Pandemi
dan Pendisiplinan Masyarakat Rosdiansyah ; Dosen Ilmu Komunikasi pada UPN Surabaya,
Peneliti Budaya Massa |
DETIKNEWS, 30 Juli 2021
Entah sampai kapan pandemi
ini berlangsung. Tak ada yang berani memastikan sebab varian baru COVID-19
bermunculan dengan berbagai karakternya yang harus diwaspadai siapapun.
Kesiagaan tampak dari mereka yang peka situasi melalui cara menjaga diri
lebih baik. Hari-hari penuh
kekhawatiran, berita duka nyaris tiap hari menghiasi grup-grup chat Whatsapp.
Silih berganti, seakan tiada henti. Satu grup memberitahu kabar duka, tak
berselang lama grup berbeda mengumumkan belasan anggota grup melakukan
isolasi mandiri (isoman). Foto-foto warga berjubel
di lorong-lorong rumah sakit atau pusat-pusat layanan kesehatan terunggah
beruntun dalam grup-grup Whatsapp. Para warga grup tak mungkin mengabaikan
foto-foto itu, dan mereka melihat seksama orang-orang sakit antri layanan
kesehatan. Memantik rasa iba, rasa kasihan sekaligus menerbitkan
kehati-hatian bagi siapapun dalam situasi pandemi ini. Tak bisa dipungkiri, rumah
sakit menjadi pusat perhatian masyarakat saat ini. Siapapun sangat
mengapresiasi kesibukan luar biasa para tenaga kesehatan (nakes). Observasi
dan evaluasi perkembangan tingkat kesehatan pasien menjadi rutinitas
sehari-hari para nakes ini. Dengan sabar dan telaten, mereka mencermati para
pasien dari hari ke hari. Pemeriksaan fisik, riwayat
penyakit lalu terapi menjadi bagian penting dalam 'the body of medical
knowledge' (bagian pengetahuan medis atau kedokteran). Adalah Michel
Foucault, sang filsuf Prancis, yang telah mengupas pelajaran-pelajaran
penting sekaligus menarik dari kehadiran rumah sakit dalam sejarah umat
manusia. Pada tahun 1963, Foucault
menerbitkan buku bertajuk Naissance de la Clinique yang satu dekade kemudian
baru diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris berjudul The Birth of Clinic
(1973). Sembari merujuk ke kamus medis karya Vicq d'Azyr, Foucault menulis,
keorganisasian sistem pendidikan di dalam rumah sakit merupakan solusi
universal bagi masalah-masalah dari pelatihan medis. Reformasi besar dalam
sejarah kesehatan manusia terjadi ketika rumah sakit berhasil membawa
pandangan rasional. Sebelum rumah sakit hadir, cara-cara pengobatan pasien
sangat tergantung pada mantra dan mistik. Itulah yang terjadi dalam kuil-kuil
pengobatan, termasuk di dalam kuil Aesculapius, sang dewa pengobatan. Begitu
rumah sakit hadir, perubahan besar terjadi. Pengamatan seksama serta evaluasi
rasional menjadi bagian penting. Termasuk evaluasi hasil
pengujian dari laboratorium klinik. Dari situlah kemudian diagnosis
ditegakkan. Artinya, kebenaran medis ditemukan. Menyingkap sumber penyakit.
Lalu, mengobati pasien agar kesehatannya pulih. Foucault secara cermat
menceritakan perjalanan sejarah terbentuknya metode penyembuhan dari penyakit
itu ketika rumah sakit militer Saint-Eloi di Montpellier dipimpin Baumes,
seorang mantan guru besar universitas setempat, pada tahun 1794. Di bawah Baumes, rumah
sakit bukan hanya tempat untuk penyembuhan orang sakit dari penyakit.
Melainkan, juga menjadi tempat untuk menerapkan sistem pengajaran. Berbagai
observasi serta evaluasi dikembangkan sehingga keseharian rumah sakit pun
berubah. Para pengamat berpengalaman mengajar mereka yang magang untuk
mengetahui liku-liku penyakit serta tahap pengobatan. Rumah sakit berubah
fungsi menjadi semacam sekolah atau pelatihan. Bahasa dogmatis menjadi tahap
penting dari transmisi kebenaran. Tak lagi diujarkan, melainkan melalui
tatapan. Menatap adalah
mengobservasi sekaligus mengevaluasi apa yang ada di depan mata. Melihat
seksama, rinci serta cermat bagaimana gejala penyakit timbul lalu menentukan
tahap pengobatan. Bagi Foucault, inilah sintaksis baru. Kebenaran tak lagi
semata diujarkan layaknya di ruang perkuliahan, sebab praktek serta
eksplorasi pengamatan langsung menjadi lebih signifikan. Mendisiplinkan
Diri Tindakan preventif jelas
juga penting daripada sekadar mengandalkan tindakan kuratif. Seringkali
kegagalan dalam tindakan preventif (pencegahan) terjadi bukan karena hambatan
penjelasan medis untuk disebar ke masyarakat. Melainkan, kegagalan itu
berpangkal dari sulitnya mendisiplinkan masyarakat. Kedisplinan berkaitan pada
pengawasan. Jika kedisplinan disadari dengan baik lalu meningkat, maka
pengawasan bisa dikendorkan. Sebaliknya, jika kedisiplinan menurun, maka
otomatis pengawasan perlu ditingkatkan. Soal dinamika kedisiplinan ini juga
telah dikupas Foucault dalam berbagai karyanya. Di antaranya, buku
Security, Territory, Population (2007), Foucault menyinggung peran dan fungsi
regulator dalam mengawasi pergerakan orang serta barang. Pendisiplinan
masyarakat erat kaitannya pada kiprah regulator sebagai arsitek ruang
disiplin. Dalam situasi darurat, regulator akan menunjukkan diri sebagai
penguasa yang memiliki kedaulatan teritorial. Sejarah umat manusia telah
menunjukkan itu, ketika suatu wilayah dipandang berada dalam marabahaya, maka
otomatis penguasa wilayah bertindak cepat. Virus berwujud supermikro yang
menyebar cepat menulari manusia merupakan marabahaya itu saat ini. Boleh
jadi, cara salah satunya mengetahui kehadiran virus adalah melalui gejala
tubuh terinfeksi seperti demam. Walaupun Foucault bukan
dokter, namun penjelasannya tentang krisis tubuh akibat demam dalam kitabnya The Birth of the Clinic sangat
fantastik. Demam merupakan mekanisme pertahanan tubuh menghadapi benda asing
yang masuk. Ketika wabah virus meluas, maka dibutuhkan kedisiplinan menjaga
kesehatan tubuh. Termasuk dalam soal
isolasi mandiri yang kini sedang jadi "tren". Mengisolasi diri
memang tidak enak apalagi bagi orang gampang jenuh. Namun, itulah cara
mendisiplinkan diri agar tubuh tetap sehat serta bugar. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar