Kekaisaran
Organisasional China Seno Gumira Ajidarma ; Wartawan |
KOMPAS, 23 Agustus 2021
Seberapa
jauh “abad penghinaan” yang diderita China mendorong kebijakan politik internasionalnya?
Seratus tahun Partai Komunis China bermakna kelanjutan kekaisaran di masa
modern, meski bukan kekaisaran individual, melainkan organisasional. Michael
Spavor, satu dari “dua Michael” dalam sengketa China dan Kanada, akhirnya
dihukum 11 tahun penjara, dengan tuduhan melakukan kegiatan spionase, seperti
diberitakan BBC News pada 11 Agustus 2021. Sebelumnya, bersama Michael
Kovrig, keduanya telah ditahan tanpa alasan yang jelas, selain—meski tidak
diakui—bahwa Kanada sebelumnya telah menahan warga China, perempuan pebisnis
Meng Wanzhou, sejak 2018. Alasan
pemerintah Kanada cukup jelas: Meng, pejabat finansial Huawei, yang kebetulan
anak pendirinya, dituduh telah menggunakan anak perusahaan Huawei, Skycom,
untuk menghindari sanksi Amerika Serikat kepada Iran antara 2009 dan 2014.
Kanada dan Amerika Serikat terikat oleh perjanjian ekstradisi. Berbeda dengan
nasib “dua Michael” di Beijing, Meng ditahan di rumah yang nyaman di
Vancouver, meskipun tetap terdapat tag elektronik pada tubuhnya. Menurut The
Economist edisi 8 Maret, Meng masih bisa menerima tamu dan pergi shopping. Michael
Korvig pun dituduh melakukan kegiatan spionase. Para analis menduga, ini
merupakan usaha retaliasi pihak China agar terjadi pertukaran. Namun pihak
Kanada tampaknya tidak bersedia dipojokkan ke dalam permainan tukar sandera.
Kepada dubes Kanada di Bejing, Michael Korvig yang mantan diplomat pernah
minta dibawakan buku Franz Kafka (1883-1924) yang kisahnya mirip nasib
mereka, Der Process (The Trial). Mungkin untuk memahami pengalaman
kafkaesque, ketika memasuki labirin peradilan yang absurd alias tidak masuk
akal. Absurditas
adalah sahih dalam penggambaran seni dan susastra, tetapi tidak dapat tetap
dibiarkan absurd dalam kehidupan praktis, yang kini seolah-olah mewarnai
perilaku politik internasional China. Mengatasi
sengketa hukum laut internasional di Laut China Selatan misalnya, selain
tidak melayani berbagai kesepakatan dan perjanjian dengan negara-negara
ASEAN, China mengajukan argumen ad nauseam (“sudah diajukan berkali-kali
sampai bosan”) perkara “tradisi” pencarian ikan seluas sembilan garis putus
(nine-dash lines) di lepas pantai negara-negara tersebut, ditambah Taiwan.
Dengan klaim historis yang membentang 5.000 tahun, dalam hak pelayaran dan
pencarian ikan di perairan bebas (The Economist, 26 Maret 2016), kesan absurd
dalam cara berpikirnya tidak bisa dihindari. Data
lain, China menolak sama sekali kritik negara-negara G7 dalam pertemuan
mereka di Inggris, yang mengecam pelanggaran HAM di Xinjiang dan Hong Kong.
Bahkan mengirim 28 pesawat tempur ke wilayah udara Taiwan, justru setelah
diimbau untuk menciptakan perdamaian di Selat Taiwan dalam pertemuan G7 itu
juga. Dalam The Economist 19 Juni 2021 itu, juga diberitakan bahwa
undang-undang untuk membalas sanksi (sekali lagi: membalas sanksi!) dari
negara-negara lain sudah diterbitkan. Tentu
jangan dilupakan tanggapan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan 14 negara,
dalam investigasi asal pandemi di Wuhan, seperti diberitakan CNN pada 31
Maret 2021, bahwa keterbukaan China jauh dari harapan. Pertanyaannya,
adakah suatu sumber yang dapat menjelaskan, bahwa setidaknya bagi China
sendiri semua ini dapat diterima? Apakah kiranya yang bisa menjelaskan, bahwa
yang absurd bagi dunia di luar China bisa diterima oleh bangsa China sendiri?
Apakah yang bisa diperbincangkan dari budaya politiknya? Kekaisaran dalam reproduksi Dengan
pengertian budaya politik, jika diberlangsungkan penelusuran konstruksi
budaya kekuasaan, sampai 5.000 tahun ke belakang, bukan dalam kerincian
historis, melainkan dalam pengenalan konsep kekuasaan, akan terlacak betapa
Partai Komunis China (PKC) yang pada 2021 memasuki tahun ke-100 adalah
reproduksi budaya politik kekaisaran tradisional di masa modern.
Kesinambungan historis dan budaya akan menunjukkan, bahwa keterlibatan PKC
dalam era reformasi dan kebijakan pintu-terbuka sepeninggal Mao Zedong pada
1976, adalah juga reproduksi dari budaya ini (Zheng, 2010: 25). Budaya
dan lingkungan kelembagaan mempengaruhi identitas partai, dan itulah PKC di dalam
budaya politik China. Seperti juga kaisar dalam dinasti China, yang oleh diri
sendiri maupun khalayaknya dianggap satu-satunya penguasa yang sah sebagai
pribadi, PKC juga merasa diri mereka satu-satunya partai sebagai organisasi
yang berkuasa—dan begitu pula yang dirasakan organisasi lain-lainnya di
China. Inilah
yang disebut kekaisaran organisasional, bahwa PKC adalah produk transformasi
atau pemrograman kembali budaya politik kekaisaran China. Dalam proses,
terbentuklah kombinasi kekaisaran tradisional dengan elemen modern, bahkan
juga elemen demokrasi. Demokrasi
seperti apa? Istilah “partai politik” sendiri adalah konsep impor setelah
China memasuki abad modern. Namun, walau PKC menghadirkan dirinya sebagai
partai Leninis, adalah keliru menyamakannya begitu saja dengan partai
bersistem Leninis di negeri-negeri komunis Eropa dalam sejarah. Pemikiran
seperti ini telah mengecoh banyak analis, dengan pertimbangan atas
keruntuhannya, menyusul nasib partai komunis Uni Soviet, ketika berlangsung peristiwa
Tien An Men pada 1989. Sementara
mempertahankan struktur Leninis, PKC telah beradaptasi terhadap perubahan
kondisi sosio-ekonomi, dengan memperkenalkan lembaga-lembaga negara modern,
bahkan menggabungkan elemen demokratis ke dalam struktur politik yang ada.
Betapapun perkembangan politik menunjukkan, meski berlangsung perubahan
sosio-ekonomi yang drastis, China tidak akan perlu bergerak menuju pluralisme
dan demokrasi seperti dipahami dunia Barat. Proses
terbentuknya kekaisaran organisasional dimulai dengan jatuhnya Dinasti Qing
pada 1912, ketika banyak kekuatan politik gagal mengembalikan kekaisaran.
Sebelum PKC, Partai Nasional atau Kuomintang telah berusaha membangun
kekaisaran organisasional, yang mempunyai ciri keterpusatan tingkat tinggi. Setelah
sempat mencoba sistem multi-partai a la Barat dan gagal, Kuomintang mengimpor
sistem Leninis, dan menata lembaga yang memberi jalan para pemimpin partai
mengembangkan kediktatoran personal. Masalahnya, seperti juga kemudian PKC di
bawah Mao Zedong, yang berhasil memojokkan kaum nasionalis ke Pulau Taiwan,
ketika pemimpin partai kuat, partainya sendiri menjadi lemah. Posisi
Mao Zedong sebagai kaisar modern, menjadi penanda budaya politik tradisional
dari kuasa imperial, sebagai pola pikir yang sangat melembaga dalam kuasa
politik. Dengan segala perubahan politik pada era pasca-Mao, struktur seperti
ini tetap utuh. Nilai-nilai budaya tradisional bukan saja memungkinkan para
pemimpin partai membangun partai yang sangat terpusat, yang juga berarti
negara nan sangat terpusat, tetapi juga identitas politik baru bagi khalayak. Kekaisaran
organisasional telah berhasil mencapai pembebasan nasional, memburu
kemerdekaan dan kedaulatan nasional, dan memimpin perkembangan
sosio-ekonomi—dan bersama dengan itu mengubah lingkungan yang
mempertahankannya. Maka partai pun terlibat dalam transformasinya sendiri,
yakni reproduksi kuasa imperial, dominasi atas negara, maupun dominasi
negara-partai atas khalayak. Inilah yang terjadi dengan PKC semenjak
reformasi dan kebijakan pintu terbuka. Dalam
reformasi negara-partai pasca-Mao secara top down ini, memang tidak ada usaha
mengganti sosialisme dengan kapitalisme, maupun kediktatoran partai tunggal
dengan demokrasi liberal. Tujuannya adalah membersihkan, memperbaiki, dan membangun
kembali koneksi yang menghubungkan kuasa tersebar di antara khalayak dengan
kuasa terpusatnya negara, yang telah menjadi berkarat akibat Revolusi
Kebudayaan (1966-1976). Betapapun,
reproduksi kekaisaran organisasional tidaklah dianggap berada dalam
kontradiksi dengan kapitalisme dan demokrasi. Dalam kenyataannya, selama
proses reproduksi justru PKC harus mengakomodasi kapitalisme dan
elemen-elemen demokrasi, jika bukan demokrasi liberal—sejauh membantu
perawatan dominasi PKC (ibid., 20, 54, 61, 80). Partai lebih besar dari negara Hubungan
antara partai dan negara adalah kunci pemahaman politik China, yakni bahwa
terdapat hubungan antara partai dan negara di satu pihak serta negara-partai
dan khalayak di pihak lain, tempat berlangsungnya kontinuitas antara
kekaisaran tradisional dan kekaisaran organisasional. Sebagai perumpamaan,
jika dalam dinasti-dinasti tradisional, kaisar menjadi pemilik negeri yang
ditundukkannya; dalam China kontemporer, PKC adalah pemilik negeri karena
partai mendirikan Republik Rakyat China (RRC) pada 1949. Apabila
kepemilikan berada di tangan kaisar, tidak berarti dirinya mesti mengelola
negeri sendirian, karena dapat mendelegasikan kuasa kepada lembaga
administrasi untuk mengelolanya. Hubungan yang mirip berlangsung antara partai
dan negara dalam China kontemporer. Apabila PKC adalah pemilik
‘hak-kepemilikan’ dari RRC, pemerintah bisa dianggap sebagai pengelola
negara. Dalam
China tradisional, kaisar dapat dipinggirkan dan dilemahkan oleh pemerintah,
bahkan lebih sering kekuasaannya simbolik, karena kekuasaan yang nyata berada
di tangan administrasi. Sebagai kaisar, PKC lebih mampu daripada setiap
kaisar dalam sejarah China untuk mendominasi pemerintahan. Jika ungkapan
‘segalanya yang berada di bawah langit menjadi milik kaisar’, berlaku bagi
dinasti-dinasti China, kini berlaku ‘segalanya yang berada di bawah langit
menjadi milik PKC’. Pandangan
heuristik ini, tidak sekadar diterima sebagai alamiah dan logis, tetapi
merupakan kondisi yang selalu diperjuangkan PKC, sebagai kekaisaran
organisasional. Perkembangan ekonomi yang berlangsung sangat cepat, membuat
PKC harus selalu menata kembali hubungan dengan negara, agar tetap
tersesuaikan dengan lingkungan sosio-ekonomi baru. Hubungan partai dan negara
ini masih sangat menentukan berhasilnya transisi China menuju pemerintahan
yang modern dan efisien. Dengan
memudarnya kepemimpinan ‘orang kuat’ semasa Mao, yang berarti sentralisasi di
tangan partai, dan lebih cocok untuk situasi perang dan revolusi, Deng
Xiaoping merombak sistem organisasi kerja yang membuat kuasa tersebar
berdasarkan fungsi dan yurisdiksi. Dalam sistem ini, komite sentral dan
komite lokal partai tidak lagi mengarahkan dan mengambil keputusan, sehingga
bukan saja pemerintah terkuatkan, tetapi juga partai yang kini terbebaskan
dari manajemen harian (ibid., 103-4). Menurut
Deng, konsentrasi kepada kerja pemikiran politik, organisasional, dan
supervisi, akan memperbaiki dan memperkuat kepemimpinan partai (Deng, 2002:
163-4). Terpisahnya partai dan negara yang digarisbawahi Deng, bagaikan
representasi demokrasi modern Barat, tetapi superiotas partai cukup
menjadikannya representasi demokrasi modern China—yang sungguh tidak sama
pemahaman demokrasinya, sehingga gerakan pro-demokrasi 1989 tidak bisa
diterima. Hegemonisasi partai Seperti
dapat diperiksa dari kedudukan kekuatan-kekuatan sosial dalam masa kejayaan
ekonomi hari ini, meski sektor swasta berperan penting, untuk tidak
mengatakannya sangat penting sejak 1980-an, baru tahun 2000 partai
meluncurkan konsep ‘tiga perwakilan’ (sange daibiao). Maksudnya bahwa PKC
adalah representasi ‘cara termaju dari (1) kekuatan produktif, (2) budaya,
dan (3) kepentingan mayoritas penduduk’. Konsep
ini dianggap sebagai afirmasi sektor ekonomi non-negara oleh PKC, dan
merupakan penanda PKC mempertimbangkan bahwa kepentingan kelas dan kelompok
sosial yang baru tumbuh dapat diwakili. Di satu sisi, partai mengembangkan
cara baru dalam mengelola negeri; di sisi lain dengan cara ini partai dapat
mempertahankan dominasinya atas peningkatan keberagaman khalayak—dalam arti
berada di atas semua kelompok sosial, dan melakukan koordinasi atas perbedaan
maupun pertentangan kepentingannya. PKC pun menjadi sahih sebagai perwakilan
kepentingan kekuatan sosial yang baru tumbuh, dan ‘mengalokasikan’ sebidang
ruang bagi mereka di dalam regim kekuasaan (Zheng, op.cit., 59, 92). Simulasi
dalam analisis yang dilakukan peneliti Zheng Yongnian (2010, 195-8)
memperlihatkan bagaimana terdapat sejumlah skenario pembagian kekuasaan
antara kelompok teknokrat, kapitalis, serta buruh dan petani, tentunya di
dalam ruang yang diberikan partai. Namun hasil pembagian yang mana pun,
terdapat di dalam peta politik Mao Zedong sebagai “kelompok-kelompok di luar
partai yang berkuasa”, bukan “faksi-faksi di dalam partai”. Dalam anggapan
bahwa partailah yang mendirikan negara, logika hegemonisasi PKC ini cukup
jelas. Demokrasi di dalam kekaisaran organisasional tidak diberi jalan
mengancam kekaisaran itu sendiri. Keseimbangan pandangan Dengan
latar budaya politik yang boleh ditarik 5.000 tahun ke belakang, dapatkah
dipinjam sebuah sudut pandang China dalam politik internasional? Apakah
dimungkinkan betapa yang tampak absurd dalam pandangan non-China, terandaikan
wajar dan sudah semestinya dalam konteks China? Di
Indonesia orang boleh teringat tahun 1292, ketika Khubilai Khan, kaisar
keturunan Mongol yang sedang menguasai China, mengirimkan armada multirasial
(Mongol, China, Uighur) sebanyak 20.000 orang dalam 1.000 kapal berawak China
dan Muslim ke Jawa, untuk menghukum Kertanegara dari Singasari yang
“menulisi” wajah Meng Chi dengan amanat menolak tunduk pada 1289 (Clements,
2010: 215-6). Kata “menghukum” ini menjelaskan cara pandang terhadap diri
sendiri, mewarisi ungkapan ‘segalanya yang berada di bawah langit menjadi milik
kaisar’ dengan khusyuk. Sudut
pandang China terhadap dunia ini terbalik-balik ketika berbenturan dengan
superioritas Barat. Telah dikenal terdapatnya “penghinaan Barat” selama 100
tahun (tepatnya 109 tahun—dihitung dari penguasaan Canton pada 1840 oleh
Inggris pada Perang Candu I). Dalam Perang Candu II, Istana Musim Panas di
Beijing pada Juni 1860 dibakar oleh tentara Inggris, menyusul gagalnya
negosiasi perdagangan candu dengan Dinasti Qing. Dalam peringatan 100 Tahun
PKC, ini menjadi “150 tahun penghinaan”. Pembakaran
istana yang dikenal sebagai Yuanmingyuan ini sebetulnya secara militer tidak
perlu, selain kepentingan untuk menghina dan mempermalukan. Hanya setelah Mao
berdiri di atas Gerbang Kedamaian Langit di Beijing, memproklamasikan
Republik Rakyat China pada 1 Oktober 1949, maka “abad penghinaan” itu
dianggap berakhir. Latar belakang historis ini digenjot para pemimpin China
dari saat ke saat, sebagai mitos yang mesti dilampaui oleh realitas kejayaan
China masa kini (Schiavenza, 2013). Pada
1 Juli 2021, dalam perayaan 100 tahun PKC di Lapangan Tien An Men, pemimpin
China hari ini, Xi Jinping, menyatakan bahwa pihak asing yang mencoba
merundung China “kepalanya akan terbentur Tembok Besar baja yang terbuat dari
darah dan daging 1,4 milyar rakyat China”. The Economist edisi 3 Juli 2021
mencatat, setelah 40 tahun kemajuan ekonomi, teknologi, dan militer, PKC siap
mendulang kredit sebagai sumber kebijakan nan sangat dibutuhkan, yang telah
memandu kebangkitan China. Namun
dari sudut pandang reformasi politik China pasca-Mao sendiri, kecenderungan
(terlalu) menonjolnya Xi Jinpin seharusnya menjadi masalah. Reproduksi
kekaisaran dalam perubahan lingkungan sosio-ekonomi terkini, dalam mekanisme
PKC sendiri mestilah menjadi kekaisaran organisasional. Dalam konsep Gramsci
yang dikutip Zheng, “Pangeran modern sebagai pangeran-mitos tidak bisa
merupakan pribadi nyata, individu yang konkret, (melainkan) suatu organisme,
elemen kompleks dari khalayak yang kehendak kolektifnya telah dikenali, dan
meyakinkan dirinya dalam bentuk konkret … suatu partai politik.” (Zheng,
op.cit., 63) Kekaisaran
yang mana pun, individual atau organisasional, dalam tiga dekade telah
memperlihatkan identitas politik yang China-sentris. Menurut Shi-xu, seorang
intelektual-organik (intelektual yang berpihak) dari Universitas Zhejiang, “…
model-model komunikasi, metode analisis, kriteria kritik, isyu penting, dan
lain sebagainya mengalir dari pusat-pusat metropolitan Amerika/Barat ke
seluruh dunia; tetapi sekarang semakin meningkat gema dan pembergandaannya
secara tak-kritis, dalam pelampiasan dan usaha melebihi dari (dunia) akademik
non-Barat.” (Xu, 2014: 12). Kiranya
terbaca sentimen nasionalisme dalam wacana konflik. Ini juga berarti
absurditas kebijakan politik internasional China, hanya bisa terpecahkan dan
diterima, jika sudut pandang China digunakan sepenuhnya—sebelum kembali ke
sudut pandang pengamatan yang mana pun jua. Tanpa melakukannya, pertimbangan
seperti apapun tidak akan berimbang. ● Sumber
: https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/23/kekaisaran-organisasional-china/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar