Jumat, 06 Agustus 2021

 

Jangan Tenggelamkan Jakartaku

Nirwono Joga ;  Pusat Studi Perkotaan

MEDIA INDONESIA, 5 Agustus 2021

 

 

                                                           

SAAT berpidato di Pusat Kontraterorisme Nasional Amerika Serikat (27/7), Presiden Amerika Serikat Joe Biden mengatakan bahwa perubahan iklim telah menjadi ancaman nyata terbesar semua bangsa. Ia menyinggung, jika prediksi itu tidak diantisipasi, Jakarta akan tenggelam 10 tahun ke depan (2030).

 

Hal ini diperkuat dalam laporan Badan Antariksa AS (NASA, 2019) tentang kondisi Jakarta dituliskan bahwa dalam beberapa dekade belakangan. Masalah banjir kian buruk, sebagian karena pemompaan besar-besaran air tanah yang menyebabkan tanah tengelam atau menyusut dalam waktu cepat. Menurut beberapa perkiraan, saat ini sekitar 40% kota itu sudah berada di bawah permukaan laut.

 

Selain itu, laporan analisis Greenpeace tentang dampak perubahan iklim terhadap tujuh kota pantai di Asia (28/7) meramalkan Jakarta akan tenggelam pada 2030. Sementara itu, laporan analis bisnis Verisk Maplecroft (12/5) juga menempatkan Jakarta di peringkat teratas sebagai kota paling rentan krisis iklim dari 576 kota besar di dunia. Ancaman Jakarta akan tenggelam ialah keniscayaan. Ada empat tipe banjir yang sering melanda Jakarta yang harus diatasi, yakni banjir kiriman, banjir lokal, banjir rob, dan banjir besar. Lalu, langkah apa yang harus dilakukan?

 

Pertama, untuk mengatasi banjir kiriman, pemerintah daerah yang dialiri sungai wajib membebaskan permukiman di bantaran sungai dan merelokasi ke rusun. Menurut Permen PU-Pera No 28/2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau, garis sempadan sungai (GSS) tidak bertanggul selebar 10 meter kiri-kanan, kedalaman <3 meter, lebar 15 meter kedalaman 3-20 meter, serta 30 meter kedalaman >20 meter.

 

Untuk GSS bertanggul dengan lebar bantaran jalur hijau minimal 3 meter dari tepi luar kaki tanggul sepanjang alur sungai. Penataan bantaran dapat memadukan pendekatan naturalisasi dan normalisasi secara harmonis. Ada 13 sungai utama melintasi Jakarta yang perlu dibenahi, yakni Sungai Ciliwung, Pesanggrahan, Angke, Sunter, Mookervart, Grogol, Krukut, Baru Barat, Baru Timur, Cipinang, Buaran, Kramat Jati, dan Cakung.

 

Kedua, untuk mengurangi debit air hujan ke sungai, situ/danau/embung/ waduk (SDEW) harus dioptimalkan untuk menampung air (danau paparan banjir). Sesuai dengan permen PU-Pera itu, garis sempadan SDEW paling sedikit berjarak 50 meter dari tepi muka air tertinggi yang pernah terjadi. Pemerintah membebaskan lahan tepian badan air dan merelokasi warga ke rusun. Pemerintah segera melakukan pengukuran dan pematokan ulang batas wilayah SDEW bersama pihak kementerian terkait dan pemerintah daerah serta langsung dibuatkan sertifikasi lahannya.

 

Revitalisasi SDEW meliputi penataan badan air, penganggaran yang pasti, sarana-prasarana pendukung pengendali banjir, serta ruang terbuka hijau. Revitalisasi dilakukan bertahap di 208 situ yang tersebar di DKI Jakarta 16 situ, Jawa Barat 146 situ, Banten 46 situ (BBWSCC, Kemen PU-Pera, 2018).

 

Pemerintah dapat mulai merevitalisasi 17 situ di sepanjang Daerah Aliran Sungai Ciliwung, yakni Situ Kemuning, Kandang Babi, Cibeureum, Cimanggis, Telagasaat, Kebantenan, Cikaret, Cijantung/Kibing (Kabupaten Bogor), Situ Pondok Cina, Citayam, Cilodong, Sidomukti, Pengarengan/RRI, Bahar, Dongkelan (Kota Depok), serta Situ Rawa Gelam/Badung, Babakan (DKI Jakarta).

 

Ketiga, untuk menuntaskan banjir lokal, pemerintah daerah harus merehabilitasi saluran air kota. Perubahan iklim yang mengakibatkan curah hujan cenderung ekstrem di atas rata-rata 100 milimeter per hari, bahkan sempat mencapai 370 milimeter per hari di Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur (2020), menuntut pembenahan saluran air secara terpadu.

 

Dimensi saluran diperbesar 2-3 kali lipat untuk meningkatkan kapasitas daya tampung air sesuai dengan ukuran dan layanan yang meliputi saluran tersier (lingkungan), sekunder (kawasan), dan primer (kota). Rehabilitasi saluran dilakukan bersamaan terintegrasi dengan revitalisasi trotoar dan penataan jaringan utilitas bawah tanah/trotoar (kabel listrik/telepon/serat optik, pipa air bersih/gas/limbah). Sistem jaringan saluran air harus terhubung baik, tidak terputus, dan dirawat baik (bebas sampah, lumpur, limbah, bangunan). Saluran air terhubung ke SDEW terdekat untuk menampung air sehingga air yang mengalir ke sungai menjadi berkurang (meredam banjir).

 

Keempat, untuk mengatasi banjir rob, pemerintah merestorasi kawasan pesisir pantai utara Jakarta. Permukiman digeser ke daratan sejauh minimal 500 meter dan kawasan pantai dibangun hutan mangrove sebagai benteng alami menahan limpasan air laut (rob), meredam terjangan tsunami, sekaligus habitat satwa liar ekosistem mangrove. Hutan mangrove dikembangkan dari muara sungai menyusup ke dalam jantung kota melalui sungai.

 

Langkah aksi melakukan regenerasi sungai, revitalisasi SDEW, rehabilitasi saluran air, serta restorasi kawasan pesisir, diharapkan mampu meredam banjir kiriman, banjir lokal, banjir rob, serta banjir besar jika terjadi ketiga tipe banjir bersamaan (2002, 2007, 2012, 2014, 2017) sekaligus mencegah Jakarta tenggelam. Semoga. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar