa.

 

Olimpiade Beijing 2008 menyajikan keragaman kesenian China yang tumbuh dari kurun ke kurun. Dari musik, syair, busana, arsitektur, tari, sampai seni bela diri. Sebagai negeri yang mengklaim memiliki kebudayaan berusia 10.000 tahun, China mengisi panggung dengan seni visual yang nyaris tak masuk akal estetiknya. Kaligrafi, keramik, relief-relief Buddha masa silam dihadirkan gigantik dalam teknologi maya. Sendratari kolosal era keemasan seni Dinasti Han dihidupkan dengan gegap gempita.

 

Olimpiade Atlanta 1996 menghadirkan seni teater fantastik yang menceritakan para olahragawan Yunani kuno sedang beratraksi di depan Dewa Zeus. Efek sinematik muncul dari olahan seni multimedia. Bentangan kain 150 meter dan sorot lampu ratusan ribu watt menghantar pemandangan historis yang mencengangkan.

 

Olimpiade Sydney tahun 2000 menggelar pertunjukan kolosal ihwal perjalanan bangsa Australia, yang dimulai dari keunikan budaya Aborigin, keajaiban bukit Uluru dan karang Ningaloo yang disemburati aurora, cahaya milik Dewa Apollo.

 

Ihwal di atas mengingatkan kita kepada kiprah Wishnutama dan para seniman Indonesia dalam membuka Asian Games XVII Jakarta-Palembang 2018. Dalam perhelatan itu, Indonesia menghadirkan pentas konfigurasi ribuan penari yang megah gempita di panggung Gelora Bung Karno. Kekuatan seni Indonesia dari Aceh sampai Papua menghantar wajah cantik budaya Indonesia ke dunia internasional.

 

Yang jangan dilupa: pesta kembang api dalam setiap pembukaan dan penutupan. Semburan bunga api yang sungguh indah itu adalah bentuk pengingatan atas mitos Zeus sebagai sang pemilik setriliun petir!

 

Mematri kenangan

 

Selanjutnya, untuk mengabadikan kenangan atas kehebatan perhelatan, dibangunlah taman seni dan museum seni. China menghamparkan Beijing Olympic Park di Distrik Chaoyang. Seni arsitektur niaochao atau yanwo (sarang burung) rancangan perupa kontemporer Ai Weiwei yang dibangun oleh Herzog & de Meuron dari Swiss tentulah diposisikan sebagai ikonnya.

 

Jepang mendirikan Japan Olympic Museum di Tokyo. Benda memorabilia Olimpiade, termasuk jajaran medali kemenangan Jepang yang bertubi-tubi dihidangkan dengan ramuan seni ultramodern. Wahana ini mendampingi Museum Olimpiade dan Paralimpic di Colorado, Amerika Serikat, yang berangkat dari konsep seni rupa kontemporer. Jauh hari sebelumnya Korea Selatan pada 1988 membangun Olympic Sculpture Park di Seoul, yang memajang 190 patung monumen dari seluruh dunia.

 

Olimpiade dan kesenian memang selalu terlihat jalan bersama.

 

Sementara itu, diakui, penghadiran kesenian spektakuler di panggung Olimpiade memerlukan biaya sangat tinggi. Itu pasti lantaran kesenian yang istimewa memang barang mahal. Namun, ”keluhan” atas harga nan tinggi itu akan luruh ketika kita ingat ucapan para dewa di Gunung Olympus: Omnium Artium (seni terbaik, berapa pun harganya) adalah sangat layak untuk sang citius, altius, faltius. Bagi yang tercepat, yang tertinggi, dan yang terkuat! ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar