Andaikan
Saya Bertemu Budi Darma Rakhmad Hidayatulloh Permana ; Wartawan Detikcom |
DETIKNEWS, 21
Agustus 2021
Rafilus telah
mati dua kali. Kemarin dia mati. Hari ini, tanpa pernah hidup kembali, dia
mati lagi. Kalimat-kalimat
dalam pembuka novel Rafilus itu seperti menggedor kepala saya. Saya seperti
tidak mau berhenti membaca buku yang kertasnya sudah menguning dan kertasnya
tampak rapuh itu. Begitulah
perkenalan awal saya dengan karya-karya Budi Darma dimulai. Bermula dari
novel Rafilus terbitan Balai Pustaka yang saya temukan sekitar tahun 2012 di
sebuah perpustakaan daerah di kabupaten kecil di Jawa Barat yang senantiasa
sepi. Dalam kartu daftar peminjam tampak belum ada yang meminjam buku itu.
Ini ironis, karena saya juga baru mengenal Budi Darma saat kuliah. Padahal
namanya sudah begitu agung dalam jagat sastra Indonesia bahkan belum sebelum
dilahirkan. Saya memang
sengaja mencari buku Budi Darma atas rekomendasi salah seorang blogger buku.
Dia merekomendasikan dua nama, Haruki Murakami dan Budi Darma. Dan keduanya
terus menjadi penulis favorit saya sampai hari ini. Menurutnya,
Budi Darma adalah penulis yang bisa menghadirkan karakter-karakter misterius
yang sepertinya asyik buat diajak mengobrol ngalor-ngidul. Saya pun
membuktikannya sendiri lewat Rafilus. Sejak hari
itu, usai menamatkan Rafilus, pandangan saya tentang sastra, filsafat, dan
kehidupan tak pernah sama lagi. Pak Budi seperti menyorongkan dunia ganjil
yang penuh kejutan dan hikmah dalam Rafilus. Apa makna kehidupan itu? Apakah
waktu yang dihayati? Apakah penderitaan itu? Dan lain sebagainya. Selanjutnya,
tokoh-tokoh khas ciptaan Budi Darma saya temukan dalam karya-karyanya yang
lain. Semua tokohnya, baik dalam cerpen maupun novel, seperti punya gambaran
umum yang identik. Mereka adalah manusia-manusia absurd, tengil, kejam, dan
kepalang goblok. Diksi-diksi
yang dipakai oleh Budi Darma pun selalu otentik. Dia sering memakai kata
'sekonyong-konyong' ketimbang 'tiba-tiba'. Lebih suka memakai kata 'goblok'
yang mungkin terdengar lebih kasar daripada 'dungu'. Ia lebih suka memakai
kata 'menggarap' sebagai ganti kata 'menyetubuhi'. Bahkan, Pak Budi memakai
kata ganti 'sampeyan' yang biasanya dipakai orang Jawa di Surabaya dan
sekitarnya sebagai kata ganti 'kamu' dalam novel Olenka yang setting-nya di
Amerika. Karya-karya
Budi Darma merupakan trademark tersendiri dalam sastra Indonesia. Dalam
Rafilus, misalnya, Budi Darma menghadirkan tokoh-tokoh yang dilingkupi
kemuraman. Rafilus yang 'bukan manusia' dengan hidupnya yang begitu muram
membuat kita yakin bahwa kehidupan kerapkali absurd. Sedangkan lewat
Paswestri, kita percaya bahwa dalam mengaku pun manusia tetap munafik.
Rafilus adalah novel yang memotret ruang-ruang kepribadian manusia yang gelap
nan wingit. Sedangkan
dalam Olenka, kita akan dipertemukan dengan tokoh-tokoh yang terombang-ambing
dalam kegamangan. Olenka yang narsis dan liar, Wayne Danton si cerpenis
gagal, dan Fanton Drummond yang jadi tempat persinggahan nafsu Olenka. Lewat
Olenka, kita dipaksa percaya bahwa manusia adalah makhluk pemalu dengan
segudang aib. Lalu melalui
Orang-Orang Bloomington --cerpen-cerpen panjang yang ia tulis saat kuliah di
Amerika Serikat-- kita diingatkan kembali tentang betapa tengil dan kejamnya
manusia. Motif serupa
juga bisa kita temukan dalam cerpen-cerpennya lain. Cerpen-cerpen yang
seringkali menghadirkan tokoh-tokoh khas dengan celetukan nyinyir. Misalkan
cerpen Kritikus Adinan, cerpen bergaya Kafka yang merupakan nyinyiran untuk
orang yang gemar mencari muka. Ada pula cerpen Kecap Nomor Satu di Sekeliling
Bayi yang menunjukkan betapa jahanamnya orang gemar yang pamer di atas
kesedihan orang lain. Juga cerpen Pohon Jejawi yang merupakan nyinyiran untuk
kekejaman kolonialisme. Nyinyiran-nyinyiran
yang lebih pedas dan sarkas juga bisa kita temukan dalam esai-esai kritik
sastranya yang terhimpun dalam buku Solilokui, yang sekaligus menggenapkan
sosok Budi Darma sebagai kritikus sastra pilih tanding. Dalam
Solilokui kita bertemu dengan Budi Darma yang ilmuwan dan tukang nyinyir. Ada
satu esainya yang secara terang-terangan menyindir para penyair yang hanya
bermodal rambut gondrong dan puisi mantra. Budi Darma seolah mengingatkan
bahwa sastra bukan sekadar tempat mejeng untuk mencari popularitas belaka, ia
lebih dari sekadar itu. *** Orang-orang
sering bilang bahwa narasi-narasi dalam karyanya yang tampak kejam dan kurang
ajar itu seolah berbanding terbalik dengan sosok Budi Darma yang selalu
tampil rapi, necis, dan lembut tutur katanya. Saya pun ingin membuktikannya
sendiri. Sekitar tahun 2015, saya pernah berinisiatif untuk datang langsung
ke kediamannya yang ada di kompleks dosen Unesa, Ketintang, Surabaya. Wilayah
yang juga menjadi setting tempat tokoh-tokoh Rafilus. Saya pergi ke
sana dengan seorang kawan yang kebetulan juga berkuliah di Unesa, tempat Pak
Budi mengajar. Tapi ia Jurusan Fisika, sedangkan Pak Budi mengajar di Jurusan
Sastra Indonesia. Kawan saya itu
sempat bercerita, Budi Darma adalah orang yang sulit ditemui di kampus.
Pasalnya, dia sering menerima banyak undangan acara-acara terkait bahasa dan
sastra. Di kampus Unesa, Pak Budi juga termasuk orang yang paling disegani.
Bagaimana tidak, hampir setiap bulan, kata teman saya itu, selalu ada spanduk
ucapan selamat kepada Pak Budi atas berbagai penghargaan di bidang sastra dan
lainnya. Sayangnya,
keinginan saya bertemu Pak Budi waktu itu belum terkabul. Pak Budi kebetulan
sedang tidak ada di rumah. Saya pikir, mungkin saya masih bisa bertemu
dengannya di lain kesempatan. Jika tidak di Surabaya, barangkali di Jakarta
atau kota mana saya. Namun keinginan itu jadi mustahil setelah mendengar
kabar wafatnya Budi Darma hari ini. Andaikata saya
bertemu Pak Budi Darma kala itu, mungkin saya bisa bertanya langsung tentang
banyak hal mengenai karya-karyanya. Misalnya, apakah Rafilus itu dulunya kuli
bangunan? Apakah Olenka cantiknya seperti Audrey Hepburn? Apakah orang-orang
dalam cerpen Orang-Orang Bloomington lebih suka teh daripada kopi? Pertanyaan-pertanyaan
nyeleneh tersebut sekarang hanya bisa saya ungkapkan dalam tulisan ini.
Jawabannya biarlah menjadi misteri di dunia ini. Andaikata di
surga nun jauh di sana ada kedai teh, apakah Pak Budi Darma mau mengobrol
dengan kami, para pembacamu yang sering dibuat gila ini? ● Sumber : https://news.detik.com/kolom/d-5690744/andaikan-saya-bertemu-budi-darma |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar