Menjaga
Keseimbangan di Antara Hegemoni AS-China Mohammad Anthoni ; Pengamat Hubungan Internasional |
SINDONEWS, 4 Agustus 2021
PERSAINGAN perebutan pengaruh atau hegemoni
antara Amerika Serikat (AS) dan Republik Rakyat China (RRC) di kawasan Asia
Pasifik semakin tampak jelas dan menarik serta menjadi topik pembahasan dalam
seminar oleh berbagai pusat kajian dan tulisan telaah.Misalnya, Pusat Studi
Asia Tenggara (Center for Southeast Asian Studies/CSEAS) Indonesia, baru-baru
ini menggelar webinar terkait potensi ancaman politik, ekonomi, dan keamanan
terhadap negara-negara Asia seiring dengan meningkatnya hegemoni China.
Webinar internasional itu bertema,”China’s Hegemony: Potential Political,
Economic and Security Threats to Asian Countries”. Para pakar dan pengamat mengemukakan
pendapatnya bahwa AS yang selama in mengalami surplus power secara perlahan
menurun sementara China naik secara sistematis. Proses pergeseran kekuasaan
antara kedua negara itu seperti ayunan yang bergerak. Dalam rentang tiga dekade belakangan, China
telah berkembang dari negara terbelakang menuju posisi terdepan dalam
urusan-urusan dunia. Tampak jelas negara ini berada di lintasan untuk meraih
posisinya yang bersejarah sebagai ekonomi terbesar, menyingkirkan AS. China
terus mengancam hegemoni AS di dunia secara umum dan di kawasan Asia Timur
atau Asia Pasifik khususnya. Senior Research Fellow dari CSEAS Veeramalla
Anjaiah memaparkan sejarah pembentukan Partai Komunis China (CCP) 100 tahun
lalu (23 Juli 1921) dan para tokohnya termasuk Mao Zedong. Tetapi CCP di
bawah Presiden Xi Jinping merayakan ulang tahun ke-100 pada 1 Juli 2021. Selama 72 tahun terakhir CCP telah
mentransformasi China dari salah satu negara termiskin menjadi ekonomi
terbesar kedua terbesar di dunia, kekuatan militer terbesar ketiga dan
hegemoni global. Sebagai satu adidaya global yang sedang muncul, China, yang
berpenduduk terbesar di dunia dengan 1,44 miliar jiwa, menjadi penantang dominasi
AS sebagai adidaya saat ini. Selama kurun waktu dari 1927 hingga 1979 China
terlibat dalam berbagai konflik dan perang. Menurut Anjaiah, kekayaan dalam bidang ekonomi
tidak mengubah perilaku CCP. Aksi protes mahasiswa di Lapangan Tiananmen
tahun 1989 ditumpas secara brutal. Jutaan Muslim Uighur dijebloskan ke dalam
kamp-kamp konsentrasi dan gerakan demokratik juga dilibas di Hongkong. “Dengan kekayaan dan kekuatan militer, China
ingin mendominasi dunia dengan memperluas kekuatan dan pengaruhnya,” katanya.
Dia merujuk kepada Belt and Road Initiative (BRI) yang mencakup 68 negara di
Asia, Afrika, Eropa dan Amerika Selatan dengan rencana investasi ditaksir
sebesar 1 juta triliun. Berdasarkan program BRI China dengan agresif
menyediakan pinjaman dan menanam modal dalam berbagai proyek infrastruktur di
Indonesia dan negara-negara Asia lainnya di bawah program BRI. Dikatakannya,
Indonesia harus hati-hati untuk menghindari pengalaman-pengalaman Sri Lanka,
Pakistan dan Kamboja. Kini China mulai secara terbuka menyatakan
bahwa dengan kekuatan ekonominya, ia akan berupaya mendapatkan status sebagai
great power. China berhasil membuktikan bahwa pemerintahannya sangat stabil
dengan jaringan diplomatik dan ekonomi globalnya yang menjelajah dunia. Paradoks Terdapat paradoks menarik dalam hubungan
rivalitas antara AS dan China selama ini. Apabila dibandingkan dengan masa
Perang Dingin, kontestasi politik dan ideologi antara AS dan Uni Soviet
dahulu berlangsung secara transparan. Artinya masing-masing negara memang secara
terbuka menyatakan terdapat “benturan kepentingan” satu sama lain. Hal yang berbeda justru terjadi dengan China.
AS selalu menempatkan China dalam posisi “mitra strategis” perdagangan dan
kerja sama ekonomi internasional sekaligus juga di sisi yang lain dianggap
menjadi “ancaman” dalam kepentingan keamanan. Paradoks ini bisa terlihat
sejak kebijakan Asia Pivot pada masa pemerintahan Obama.Obama berulang kali
menyatakan bahwa Asia Pivot akan merupakan strategi untuk menahan pengaruh
China di kawasan. Di sisi lain, para pejabat China juga menyatakan berulang
kali bahwa mereka tidak punya niat untuk menghalangi kepentingan AS di Asia
(Bendini 2016). Kedua negara bagaimanapun tentu memiliki
starategi politik yang berbeda dan tampaknya cenderung “menyembunyikan”adanya
kepentingan yang berbeda tersebut. Beberapa contoh kebijakan AS lain juga
mencerminkan paradoks ini. Pengerahan pasukan militer AS secara permanen di
Australia serta upaya AS untuk mendiskusikan masalah Laut China Selatan dalam
forum multilateral ASEAN Summit dianggap merupakan upaya untuk “membendung”
China. Selain itu penguatan kapabilitas militer lima negara aliansi di
kawasan Asia-Pasifik serta penyesuaian posisi pangkalan militer di sekitar
wilayah China untuk menyangkal bahwa kebijakan ini tidak mengarah kepada
upaya pembendungan kekuatan China. Dengan kebangkitan China, hubungan Sino-AS
telah menjadi semakin penting dan mungkin berbahaya bagi stabilitas keamanan
kawasan. Kontestasi politik dan keamanan yang sudah usai dengan berakhirnya
Perang Dingin, secara langsung belum mampu – secara lama – menjadikan AS
sebagai negara adi daya yang selalu bisa mangatur dunia secara “tunggal”.
Hadinya China memberikan alternatif dalam interaksi keamanan regional.
Akibatnya pergeseran ini memicu perdebatan kontemporer bagaimana mengelola
konflik dan hegemoni antar dua kekuatan tersebut (Al Syahrin, 2018). Director of the New Zealand Contemporary China
Research Center, Victoria University, Dr Jason Young mengatakan dalam webinar
CSEAS, karena persaingan antara China dan AS untuk hegemoni regional di Asia,
negara-negara Asia tidak boleh bergabung hanya dengan satu kekuatan besar.
Mereka harus melibatkan keduanya dan menjaga keseimbangan. "Ancaman terhadap negara-negara Asia,
dalam hal munculnya China sebagai kekuatan besar dan persaingan kekuatan
besar untuk hegemoni di kawasan, adalah jika Asia menjadi Asia tanpa Amerika
Serikat, itu akan menjadi luar biasa bermasalah. Karena tidak akan ada
kekuatan besar untuk menyeimbangkan China,” kata Young. Peningkatan persaingan perebutan pengaruh di
Asia Pasifik antara AS dan China hendaknya tidak mengurangi atau mengubah
politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar