Menimbang
Sifat Baiknya Koruptor Gaudensius Suhardi ; Dewan Redaksi Media Group |
MEDIA INDONESIA,
26 Agustus 2021
PERTIMBANGAN
hukum yang meringankan terdakwa kasus korupsi tiba-tiba menjadi sorotan
masyarakat. Disorot karena hal-hal yang dipertimbangkan itu mengusik rasa
keadilan. Rasa keadilan
dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat mestinya diindahkan hakim sehingga
putusannya diterima dengan ikhlas. Diindahkan karena putusan hakim
benar-benar menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum. Pasal 5 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mewajibkan
hakim dan hakim konstitusi menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam
mempertimbangkan berat ringannya pidana, menurut Pasal 8 ayat (2), hakim
wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa. Penjelasan
ayat itu menyebutkan, ‘Dalam menentukan berat ringannya pidana yang akan
dijatuhkan, hakim wajib memperhatikan sifat baik atau sifat jahat dari
terdakwa sehingga putusan yang dijatuhkan sesuai dan adil dengan kesalahan
yang dilakukannya’. Sifat baik
terdakwa biasanya tercantum dalam pertimbangan yang meringankan, sedangkan
sifat jahatnya tertuang dalam pertimbangan yang memberatkan. Sejauh ini,
pertimbangan sifat jahat terdakwa belum pernah diprotes masyarakat. Hanya
pertimbangan yang meringankan menjadi sorotan dan menuai protes secara luas. Terus terang,
suka-suka hakim menentukan sifat baik dan jahatnya terdakwa meski sudah ada
pedoman yang dikeluarkan Mahkamah Agung terkait pemidanaan Pasal 2 dan Pasal
3 UU 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU 20/2021 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Pedoman
dimaksud tertera dalam Peraturan MA No 1 Tahun 2020. Disebutkan bahwa keadaan
yang meringankan antara lain terdakwa belum pernah dipidana; terdakwa
kooperatif dalam menjalankan proses pradilan; terdakwa menyesali perbuatannya
dan berjanji tidak mengulangi lagi perbuatan pidana. Selain itu,
terdakwa memberi keterangan secara berterus terang dalam persidangan;
terdakwa telah menyerahkan diri atau melaporkan tindak pidana yang
dilakukannya; terdakwa belum menikmati hasil tindak pidana; terdakwa telah
berusia lanjut atau dalam kondisi sakit; terdakwa mengembalikan harta benda
yang diperoleh dari tindak pidana korupsi secara sukarela sebelum pengucapan
putusan; dan/atau terdakwa memiliki keadaan ekonomi/finansial yang buruk. Meski
pedomannya sudah terang benderang, hakim sering membuat pertimbangan yang
meringankan di luar yang diatur. Alasannya sederhana, pertimbangan itu bagian
dari kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Karena itu,
apa pun pertimbangan hakim patut dihormati.
Setidaknya ada
dua putusan dengan pertimbangan meringankan yang menjadi perhatian
masyarakat. Pertama, dalam kasus Pinangki Sirna Malasari. Kedua, terkait
vonis Juliari Batubara. Pengadilan
Tinggi DKI Jakarta memotong hukuman Pinangki dari 10 tahun menjadi 4 tahun
penjara. Salah satu pertimbangannya ialah Pinangki merupakan seorang ibu dari
anak yang masih berusia balita (4 tahun) yang layak diberi kesempatan
mengasuh dan memberi kasih sayang kepada anaknya dalam masa tumbuh kembang.
Pinangki selaku perempuan juga dinilai harus mendapat perlindungan dan
diperlakukan adil. Pertimbangan
meringankan faktor punya anak kecil bukan monopoli Pinangki. Hakim juga
mempertimbangkan dua anak kecil yang masih membutuhkan bimbingan menjadi
faktor yang meringankan vonis Tubagus Chaeri Wardana. Sayangnya, pada kasus
Angelina Sondakh yang saat divonis punya anak balita, tanpa suami yang bisa
membantu merawat anaknya karena meninggal dunia, itu tidak menjadi
pertimbangan hakim. Vonisnya malah diperberat di tingkat kasasi. Pertimbangan
putusan Pengadilan Tipikor Jakarta pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas
Juliari juga disorot. Salah satu pertimbangan yang meringankan ialah terdakwa
sudah cukup menderita dicerca, dimaki, dihina oleh masyarakat. Terdakwa telah
divonis oleh masyarakat bersalah padahal secara hukum terdakwa belum tentu
bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Semua terdakwa
kasus korupsi pasti di-bully di media sosial. Akan tetapi, sejauh ini hanya
Juliari yang mendapatkan pertimbangan meringankan karena cukup menderita
dicerca, dimaki, dihina oleh masyarakat. Kalau tidak mau dicerca, ya jangan
korupsi. Apa pun yang
diputuskan hakim, termasuk pertimbangan baik dan jahatnya terdakwa, harus
dianggap benar sesuai asas res judicata pro veritate habetur. Apalagi putusan
itu disertai irah-irah ‘Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’. Agar hakim
tidak jatuh ke dalam percobaan, baik kiranya dirumuskan secara jelas dalam
undang-undang perihal pertimbangan baik buruk terdakwa supaya tidak
menimbulkan multitafsir. Tidak cukup dituangkan dalam peraturan MA. ● |
Sumber : https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/2235-menimbang-sifat-baiknya-koruptor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar