Jejak
Kekerasan Taliban dan Masa Depan Afghanistan Fitraya Ramadhanny ; Redaktur Pelaksana di Detikcom; Tulisan Ini
Pendapat Pribadi |
DETIKNEWS, 19
Agustus 2021
"Salaam
alaikum. I just got out of AFG without any visa," begitu pesan masuk di
WhatsApp semalam. Sudah beberapa
hari WhatsApp kawan Afghanistan saya cuma centang satu. Saya sempat berpikir
dia tidak selamat. Kami berkenalan beberapa tahun lalu saat liputan di daerah
konflik di perbatasan China. Obrolan di
WhatsApp malam itu membuat saya sedih. Dia bilang terpaksa pergi tanpa sempat
membawa keluarganya. Hancur rasanya hati melihat foto profilnya adalah wajah
anak laki-laki kecil yang lucu. Dia berhasil
menyeberang ke Pakistan, tanpa visa, tanpa tahu mesti ke mana. Saya tanya
soal makan, minum, istirahat, posko pengungsi, dia bilang akan mencarinya.
Kenapa lari, jawabannya lebih sedih lagi. Sang kawan
bercerita dirinya adalah ancaman untuk Taliban secara etnis, agama, dan pekerjaan.
Astagfirullah, padahal dia muslim. Beragama Islam pun rupanya belum cukup
untuk selamat di sana, kalau tidak sepaham dengan Taliban. Saya berdoa untuk
keselamatan dia sebelum mengakhiri obrolan. Afghanistan
adalah negeri yang sepanjang sejarah penuh konflik dan kisah penaklukan.
Posisinya di jantung benua Asia menjadi incaran negara kuat sejak dulu kala.
Ia terjepit di antara negara-negara besar yang bertikai mulai Rusia, China,
India, Iran, Pakistan, dan para sekutu masing-masing yaitu Amerika Serikat,
Israel, Arab Saudi. Pemimpin boneka berganti-gantian memimpin di sana dari
dulu. Perang di sana
adalah selalu perang proxy, yang didanai dan dipersenjatai negara patron.
Korbannya selalu rakyat kecil. Dalam negara yang tidak pernah stabil,
kekuasaan wilayah ada di tangan warlord, penguasa perang. Kalau di
Indonesia sedikit-sedikit bikin ormas dan parpol, maka di Afghanistan
sedikit-sedikit bikin milisi perang sebagai saluran kepentingan politik.
Taliban adalah kelompok yang pernah berkuasa tahun 1999-2004, digulingkan
Amerika, lalu kini berkuasa lagi. Apapun dalil
dan ayat yang dipakai Taliban untuk merebut kekuasaan, yang jelas saat ini
rencana mereka berhasil. Sebuah rencana yang meninggalkan jejak ketakutan
bertahun-tahun, habis itu apa? Taliban kini
jadi penguasa di Afghanistan, setelah itu mau ke mana? Bagaimana kemudian
mereka mau mengurus sebuah negara yang telanjur porak poranda? Bagaimana
mereka mau mengurusi pandemi Corona dan perkara lainnya? Ketika para
pemimpin Taliban berkata akan memberikan amnesti, apa dunia percaya Taliban
bisa berubah jadi moderat dalam waktu semalam saja? Apakah sama seperti dulu
mereka berkuasa atau berbeda? Di sinilah
Taliban akan memperlihatkan wajah aslinya. Bukan gerakan bersenjata, tapi
kumpulan politisi yang mencari kekuasaan juga. Pekerjaan rumah pertama mereka
adalah mencari dukungan internasional. Dalam
pengamatan saya, kondisi di Afghanistan --meski tampak kacau-- semuanya
adalah sebuah skenario yang tersusun rapi dan terpusat pada sosok Mullah Baradar
dalam kronologi sebagai berikut: 1. Pada 2013,
Taliban diizinkan Qatar untuk membuka kantor diplomasi atas persetujuan
Amerika dan Afghanistan. Tujuannya memfasilitasi perdamaian di Afghanistan.
Semua negara di dunia yang ingin berkomunikasi dengan Taliban untuk
perdamaian Afghanistan, bisa datang ke Qatar. Indonesia pun bertemu di sana. 2. Pada 25
Oktober 2018, Pakistan melepaskan pendiri Taliban Mullah Abdul Ghani Baradar
dari tahanan atas permintaan Amerika Serikat. 3. Pada 29
Februari 2020, ada perjanjian Doha Agreement di Qatar antara Amerika dan
Taliban. Pihak Taliban diwakili Mullah Baradar. 4. Pada 8 Juli
2021, Taliban berunding dengan Rusia dan memberikan janji tidak akan
mengancam Rusia dan sekutunya. Delegasi Taliban dipimpin Mullah Baradar. 5. Pada 28
Juli 2021, Taliban berunding dengan China dan memberikan janji tidak akan
mengancam China. Siapa pemimpin delegasi Taliban? Tentu Mullah Baradar lagi. Semuanya serba
Mullah Baradar. Jadi kalau hari ini Mullah Baradar kembali ke Afghanistan,
kita mestinya tidak heran. Mungkin Mullah Baradar disiapkan sebagai pemimpin
Afghanistan selepas Ashraf Ghani, entah oleh Amerika juga atau yang lainnya. Kalau
urusannya sekadar ganti kekuasaan, maka Afghanistan masih jauh dari
perdamaian sejati, hanya lingkaran konflik tanpa ujung. Kecuali, mereka
bersepakat sebagai sebuah bangsa yang bersatu antara etnis Pashtun di selatan
dan Tajik serta Uzbek di utara. Selama
pergantian kekuasaan di Afghanistan masih ada campur tangan negara asing,
maka Afghanistan akan selalu menjadi mainan. Di sinilah doa dan simpati kita
untuk semua rakyat Afghanistan yang menjadi korban. Semoga tercipta solusi
damai dan permanen di sana. Pelajaran untuk Indonesia Pelajaran buat
Indonesia yang terutama adalah bersyukur. Kita tidak perlu kabur
menyelamatkan diri hanya karena kepala daerah kita beda suku dan agamanya. Kita sudah
selesai bicara bangsa saat memutuskan identitas bersama menjadi Indonesia
dalam Sumpah Pemuda. Kita sudah lengkap lahir menjadi negara saat Proklamasi Kemerdekaan
yang baru kita rayakan yang ke-76 kalinya. Negara kita
belum sempurna, pemerintah juga butuh dikritik, pandemi COVID-19 membuat kita
sulit. Tapi kita punya sudah punya rumah Indonesia dengan fondasinya
Pancasila dan tiangnya konstitusi UUD 45. Rumah itu yang harus kita bela
sekarang. Kita bangsa yang cinta damai dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Jadikan
Afghanistan pelajaran. Jangan kasih kesempatan bagi ujaran kebencian,
perpecahan dan konflik SARA tumbuh di Nusantara, karena itu langkah mundur
yang nyata. Kawan
Afghanistan saya itu, ketika kami berpisah jalan di ujung China dahulu,
menyampaikan pesan yang selalu terngiang: Negara itu hancur, ketika kita
belajar untuk membenci.... ● Sumber : https://news.detik.com/kolom/d-5687674/jejak-kekerasan-taliban-dan-masa-depan-afghanistan |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar