Kartu
Vaksinasi, Antara Keharusan dan Keadilan Asma Nadia ; Penulis kolom “Resonansi” di Republika |
REPUBLIKA, 14
Agustus 2021
Setujukah bila
keberadaan kartu vaksinisasi menjadi syarat beraktivitas dan memasuki tempat
umum? Pro dan kontra
terjadi. Dokter sampai pejabat pemerintah, selebritas, dan berbagai pihak
bicara. Ingin menggali lebih banyak respons masyarakat awam, pertanyaan di
awal tulisan ini kemudian saya gulirkan di media sosial. Hasilnya hanya
sedikit --jika tidak bisa dihitung dengan jari-- yang setuju kartu
vaksinisasi dijadikan syarat administrasi. Dengan vaksin
bukan berarti kita sudah kebal terhadap Covid-19. Tetap saja di masa pandemi
harus jaga jarak dan meminimalkan keluar rumah. Tidak setuju karena vaksin itu hak perorangan dan akan
menyulitkan mengingat banyak wilayah yang belum tersebar vaksin. Saya setuju karena kartu vaksin lebih sederhana dibandingkan tes
swab/vcr, selain sertifikat vaksin lebih simpel karena sekarang sudah bisa
pakai aplikasi. Juga lebih menghemat supaya tidak bolak balik RS sekadar buat
tes yang jangka pendek. - RR Tidak setuju, sebab tidak semua orang bisa divaksin— setuju sekali dengan syarat kartu tersebut juga memberikan
diskon sebesar 50% tiap kali kita belanja di mall/pasar! Beragam
jawaban memberi kita bayangan masalah apa yang sebenarnya menjadi kendala
bagi agenda ini. Sebagai sebuah ide untuk memperlancar vaksinasi, langkah ini
harus diapresiasi. Akan tetapi, bagaimana dan kapan penerapannya? Di Amerika,
menurut informasi, mereka yang awalnya segan atau menunda, mulai mendatangi
pusat vaksin sejak muncul ketentuan dari banyak perusahaan bahwa pegawai
hanya boleh bekerja bila membawa kartu vaksinisasi. Bukti lain,
wacana di atas memang jitu untuk “memaksa” vaksinasi. Namun ada banyak
tantangan menanti agar persyaratan ini tidak menodai prinsip keadilan. Tantangan
pertama adalah mengimbangi kewajiban vaksinasi dengan ketersediaan vaksin
yang mudah diakses. Pemerintah harus menjamin pasokan vaksin di Nusantara
sebelum menjadikannya sebagai syarat administrasi. Kenyataan di
lapangan rakyat masih berhadapan dengan banyak kesulitan untuk mendapatkan
vaksin. Dari persediaan yang minim atau alasan belum mendapatkan giliran
entah karena tempat, waktu, pekerjaan, dan lain-lain. Selama ini
harus diakui kegiatan vaksinasi seolah masih menjadi program insidental yang
belum mampu diakses seluruh rakyat. Kalaupun bisa diakses bebas, informasinya
lebih bersifat dari mulut ke mulut atau melalui media sosial dan ruang
percakapan. Intinya masih belum menjangkau semua lapisan hingga sangat
mungkin banyak pihak yang membutuhkan, tapi tidak memiliki akses. Dengan pola
insidental seperti saat ini, informasi vaksinasi terkesan eksklusif atau
menjadi milik mereka yang beruntung. Berbeda dengan pemilihan umum di mana
semua masyarakat punya akses sama dan mengantungi jadwal masing-masing secara
pasti. Sebenarnya
persoalan ini bisa diminimalisasi salah satunya jika program vaksinasi
mandiri diberlakukan. Meskipun agenda ini ramai menuai pro dan kontra. Vaksin yang seharusnya gratis mengapa malah
dikomersilkan? Keluh sebagian orang. Beberapa pihak
yang setuju berpendapat bila ini diizinkan maka masyarakat yang mampu bisa
meringankan beban pemerintah. Selama mereka tidak keberatan untuk membayar
sendiri vaksinasi di lembaga penyelenggara yang mereka pilih, mengapa tidak? “Yang
diam-diam terbang ke sana ke mari untuk vaksin toh banyak!” ujar beberapa
yang setuju vaksin mandiri, Bukan rahasia,
bila sebagian masyarakat bahkan rela sampai merogoh kocek untuk tiket pesawat
dan akomodasi hingga puluhan juta, terbang ke suatu negara demi mendapat
suntikan vaksin. Mereka yang
tidak setuju khawatir, persediaan vaksin yang langka akan semakin langka,
sebab banyak pihak akan tergoda untuk meraih keuntungan pribadi. Tantangan
kedua wacana kartu vaksinisasi adalah mengakomodasi mereka yang belum
melakukan vaksin karena penyakit bawaaan atau menanti masa tunggu. Mudah
untuk mengatakan apa sulitnya mendapatkan surat keterangan dokter. Namun di
tengah pandemi apalagi kengerian terhadap varian virus baru, banyak
masyarakat yang berpikir ulang dan sebisa mungkin berusaha menghindari
kunjungan ke dokter atau rumah sakit. Khususnya
mengingat beberapa penyakit tidak mengharuskan penderitanya rutin
berkonsultasi, selama mereka sudah memiliki resep yang mendapat izin dokter
untuk ditebus berulang, hingga konsumsi obat terjamin. Kecuali sangat
mendesak, mengurus surat sekadar demi kepentingan administrasi rasanya tidak
sepadan, dibanding risiko terpapar Covid-19 di rumah sakit. Tantangan
ketiga adalah standarisasi saat melakukan pemeriksaan atas persyaratan.
Pemerintah harus membuat kejelasan untuk validasi. Apakah bukti digital
cukup? Atau harus dalam bentuk
tertulis atau cetak? Jangan-jangan
keduanya harus dihadirkan untuk menghindari kericuhan yang tidak perlu
seperti yang dialami beberapa kawan. Satu pihak menunjukkan bukti digital
bahwa dia sudah divaksin. Namun petugas tetap menuntut selain versi daring.
Padahal bukti digital justru lebih valid, sebab lebih sulit direkayasa.
Pengisian harus dilakukan petugas IT dari pusat, sedangkan bukti fisik lebih
membuka ruang untuk dipermainkan. Tantangan
keempat adalah jangka waktu. Berapa lama kebijakan tersebut akan
diperlakukan. Apakah selama PPKM atau hingga tercapai kekebalan komunitas.
Jika memang rencana ini akan dijalankan sampai tercapai kekebalan masyarakat,
maka tidak ada jalan lain kecuali menyiapkan ketersediaan vaksin sebanyak dan
sesegera mungkin, serta mengawal pelaksanaannya secara efektif hingga vaksin
tidak rusak atau kedaluwarsa sebelum dipakai. Ikhtiar
pemegang kebijakan dalam memotivasi masyarakat untuk segera melakukan
vaksinasi sudah tepat. Tetapi apakah semacam program kartu vaksinisasi ini
harus dilakukan ketika persentase perbandingan masyarakat yang belum dan
sudah divaksin masih teramat pincang? Seyogianya,
sebuah wacana yang baik harus diimbangi dengan kesiapan yang juga baik. Tanpa
itu, akan terjadi ketidakadilan dan bukan mustahil membuat kita terjebak masalah
lain lebih dalam. ● Sumber
: https://www.republika.id/posts/19396/kartu-vaksinasi-antara-keharusan-dan-keadilan |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar