Urgensi
Penajaman Strategi Komunikasi di Masa PPKM Level 4 Jannus TH Siahaan ; Praktisi Komunikasi dan Sosiolog |
DETIKNEWS, 30 Juli 2021
Setelah ditemukan kasus
varian baru virus Corona, Delta, di Indonesia, eskalasi kasus positif
COVID-19 di berbagai daerah Jawa-Bali nampaknya tidak dapat terbendung lagi
oleh Pemerintah. Sebagai varian baru, virus Corona varian Delta memiliki
tingkat penularan yang relatif lebih tinggi atau mudah menyebar dari satu
penderita kepada orang lain. Akibatnya, lonjakan kasus COVID varian Delta
membuat banyak fasilitas kesehatan nasional ambruk karena keterbatasan daya
tampung, minimnya peralatan kesehatan seperti tabung oksigen, dan jumlah
tenaga kesehatan yang kurang memadai. Sayangnya, penerapan PPKM
Level 4 Jawa-Bali ternyata tidak secara signifikan dan efektif mampu menekan
mobilitas masyarakat karena masih banyak yang abai terhadap bahaya penyebaran
varian Delta yang sudah banyak merenggut korban jiwa. Salah satu sebab
utamanya tentu faktor ekonomi. Sebagian masyarakat terpaksa tetap bekerja di
luar rumah dan tetap melakukan aktivitas agar tetap bisa menafkahi keluarga,
sementara pemerintah belum bisa memberikan jaminan pendapatan masyarakat yang
hilang kalau mereka dipaksa harus tetap di rumah. Faktor lainnya, pemerintah
masih lemah dalam hal strategi komunikasi. Pemerintah perlu melakukan
perubahan strategi komunikasi publik dengan mulai menerapkan pendekatan
framing of risk (Teori Prospek). Asumsinya adalah bahwa kerugian dan
keuntungan dinilai secara berbeda, dengan demikian individu dapat membuat
keputusan berdasarkan keuntungan yang dirasakan ketimbang kerugian yang akan
dialami. Dalam konteks pandemik,
strategi komunikasi yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah ialah membangun
kewaspadaan masyarakat mengenai bahaya COVID-19 yang mengancam hilangnya
nyawa orang-orang terkasih. Dengan kata lain, gaya komunikasi yang perlu
dibangun ialah komunikasi darurat kelas satu bahwa Indonesia sedang berada
dalam bahaya wabah. Pemerintah dituntut untuk mampu meyakinkan publik bahwa
(1) mencegah bahaya kesehatan dari COVID-19 jauh lebih penting ketimbang
urusan ekonomi dan (2) menerima akibat terjangkit COVID-19, terutama varian
Delta, sebanding dengan "menunggu meninggal". Jadi pesan yang perlu
disebarkan ialah pesan-pesan dalam konteks framing of risk, yakni pesan-pesan
yang lebih menitikberatkan pada risiko yang akan ditimbulkan oleh COVID-19
dan risiko dari aktivitas-aktivitas yang mempercepat penularan COVID-19.
Artinya, persuasi sudah tidak maksimal lagi hasilnya, sehingga perlu
ditingkatkan ke level pesan dengan tendensi "menakuti". Contoh analogis yang
paling mudahnya dipahami adalah peraturan pelarangan merokok yang
dikomunikasikan dengan gambar penderita kanker paru-paru pada setiap kemasan
rokok. Dalam tataran teknis, tentu pengemasan pesan perlu dilakukan secara
variatif, strategis, kreatif, dan menyasar seluruh target lapisan masyarakat
agar secara inklusif masyarakat paham atas bahaya COVID-19. Karena gagalnya
penyampaian pesan tersebut, pemerintah pun gagal memaksimalisasi penerapan
kebijakan PPKM level 4. Masyarakat masih menganggap bahaya dari penyebaran
COVID-19 tidak lebih penting ketimbang bahaya jika tidak keluar rumah untuk
beraktivitas. Persoalan kurang maksimalnya penyampaian pesannya ini terkesan
sangat sederhana, tapi justru sebenarnya perannya sangat krusial dalam
mengubah perilaku publik terhadap COVID-19. Dengan kata lain, jika pesan tak
sampai kepada publik, maka pesan tidak akan diinternalisasi dengan baik dan
akan gagal digunakan sebagai pertimbangan dalam menentukan opsi perilaku. Melihat kondisi krisis
kesehatan yang semakin parah dan berbahaya akibat pertambahan angka kasus
yang kian agresif, ditambah dengan semakin banyaknya negara yang melarang
warga negaranya untuk berkunjung ke Indonesia, selain menutup pintu izin
masuk bagi WNI, maka saat ini sudah seharusnya pemerintah menyebarkan
informasi dengan pesan yang tepat dan melalui semua lini dan channel
penyebaran informasi yang ada. Pesan KOMINFO RI sebagai institusi pemegang
otoritas penuh dalam urusan informasi publik dalam memberikan informasi yang
gamblang, jelas, dan tentunya dapat dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat
tanpa terkecuali harus dimaksimalkan lagi. Dengan fakta yang
berkembang sampai hari ini, tentu kesimpulan sementara kita bahwa Kominfo RI
masih belum mampu membangun pemahaman masyarakat mengenai bahaya COVID-19 di
seluruh level lapisan masyarakat. Pemerintah dan Kominfo RI sangat perlu
memperlakukan situasi darurat, sehingga semua celah dan upaya penyebaran
pesan bahaya bisa dipakai. Karena, menyelamatkan nyawa warga negara adalah
tugas penting dan utama pemerintah. Saat ini, strategi
komunikasi yang dapat dilakukan dengan mempertajam framing tentang bahaya dan
risiko yang diakibatkan oleh COVID-19 saat ini ialah, pertama memaksimalkan
seluruh channel komunikasi yang ada (stasiun TV, radio, internet, media
sosial, dan berbagai saluran) yang bisa terakses oleh seluruh lapisan
masyarakat tanpa terkecuali. Kedua, penggunaan suara
dari Opinion Leader dalam mengkomunikasikan pesan dengan menggunakan bahasa
yang mudah dimengerti oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk penggunaan
konten-konten lokal yang disuarakan oleh tokoh-tokoh lokal dan tokoh
komunitas. Dalam hal ini, adaptasi kebijaksanaan lokal dan suara-suara dari
komunitas lokal perlu disasar, karena sangat mumpuni dalam meningkatkan
kapatuhan anggota komunitas pada tata kelola mitigasi COVID-19. Nihilnya kasus COVID-19 di
masyarakat Badui Banten bukan saja karena Badui adalah masyarakat tertutup,
tapi juga karena peran tokoh dan pemimpin lokal di Badui sangat menjadi kunci
bagi masyarakatnya dalam mematuhi aturan main pencegahan penyebaran kasus
COVID-19, selain adanya ramuan-ramuan tradisional Badui yang berfungsi
meningkatkan daya tahan tubuh dan selalu dikonsumsi oleh masyarakat di sana
tentunya. Apa yang terjadi di Badui ini bisa diadopsi oleh pemerintah dalam
mendekati tokoh-tokoh budaya dan komunitas untuk menjadi agen penyebaran
informasi bahaya COVID-19 di tingkat akar rumput. Dan ketiga, pemerintah
perlu memaksimalisasi peran akademisi, perguruan tinggi dan institusi
pendidikan lainnya dalam menyebarkan komunikasi bahaya COVID-19. Jejaring
dunia pendidikan akan memiliki pengaruh cukup signifikan dalam mengajak
seluruh pihak, baik masyarakat umum maupun swasta untuk bahu membahu
menggaungkan bahaya COVID-19 sebagai tanggung jawab sosialnya. Pandangan-pandangan
akademis dari pihak kampus dan lembaga pendidikan akan menjadi counter
narative yang positif untuk mematahkan pandangan-pandangan konspiratif
terkait COVID-19 yang masif beredar di tengah masyarakat. Terbukti,
pesan-pesan konspiratif yang kontradiktif terhadap pesan pemerintah cukup
berperan besar dalam mengurangi rasa waswas publik terhadap bahaya COVID-19.
Sehingga dengan memaksimalkan peran lembaga pendidikan dari pusat sampai ke
daerah-daerah akan memvalidasi dan mengamplifikasi pesan-pesan darurat dari
pemerintah di satu sisi, tapi juga bisa menegasi informasi-informasi yang
berlawanan dengan pesan yang ingin disampaikan oleh pemerintah. Semoga! ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar