Covid
19, Ketimpangan, Kemiskinan, dan Pengangguran di Pedesaan Sofyan Sjaf ; Sosiolog Pedesaan IPB University |
KOMPAS, 2 Agustus 2021
Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) baru saja mengeluarkan pengumuman bahwa dunia berada
pada titik berbahaya dalam pandemi Covid-19. Lebih dari 4 juta orang
meninggal akibat infeksi virus korona. Masalah
tertib sosial kesehatan masyarakat, ketidaksetaraan produksi dan distribusi
vaksin di seluruh dunia mengakibatkan virus Covid-19 varian Delta menjadi
ancaman. Virus ini tidak hanya menyentuh warga perkotaan, tetapi juga warga
pedesaan. Di
Indonesia, tidak sedikit rumah sakit yang berada di pusat dan pinggiran kota,
dipenuhi warga yang berasal dari pedesaan. Mereka berkompetisi dengan warga
kota untuk memperoleh ranjang di rumah sakit. Ini disebabkan fasilitas
isolasi mandiri (isoman), poliklinik desa (polindes), pembantu puskesmas
(pustu), dan puskesmas tidak mampu menampung warga pedesaan yang terinfeksi
varian baru virus korona ini. Alasannya sangat jelas, fasilitas kesehatan
tidak mendukung. Situasi
di atas adalah catatan singkat dampak virus Covid-19 terhadap aspek kesehatan
masyarakat. Lalu bagaimana dampak terkini Covid-19 terhadap aspek sosial dan
ekonomi bagi warga masyarakat di pedesaan? Bersama data desa presisi Saya
bersyukur karena dalam satu tahun terakhir ini (Juli 2020-Juli 2021)
diberikan kesehatan dan kesempatan oleh Tuhan Yang Maha Esa untuk keliling ke
desa-desa di Pulau Sumatera, Jawa, dan Bali. Kunjungan ke desa-desa tersebut
bertujuan untuk mengumpulkan Data Desa Presisi (DDP) bersama para
pemuda-pemudi desa. DDP
adalah gagasan kami yang mendapat dukungan penuh dari pimpinan IPB
University. DDP mengombinasikan data numerik dan spasial secara bersamaan
berbasis keluarga di setiap rukun warga. DDP bertujuan membantu aparat desa
merencanakan, menemukenali, dan menyelesaikan beragam persoalan klasik di
pedesaan, seperti: target dan sasaran pembangunan, sasaran bantuan sosial
(bansos), kemiskinan, dan lain-lain. Sebagai
data dasar, DDP digunakan untuk menganalisis apa pun, termasuk mencermati
kondisi terkini terkait dampak Covid-19 terhadap kehidupan sosio-ekonomi
warga di pedesaan. Tidak hanya ketepatan bansos, jumlah keluarga miskin, dan
lain-lain yang selama ini menjadi polemik; DDP juga dapat mengukur
ketimpangan dan menunjukkan kualitas hidup setiap individu dan keluarga di
pedesaan. Secara
metodologi, DDP mampu menepis sekaligus menjawab kelemahan pendekatan
pengukuran ketimpangan (rasio Gini) yang selama ini hanya mampu dihitung di
tingkat global, nasional, dan regional saja. Bersama
DDP, saya melihat Indonesia pada titik yang mengkhawatirkan. Meski angka
rasio Gini (ketimpangan) di bawah 0,4 (ketimpangan rendah), angka persentase kemiskinan dan
pengangguran di pedesaan cukup tinggi, yakni 15,07-20,07 persen keluarga
miskin dan 6,12-13,25 persen keluarga yang menganggur saat pandemi Covid-19. Di bawah 30 persen pendapatan total Umumnya,
pakar sosial-ekonomi menggunakan rasio Gini untuk menghitung ketimpangan
pendapatan penduduk dan mengetahui kualitas hidup kelompok terbawah
(termiskin) sampai dengan teratas (terkaya). Menggunakan
DDP, rasio Gini pedesaan di tiga pulau di Indonesia teridentifikasi di bawah
0,4 (ketimpangan pendapatan rendah). Di pedesaan Sumatera yang bertipologi
pertanian kebun, angka rasio Gini-nya sebesar 0,39 dengan rata-rata
pendapatan per kapita per bulan sebesar 1, 6 juta. Sementara
di pedesaan Jawa dan Bali yang bertipologi pertanian sawah dan hortikultura,
angka rasio Gini-nya sebesar 0,36 dengan rata-rata pendapatan per kapita per
bulan sebesar Rp 2,3 juta (Jawa) dan Rp 3 juta (Bali). Informasi
yang menarik adalah bahwa 50 persen populasi keluarga, baik di pedesaan
Sumatera, Jawa, maupun Bali, hanya memperoleh sebesar 23-26 persen dari total
pendapatan pada masing-masing desa. Di pedesaan Sumatera, total pendapatan
seluruh kepala keluarga per bulan berkisar Rp 488,4 juta, pedesaan Jawa
sebesar Rp 5,8 miliar, dan pedesaan Bali Rp 5,4 miliar. Kemudian,
20 persen kelompok keluarga terbawah (termiskin) di tiga pulau tersebut hanya
memperoleh sebesar 5-6 persen dari total pendapatan dan 40 persen kelompok
warga desa terbawah (termiskin) hanya memperoleh 16-18 persen dari total
pendapatan. Sebaliknya, 20 persen kelompok keluarga teratas (terkaya)
memperoleh 55-58 persen dari total pendapatan. Dalam
konteks pandemi Covid-19, data dan informasi di atas memberikan peringatan
kepada kita bahwa ketimpangan rendah bisa saja sewaktu-waktu bergeser menjadi
ketimpangan sedang (moderat) hingga tinggi. Ini bisa terjadi, jika regulasi
penanganan dampak sosio-ekonomi yang diakibatkan oleh Covid 19 tidak tepat
sasaran dan memiliki orientasi jelas. Tentang hal ini, program bansos dan
sejenisnya ke depan perlu kehati-hatian. Kemiskinan dan pengangguran tinggi Salah
satu keunggulan DDP adalah mampu memperlihatkan posisi ketimpangan dan
kualitas hidup kelompok keluarga di setiap rukun warga. Di pedesaan Sumatera
yang bertipologi pertanian kebun, rasio Gini tertinggi di tingkat rukun warga
sebesar 0,41 dan terendah sebesar 0,36. Sementara
di pedesaan Jawa dan Bali yang bertipologi pertanian sawah dan hortikultura,
rasio Gini tertinggi di tingkat rukun warga sebesar 0,44 (Jawa) dan 0,40
(Bali), serta terendah sebesar 0,31 (Jawa) dan 0,29 (Bali). Dari dua kategori
rasio Gini tingkat rukun warga ini terdapat pola kemiskinan dan pengangguran
akibat dari pandemi Covid-19. Pertama,
rasio Gini tinggi diikuti dengan kemiskinan dan pengangguran yang tinggi.
Baik di pedesaan di Sumatera, Jawa, maupun Bali, populasi keluarga yang
memberikan kontribusi rasio Gini tinggi di tingkat rukun warga memiliki
sebaran kemiskinan keluarga 1,6-6,46 persen dan pengangguran 0,68-4,08 persen
dari total keluarga. Untuk
kemiskinan, pedesaan Sumatera memberikan kontribusi tertinggi, yakni 6,46
persen dari total keluarga. Kemudian disusul pedesaan Jawa dan Bali,
masing-masing sebanyak 2,45 persen (Jawa) dan 1,64 persen (Bali) dari total
keluarga. Adapun untuk pengangguran, pedesaan Bali memiliki kontribusi
terkecil (0,68 persen dari total keluarga). Kemudian disusul pedesaan Jawa
sebanyak 2,65 persen dari total keluarga. Adapun pedesaan Sumatera
berkontribusi tertinggi, yakni 4,08 dari total keluarga. Kedua,
rasio Gini rendah diikuti dengan kemiskinan dan pengangguran yang rendah. Di
pedesaan Sumatera, Jawa, dan Bali, populasi keluarga yang memberikan
kontribusi rasio Gini rendah di tingkat rukun warga memiliki sebaran
kemiskinan keluarga 1,25-4,76 persen dan pengangguran 0,96-2,13 persen dari
total keluarga. Pola
ini memberikan informasi bahwa kemiskinan di pedesaan Sumatera lebih tinggi
dibandingkan pedesaan Jawa dan Bali, yaitu 4,76 persen dari total keluarga.
Disusul pedesaan Bali dan Jawa, masing-masing sebanyak 3,50 persen (Bali) dan
1,25 persen (Jawa). Adapun
pengangguran, pedesaan Jawa menyumbangkan kontribusi terbesar (2,13 persen
dari total keluarga). Disusul pedesaan Sumatera sebanyak 1,02 persen dan
pedesaan Bali 0,96 persen. Butuh kebijakan presisi Indonesia
hanya setahun menikmati menjadi negara dengan pendapatan menengah atas (upper
middle income country). Belum lama ini, Bank Dunia mengumumkan posisi
Indonesia turun menjadi negara pendapatan menengah bawah (lower middle income
country). Tentunya
banyak faktor yang memengaruhi, di antaranya pandemi Covid-19 yang tidak bisa
dihindari. Belum lagi pekerjaan rumah yang berat harus diselesaikan Indonesia
terkait pencapaian 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable
Development Goals/SDGs) pada tahun 2030. Nampaknya, pemerintah harus mengambil
kebijakan presisi yang merespons secara serius dampak Covid-19 terhadap
kondisi sosio-ekonomi masyarakat. Pertanyaannya,
apakah bentuk kebijakan presisi tersebut? Kebijakan
presisi adalah kebijakan berbasis data presisi untuk memahami konteks yang
terjadi di lapangan. Data presisi dibangun dari desa agar kerja-kerja
pemerintah fokus dan mampu memilah, serta menggerakkan komponen anak bangsa
untuk merespons dampak Covid-19. Kebijakan
presisi berorientasi pada warga sebagai subyek pembangunan di pedesaan. Hal
ini mengingat kemiskinan dan pengangguran bersemayam di pedesaan. Stimulasi
program bansos, pengembangan ekonomi lokal, dan sejenisnya di era pandemi
Covid-19, harus dimulai dari data presisi yang mampu mengidentifikasi
keluarga di pedesaan yang benar-benar membutuhkan program tersebut. Dengan
kata lain, target dan sasaran pembangunan menjadi tepat, yaitu mereka yang
berada pada 20 dan 40 persen populasi kelompok keluarga terbawah (termiskin),
bukan sebaliknya. Semoga! ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar