Minggu, 08 Agustus 2021

 

Ibadah Virtual

Ahmad Najib Burhani ;  Profesor Riset di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

KOMPAS, 7 Agustus 2021

 

 

                                                           

Pada Idul Adha lalu, Selasa (20/7/2021), ada satu peristiwa yang cukup fenomenal. Pelaksanaan shalat Id secara virtual yang dipimpin oleh Wawan Gunawan Abdul Wahid menembus angka maksimum kapasistas Zoom 1.000 orang. Banyak peserta yang tidak hadir sendirian, tapi mengajak keluarganya. Dengan menghitung angka itu, maka jumlah peserta shalat virtual itu bisa mencapai 3.000 orang. Ini belum termasuk jemaah yang gagal masuk dalam Zoom itu karena keterbatasan kapasitas. Ibadah itu dilakukan secara live dengan makmum yang tersebar di berbagai tempat terpisah di Indonesia. Mereka mengikuti gerak-gerik imam dalam virtual reality. Komputer dan Zoom bisa disebut sebagai ”altar suci” karena berfungsi sebagai ruang dan medium ritual.

 

Selain shalat Id, ibadah yang sudah biasa dilakukan dengan platform digital adalah tahlil dan takziah untuk mendoakan sahabat dan keluarga yang meninggal dunia di masa pandemi. Undangan tahlil virtual ini hampir datang setiap hari bersamaan dengan meningkatnya angka kematian akibat Covid-19 pada Juli 2021. Kegiatan keagamaan lain yang umum dilakukan dalam bentuk daring adalah haul, silaturahmi Lebaran, shalat Tarawih, dan shalat Jumat.

 

Beberapa ilmuwan sudah memprediksi bahwa teknologi digital akan mengubah kehidupan sosial dan kultural kita. Manuel Castells (2010), misalnya, menyebutkan bahwa jaringan maya bisa menggantikan struktur tradisional dalam masyarakat. Namun banyak yang tak sampai berpikir bahwa teknologi digital itu juga mengubah tata-cara ibadah ritual; shalat, tahlilan, haul, dan mungkin juga haji dan umrah.

 

Jauh sebelum pandemi ini, beberapa situs web sudah mulai menyediakan virtual reality untuk jenis-jenis ibadah tertentu. Seperti ditulis Christopher Helland (2013), di situs Laurdes France (laurdes-france.org), pengunjung bisa dibawa ke tempat itu seperti hadir langsung dan merasakan pengalaman melakukan cyberpilgrimage. Berkunjung ke Tembok Ratapan di Jerusalem pun bisa dilakukan secara virtual di web aish.com/w. Doa dan permohonan para pengunjung virtual bisa langsung dicetak dan disisipkan di celah-celah batu di tembok ratapan itu.

 

Untuk konteks Indonesia, kecuali pelaksanaan shalat Jumat virtual, hampir tidak ada kontroversi dalam peralihan berbagai ibadah itu dari bentuk sebelumnya yang offline ke bentuk online. Ini karena berbagai kegiatan itu bukanlah ibadah wajib atau tak ada tuntutan keagamaan untuk dilakukan secara beramai-ramai. Sementara shalat Jumat, selain hukum pelaksanaannya yang wajib bagi kaum laki-laki, dalam Mazhab Syafii yang dianut oleh kebanyakan masyarakat Indonesia, ia juga harus dilakukan secara berjemaah dengan jumlah minimal 40 orang.

 

Meski beberapa otoritas Muslim tak mendukung pelaksanaan shalat Jumat virtual dan menganjurkan menggantinya dengan shalat Dzuhur, namun pelaksanaan shalat Jumat virtual selalu ramai dan dihadiri ratusan anggota jemaah. Ada dua penyelenggara ibadah ini yang cukup terkenal, yaitu: Wawan Gunawan yang sudah memulainya sejak 29 Mei 2020 dan jemaah yang diselenggarakan oleh Public Virtue Research Institute di bawah pimpinan Usman Hamid, aktivis HAM yang juga Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia. Shalat Jumat yang diselenggarakan oleh Usman Hamid dilakukan dengan sistem yang lebih rapi dan dimulai sejak 5 Maret 2021. Tema-tema yang diangkat banyak berupa isu-isu seputar Islam dan HAM.

 

Pelaksanaan ibadah virtual bisa jadi merupakan alternatif terbaik di masa pandemi. Banyak ritual keagamaan yang tak bisa diubah menjadi urusan privat karena tujuan awal pelaksanaannya memang untuk social bonding, solidaritas, dan sense of belonging dalam kelompok.

 

Karena itu, pelaksanaan ibadah virtual itu bisa sedikit mengobati kerinduan untuk hadir beramai-ramai bersama saudara dan handai taulan dan sekaligus mengisi kehausan spiritual umat yang terpaksa banyak menyendiri atau mengisolasi diri karena Covid-19 tak kunjung pergi. Sandaran hukum dalam literatur klasik untuk mendukung pelaksanaan ibadah seperti ini tentu saja jarang karena ini adalah fenomena baru.

 

Sebelum pandemi, penggunaan peranti digital dalam kegiatan keagamaan sudah banyak dilakukan oleh para dai milenial dan dai selebritas, seperti Hanan Attaki, Felix Siauw, dan Ustaz Abdul Somad. Bahkan bisa dikatakan, dakwah dan popularitas mereka banyak didukung oleh Facebook, Twitter, Instagram, dan Youtube. Jumlah follower mereka di media sosial mencapai jutaan.

 

Hanya saja, sebelum ini peranti digital sekadar digunakan untuk mendukung ibadah atau dakwah, bukan dalam pelaksanaan ibadah seperti shalat Jumat atau shalat Id. Peranti digital, misalnya, hanya dipakai untuk berkomunikasi dan tukar info dengan jemaah, menyebarkan konten-konten dakwah, dan aplikasi pencarian jodoh (mate match).

 

Meski saat ini, dalam banyak hal, hal-hal virtual telah menjadi realitas, masih banyak yang berpikir, terutama terkait ibadah, bahwa yang ada di dunia digital itu hanya berperan sebagai alternatif atau bentuk yang tak sempurna dari ibadah yang dilakukan secara luring. Beribadah secara virtual dianggap tak memiliki kesahduan dan kekhusyukan yang sama dengan ibadah luring. Bahkan, dari segi keabsahan, banyak yang menganggap ibadah virtual itu kurang atau tidak sah dilakukan.

 

Tentu saja secara sosiologis hal ini bisa dimaklumi. Seperti disebutkan Emile Durkhieim (1995), fungsi ritual itu di antaranya memang untuk menjaga kohesi sosial. Ketika orang berkumpul bersama untuk melakukan ritual di satu tempat, maka mereka akan menghilangkan identitas individual dan egonya. Mereka akan tersambung secara kuat dengan jemaah yang bersama-sama melaksanakan ibadah. Pendeknya, ritual bisa menguatkan sense of community dan identitas kelompok. Orang akan merasakan pengalaman collective effervescence dan menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri. Nah, hal inilah yang terus ditanyakan ketika beribadah itu beralih ke platform digital.

 

Terakhir, menerima tradisi baru yang berbeda dari yang biasa dipegangi oleh nenek moyang itu memang sulit. Karena itu, tak mengherankan jika beberapa orang menentangnya secara ekstrem. Shalat dengan saf berjarak, misalnya dianggap oleh pemimpin agama tertentu sebagai pembangkangan terhadap sunah Nabi. Mengganti salaman tangan dengan siku atau genggaman dianggap sebagai ajakan berkelahi. Mengganti kurban kambing dan sapi dengan bantuan kepada mereka yang terdampak Covid-19 tidak dianggap menggugurkan kewajiban ibadah berkurban. Demikian pula dengan ibadah virtual. Tak mudah menerima tradisi dan kebiasaan baru di masyarakat meski kebiasaan lama itu bisa membahayakan nyawa jika dilakukan. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar