Emmy
Hafild di antara Feminisme & Aktivisme Lingkungan Hidup Julia Suryakusuma ; Penulis, Aktivis Gender, dan Akademisi
Indonesia |
TIRTO.ID, 13 Agustus 2021
Saya mengenal Emmy Hafild sejak awal 1990-an
di berbagai pertemuan aktivis LSM. Sejak pertama kali bertemu, saya sangat
terkesan dan kagum kepada Emmy, terutama oleh kepintaran, kepandaian
berbicara, ketegasan, dan keberaniannya. Pertemanan saya selama 30 tahun dengan Emmy
memang terputus-putus, tapi ada dua momen yang signifikan. Yang pertama
adalah di Tiongkok, ketika di tahun 1995 kami melakukan perjalanan ke Beijing
menghadiri Konferensi ke-4 PBB untuk Perempuan. Kami disponsori lembaga dana
yang berbeda, namun entah bagaimana, saya diajak Emmy masuk grupnya yang
terdiri dari orang-orang Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan
Solidaritas Perempuan (SP). Awalnya kami di Beijing, di konferensi utama,
yang sekuritinya luar biasa ketat. Waktu itu kami berusaha masuk ke salah
satu acara utama, tapi dilarang. Menurut petugas, kami harus memiliki kartu
pas tertentu yang hanya diberikan kepada LSM pemerintah atau yang kami sebut
GoNGO (government NGO). Organising committee meduga aktivis LSM berencana
bikin demonstrasi dengan cara bertelanjang. Konon mereka sudah mempersiapkan
burung dara dan selimut. Ketika perempuan aktivis itu melepas
busananya, petugas sekuriti melepaskan burung dara supaya semua orang melihat
ke atas, kemudian mereka cepat-cepat menutupi badan telanjang para aktivis
itu dengan selimut. Namun ada satu acara ketika semua perempuan diundang,
yaitu pidato Hillary Clinton. Pada saat itu ia mencanangkan pernyataan yang
kini menjadi slogan terkenal: “women’s rights are human rights, human rights
are women’s rights”. Ia juga mengemukakan penyesalannya mengapa aktivis LSM
dikucilkan di Huairou. Ya memang, aktivis LSM “dikandangin” di
Huairou, yang terletak sekitar satu jam dari Beijing. Meski demikian,
rombongan kami sempat menggelar demonstrasi di sela-sela konferensi Beijing.
Tapi akhirnya, kami digiring ke Huairou. Salah satu keuntungan berada di sana
adalah tempat itu dekat dengan Tembok Besar Tiongkok. Kami pun memanfaatkan kesempatan ini untuk
menjadi turis: memasuki Tembok Besar, menjelajahi perdesaan Tiongkok, makan
di rumah penduduk, dan mengunjungi resor alam. Di sana kami menemukan sungai
indah dengan air yang sangat jernih. Tiba-tiba, Tati Krishnawaty dari SP
membuka bajunya dan nyemplung ke dalam kolam. Kami awalnya melongo
melihatnya, tapi akhirnya kami pun melakukan hal yang sama dan bermain-main
air dengan riang gembira. Ternyata benar prediksi sekuriti konferensi—tapi
ini terjadi di Huairou dan hanya untuk bersenang-senang, bukan untuk
memprotes. Di Huairou, Emmy membuat pameran tenun ikat
Nusa Tenggara Timur (NTT) lengkap dengan para penenunnya. Emmy sangat
bergairah soal tenun NTT yang masih menggunakan pewarna alam dan upacara adat
yang bersifat memelihara bumi. Semangat Emmy bersumber dari kesadaran bahwa
patriarki dan kapitalisme membuat ibu-ibu penenun itu tersungkur. Jadi, harus
dilawan. Jelas sekali hubungan lingkungan hidup dengan feminisme buat Emmy. Politik dan Lingkungan
Hidup Momen kedua interaksi intens saya dengan Emmy
adalah di awal Reformasi. Saat itu partai politik hampir mencapai 180. Ini
rupanya reaksi atas 32 tahun pengekangan kegiatan politik di era Orba yang
membatasi parpol hanya dua (PPP dan PDI) plus satu Golongan Karya. Saya
merasa, inilah saatnya gerakan perempuan dimunculkan ke dalam politik
mainstream jika suara perempuan dan perspektif feminis ingin didengar. Terinspirasi Emily’s List di AS, lembaga yang
mendukung kandidat perempuan progresif, saya memutuskan untuk membuatnya.
Saya menyampaikan niat saya ke teman-teman aktivis di berbagai LSM. Akhirnya
upaya saya—yang dikerjakan oleh tim yang saya bentuk—didukung Konsorsium 13
LSM: Aliansi Jurnalis Independen (AJI); Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat
(eLSAM); International NGO Forum on Indonesian Development (INFID);
Kalyanamitra; Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP); Lembaga Bantuan Hukum
Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH-APIK); Lembaga Lembaga
Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES); Perhimpunan
Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M); Solidaritas untuk Timor Leste
(Solidamor); Solidaritas Perempuan (SP); Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
(Walhi); Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI); dan Yayasan Lembaga
Konsumen Indonesia (YLKI). Dari semua LSM itu, yang membantu dengan
pendanaan hanya Walhi. Lembaga inilah yang memberikan kami sejumlah dana
kecil (seed money) sebelum kami mendapat dana yang lebih besar dari Kedutaan
Belanda dan UNDP. Akhirnya, buku Almanak Parpol Indonesia (API) terbit
sebelum Pemilu Umum Legislatif digelar pada 7 Juni 1999. Buku setebal 730 halaman
ini berisi profil 141 parpol, 10 esai oleh pakar dalam dan luar negeri, dan
kronologi peristiwa politik. Saya merasa awal era Reformasi adalah momen
untuk menandaskan pentingnya pendidikan politik di Indonesia, menciptakan
sistem politik yang terbuka, dan memberi pengetahuan cukup kepada masyarakat
untuk mengontrol pemerintah. Visi saya nyambung dengan Emmy sebagai Ketua
Walhi saat itu yang merasa sudah saatnya ada konvergensi antara aktivisme dan
politik elektoral. Meski awalnya terlihat aneh bahwa LSM lingkungan hidup
terlibat politik elektoral, sebenarnya ini logis sekali. Bagaimanapun,
keputusan-keputusan mengenai lingkungan hidup pada akhirnya dibuat pada
tingkat politik. Saya menulis esai ini dengan kesulitan karena
sedih luar biasa kehilangan Emmy. Ia bukan hanya teman baik, tapi juga sosok
yang begitu dibutuhkan saat krisis lingkungan hidup sudah teramat buruk. Pada
Senin (9/8/2021), Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)
menerbitkan laporan 234 ilmuwan yang kesimpulannya: lingkungan hidup sudah
mencapai “code red for humanity”. Perubahan iklim ini meluas di semua benua,
secara cepat, dan mungkin tidak dapat dibalikkan selama ribuan tahun. Pada 1999, Emmy mendapat gelar salah satu
Heroes of The Planet dari majalah Time. Tapi Emmy sebenarnya juga seorang
feminis, pahlawan HAM, serta penggiat anti-korupsi dan good governance.
Sebagai teman, dia sangat hangat, supportive, kritis, tapi tidak pernah
menyimpan dendam pribadi. Dia, bagi saya, adalah penjelmaan semangat
demokrasi. ● Sumber :
https://tirto.id/emmy-hafild-di-antara-feminisme-aktivisme-lingkungan-hidup-giCC |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar