Hidup
yang (Tak) Dipertaruhkan Mumu Aloha ; Wartawan, Penulis, Editor |
DETIKNEWS, 21
Agustus 2021
Saya menonton
kembali film animasi Spirit: Stallion of the Cimarron yang secara kebetulan
tayang di sebuah saluran televisi. Ini film tahun 2002, salah satu film yang
masih membekas di benak saya. Sampai kini, hampir tiap hari saya masih terus
memutar lagu-lagu soundtrack-nya yang sengaja saya pasang di playlist laptop
saya, dinyanyikan oleh Bryan Adam. Awalnya, ketika mendapati film itu di
layar televisi, saya berniat akan duduk menonton sebentar. Tapi, tak terasa,
ternyata saya tak beranjak ke mana-mana sampai film selesai. Saya masih
ingat sebagian jalan ceritanya. Dan sehabis menontonnya malam itu, yang saya
rasakan masih sama dengan saat pertama kali menontonnya nyaris 20 tahun lalu
dalam pemutaran rutin perdana untuk wartawan. Mata saya berkali-kali
tergenang air hangat yang saya biarlah meleleh di pipi. Saya menikmati momen
itu. Saya mendadak jadi melankolis. Betapa hidup
begitu penuh perjuangan bagi seekor anak kuda jantan yang baru saja beranjak
dewasa. Kehidupannya yang tenang dan bahagia di sebuah padang hijau bak surga
bersama keluarga dan kerabat yang dicintainya, mendadak terenggut ketika
sekelompok pemburu berkemah di hutan. Si kuda liar yang elok, gagah, dan
perkasa itu pun segera menarik perhatian para manusia itu, dan mereka
berusaha menangkapnya. Perlawanan si kuda nyaris
membuat manusia-manusia itu celaka, tapi bagaimana pun mereka lebih pintar
dan yang pasti lebih jahat. Kuda itu akhirnya bisa dijerat dan dibuat tak
berdaya, digiring untuk dibawa ke markas mereka. Sejak itu, hidup si kuda tak
lagi sama. Terpisah dari keluarga dan kumpulannya, serta kehilangan surga kehidupannya,
ia terus berusaha melakukan perlawanan ketika hendak dijinakkan. Karena terus
melawan, akhirnya ia dilumpuhkan dengan siksaan, lalu dikurung sebagai
tawanan. Nasib mempertemukannya
dengan seorang anak muda suku Indian yang juga menjadi tawanan para koboi
itu. Mereka bersekongkol hingga berhasil meloloskan diri, tapi
manusia-manusia itu rupanya masih terus mengincar si kuda. Manusia-manusia
itu berhasil kembali menangkapnya, dan Kebebasannya kali ini ia diangkut
dengan kereta untuk bergabung dengan kuda-kuda lain, untuk melakukan kerja
yang sangat berat. Sadar bahwa dirinya kini
makin jauh dari padang surga tempat dia dilahirkan dan dibesarkan, gelora
perlawanan dalam dirinya meronta tanpa bisa dikendalikan lagi. Begitulah,
untuk mendapatkan kebebasannya kembali, dan kedamaian hidup seperti semula,
ia harus terus menerus berjuang mengatasi berbagai rintangan yang tak
putus-putus dan berkali nyaris merenggut nyawanya. Semangatnya yang tak padam
dan usahanya yang tak kenal menyerah untuk bisa kembali berkumpul dengan
keluarganya dilukiskan dengan indah dalam lirik lagu sound track: I
can't stand the distance I
can't dream alone Dan, tekad itu memberinya
keyakinan: Yes,
I'm on my way home Dada saya terasa sesak,
sekaligus lega -perasaan saya campur aduk. Saya merasa baru saja mendapatkan
kejutan kecil, sebuah penghiburan gratis yang tak terduga-duga di tengah
pembatasan aktivitas yang menekan mental dan menyurutkan gairah di masa
pandemi ini. Tiba-tiba saya teringat beberapa waktu sebelumnya, netizen
dibuat heboh oleh sebuah tweet kutipan filosofis yang sebenarnya lumayan
klise, ditambah karena "diucapkan" pada saat yang tidak tepat
--waktunya tidak nyambung, kata Derrida-- menjadi terdengar "salah
sasaran". Seorang jubir istana
"tiba-tiba" nge-tweet, "Hidup yang tak dipertaruhkan tidak
akan dimenangkan," sebagai caption untuk posting-an fotonya yang gagah
dan tersenyum sentausa dalam busana resmi jas dan dasi. Sebuah kutipan dari
seorang filsuf yang tidak terlalu penting untuk disebutkan di sini, namun
kita tahu, pernah dikutip kembali antara lain oleh tokoh bangsa Sutan
Syahrir. Kehidupan sedang tidak
baik-baik saja. Dunia sedang menjadi buruk, lagi-lagi kata Derrida. Dunia
sudah usang, tetapi...tak ada lagi yang menyadari atau pun peduli dengan
keusangan. Sebab, apa yang sedang terjadi hanya penting bagi zamannya
sendiri. Dan sekarang adalah zaman kita, zaman yang tak disangka-sangka akan
mendapat serangan dari "makhluk" tak kasat mata, dan
memporak-porandakan hampir seluruh tatanan dan sistem kehidupan kita
--kesehatan, ekonomi, pergaulan sosial, budaya. Pertengahan tahun ini
banyak sekali orang mati, berjibaku dengan virus, berebut tempat dan
perawatan di rumah sakit, sampai kehabisan obat-obatan dan tabung oksigen,
dan tiba-tiba seorang pejabat negara bicara tentang "hidup yang tak
dipertaruhkan" --mau dipertaruhkan seperti apa lagi? Memang, bisa jadi sang
pejabat tidak memaksudkan "ucapannya" itu dengan konteks yang
terjadi di luar sana, saat ini. Bisa saja ia memang hanya sedang ingin menyemangati
dirinya sendiri berkaitan dengan apa yang secara personal sedang dihadapinya.
Tapi, apapun itu, keterhubungan digital kadang tak mau peduli dengan konteks
yang hilang. Ketika kita semua terhubung, kepekaan menjadi tuntutan dan
keniscayaan. Terlepas dari pro-kontra
tweet itu, yang sejujurnya malah memberikan hiburan dan intermezo sesaat d
tengah sumpeknya realitas, betapa pun klise dan basinya, kalau dipikir-pikir
"masih" ada benarnya, dan masih bisa dipertimbangkan kembali. Saya
tidak bicara tentang badai kematian yang sempat mengguncang kita pada Juni
lalu. Orang-orang sudah bicara banyak sekali tentang kematian. Banyak yang
sampai menyelam ke dasar fisosofi. Saya teringat obrolan
beberapa teman di Facebook, yang membahas tentang makna kematian. Yang
membuat saya agak kaget adalah salah satu komentar yang bagi saya memang
mengejutkan, ketika dia menyebut istilah "meromantisasi kematian".
Saya agak lama tercenung. Apa maksud teman saya ini? Agak lama saya tak
melanjutkan membaca komentarnya yang agak panjang, tapi kemudian pelan-pelan
saya baca sampai akhir. Saya tak sepenuhnya bisa
setuju dengan opini teman saya, dan memang tidak harus, tapi saya bisa
menangkap "spiritnya". Kata-katanya mungkin memang agak
"keras", tapi maksud yang ingin ia sampaikan sebenarnya, kalau
dipikir-pikir ada benarnya. Intinya, secara tersirat dia hendak menegaskan
bahwa dalam hidup ini, menghadapi atau bahkan menantang kematian adalah tema
utama manusia. Ia mencontohkan orang-orang yang sepanjang hidupnya harus
berjuang antara hidup dan mati karena menderita terminal illness hingga
mereka yang sampai melakukan percobaan bunuh diri. Selama masa PPKM yang
sambung-menyambung setiap minggu ini, saya secara random membaca buku-buku
lama, dan entahlah, seperti kebetulan tiga buku yang saya baca, semuanya
bicara tentang hidup yang tidak mudah. Satu tentang John Nash, matematikawan
peraih Hadiah Nobel bidang Ekonomi untuk temuannya tentang teori permainan
yang mengidap sakit jiwa. Lainnya biografi vokalis The Door Jim Morrison yang
kematiannya di usia muda masih menyisakan misteri hingga kini. Dan, satu lagi
novel semi biografis Sylvia Plath, The Bell Jar, yang juga bercerita tentang
"kegilaan" dan percobaan bunuh diri. Menyaksikan kembali film
Spirit: Stallion of the Cimarron seolah memperpanjang benang merah yang
tergurat di benak saya setelah membaca ketiga buku itu tadi: benar juga,
hidup ini memang mengandung pertaruhan, dan ada saat ketika kita harus
menebusnya. Setidaknya, bagi sebagian orang, hidup ini tidak selalu mudah,
bahkan tidak pernah mudah. Tentu saja, kuda hanyalah metafora. Film selalu
bicara tentang kehidupan. Saya lalu ingat diri saya
sendiri. Apa yang telah saya pertaruhkan selama ini? Baru ingat cicilan yang
harus dibayar di awal bulan saja kadang sudah merasa hidup ini berat sekali.
Padahal kata Gus Baha', punya utang itu penting. Bahkan kita
"harus" punya utang, meskipun sedikit. Semata agar kita tidak
menjadi sombong. "Jadi, kalian semua punya utang itu sudah bener,"
seloroh ustad idola itu dalam salah satu potongan videonya. Dalam sebuah obrolan
terbaru dengan teman via WA, saya mendadak seolah keceplosan mengeluh tentang
kebosanan. Saya bosan dengan pandemi ini. Saya bosan di rumah terus. Saya
bosan tidak bisa jalan-jalan dengan bebas seperti dulu. Bahkan, saya kemudian
juga mengatakan, "Aku kadang merasa sampek bosan hidup."
(Astaghfirullah....) Awalnya teman saya hanya
menanggapi dengan menawarkan untuk main ke tempatnya (dia tinggal di
Bandung), tidak secara khusus merespons keluhan saya. Tapi beberapa jam
kemudian, dia mengirim pesan yang diawali dengan permintaan maaf, "Aku
tidak tahan memberanikan diri untuk membahas ucapanmu yang ini," kata
dia. Maksudnya, ucapan saya tentang "merasa sampek bosan hidup"
tadi. Tiba-tiba saya merasa
bersalah. Mungkin saya telah berlebihan. Mungkin saya "meromantisasi
kebosanan". Orang lain mempertaruhkan hidup, dan masalah saya hanya
"bosan". Kok rasanya sepele banget! Teman saya menasihati: Sepertinya tidak bolehlah
kita berpikir seperti itu. Aku mencoba mengubahnya menjadi "hidupku tak
lama lagi". Maka, dengan begitu, harus digunakan sebaik mungkin.
Apapunlah, tidak ada hal yang sepele untuk menyelesaikan hidup. Kalimat terakhir itu
mengingatkan saya pada kata-kata Arnold Bennet, penulis buku self help klasik
Bagaimana Hidup 24 Jam Sehari yang terbit pertama kali pada 1908: tidak ada
yang membosankan dalam hidup. Pandemi membuat saya
memikirkan kembali banyak hal, sampai tiba pada kesimpulan bahwa hidup
mungkin ya memang "gini-gini aja". Atau barangkali lebih tepat
dikatakan: kalau hidup ternyata memang gini-gini aja, lalu kenapa? Mau apa
lagi sih? Masih pengen apa lagi? Tak ada yang perlu dirisaukan. Kalau kata
teman saya: don't worry, tidak selalu happy tidak apa-apa. Saya suka sekali dengan
ucapan itu. Ya, tidak selalu happy tidak apa-apa. Saya teringat sang kuda.
Saya teringat kalimat sang filsuf yang dikutip dari zaman ke zaman. Sang kuda
telah melewati sebuah pertaruhan hidup yang berdarah-darah. Pertaruhan hidup
saya, dan mungkin sebagian dari kita, paling banter, sejauh ini, sekali lagi,
hanyalah soal utang --cicilan ini dan itu yang harus diselesaikan setiap awal
bulan, sesaat setelah transfer gaji masih ke rekening. Dan, rasa bosan yang
sepele itu..... ● Sumber : https://news.detik.com/kolom/d-5690600/hidup-yang-tak-dipertaruhkan |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar