Uni
Eropa dan ”Brussels Effect” Yuri O Thamrin ; Dubes RI untuk Belgia, Luksemburg dan Uni
Eropa, periode 2016-Juli 2020 |
KOMPAS, 21 Juli 2021
Dunia kini bercorak
multipolar, Amerika Serikat tetap negara terkuat, sementara China dan Rusia
adalah dua negara adidaya lainnya. China menjadi penantang Amerika Serikat
sebagai "nomor 1", sedang Rusia punya beberapa pilihan: beraliansi
dengan China, dengan Amerika Serikat atau netral (Mearsheimer, 2018). Dalam konstelasi kekuatan
dunia saat ini, di manakah posisi Uni Eropa (UE)? Apakah UE tidak lagi perlu
diperhitungkan? Secara kekuatan militer,
UE memang tidak sebanding dengan Amerika Serikat (AS), China, dan Rusia.
Namun, kekuatan UE justru terletak pada "Brussel Effect" -- yakni
kemampuannya meregulasi pasar global secara unilateral (Anu Bradford, 2020).
Kekuatan UE tidak terletak pada "hard
power" tetapi "regulatory
power." Pasar
unggulan Pasar tunggal Eropa besar
dan kaya --- ditopang oleh kekuatan ekonomi UE sebesar 17 triliun dollar AS,
450 juta konsumen dengan pendapatan per kapita tinggi sekitar 40.000 dollar
AS. Sejatinya, tidak ada perusahaan global yang dapat mengabaikan pasar Eropa.
Untuk itu, mereka menyesuaikan diri dengan regulasi UE. Ambil contoh ekonomi
digital: berbagai perusahaan Amerika yang berpengaruh (seperti Microsoft,
Google, Apple dan Facebook) mengikuti standar UE yang dikenal sebagai
"EU GDPR" (European Union General Data Protection Regulation)---
tidak hanya untuk pengguna layanan mereka di Eropa, tetapi juga di seluruh
dunia. Sementara itu, Youtube,
Tweeter, dan Facebook menggunakan definisi "hate speech" versi UE
dan bukan versi AS atas dasar "the First Amendment" pada Konstitusi
Amerika. Selain berbagai perusahaan
AS, pengaruh "Brussels Effect" dirasakan pula oleh banyak pihak
lainnya di berbagai belahan dunia. Sebagai contoh, UE menentukan bagaimana
panen kayu secara lestari di lakukan di Indonesia (yakni berdasarkan SVLK dan
lisensi FLEGT). Uni Eropa juga menentukan
jenis pestisida yang dapat digunakan para petani biji coklat (cocoa) di
Afrika; juga jenis bahan kimia bagi produk "mainan anak" (toys)
yang diekspor perusahaan-perusahaan Jepang ke UE. EU juga menentukan berbagai
peralatan (equipments) pada pabrik-pabrik produk susu China yang berdagang
dengan UE; serta besaran privasi pengguna internet di kawasan Amerika Latin.
Semua fakta ini menunjukkan penetrasi regulasi UE memang sangat ampuh di
pasar global. Peran
perusahaan global Walaupun relatif tinggi
dan demanding, standar UE ternyata lebih disukai berbagai perusahaan global
dari pada mereka harus menggunakan beragam standar --- karena perbedaan
ketentuan hukum di berbagai negara ---yang tentunya akan lebih costly. Perusahaan-perusahaan itu
kemudian menerapkan standar dan regulasi UE ke dalam proses produksi dan
operasi mereka di seluruh dunia. Dengan demikian, UE sangat diuntungkan
karena tinggal mengatur pasarnya sendiri secara unilateral dan kemudian
regulasi-regulasi UE diaplikasikan ke seluruh dunia oleh berbagai perusahaan
global, demi kepentingan bisnis mereka sendiri. Pertanyaannya, mengapa
hanya ada "Brussels Effect"? Kenapa tidak terdengar "Beijing
Effect" atau "Washington Effect," padahal AS dan China pun
miliki pasar yang besar? Jawabnya adalah karena
"market size" harus dilengkapi pula dengan faktor "regulatory
capacity." Artinya, walau punya pasar besar, China ternyata belum miliki
kemampuan dan kecanggihan hukum seperti institusi-institusi legal dan para
lawyers UE. Sementara itu, AS walaupun miliki kapasitas hukum secanggih UE,
namun AS justru mendorong deregulasi pada pasar domestiknya sejak awal 1990
(Anu Bradford, 2020) "Rethinking
power" Kekuatan militer (hard
power) merupakan elemen penting dalam realitas politik internasional. AS,
China dan Rusia adalah pemilik "hard power" terbesar di dunia.
Namun, kekuatan militer cenderung "mahal" dan juga berbahaya
penggunaannya. Sementara itu, UE memiliki
"Brussels Effect" yang bersumber dari "regulatory power"
untuk men-shape pasar global. Kekuatan jenis ini "murah" ongkosnya,
mudah penggunaannya dan juga sulit dikalahkan. Pihak asing mana pun jelas
tidak boleh campur tangan urusan UE menerapkan regulasi atas pasar
domestiknya sendiri. Negara-nagara itu pun tidak mungkin larang
perusahaan-perusahaan global untuk menerima, mematuhi dan bahkan
menyebar-luaskan berbagai regulasi dan standar UE ke pasar global. Arah
ke depan Uni Eropa memiliki ambisi
besar untuk mengurangi hingga 50 persen emisi karbon dioksida pada 2030 dan
menjadi "carbon neutral" pada 2050. Dalam perspektif itu, UE
mengembangkan "Carbon Border Adjustment Mechanism" yang mulai tahun
2023 akan dioperasionalisasikan melalui penerapan "Carbon Border
Tax." "Brussels
Effect" tampaknya diarahkan untuk dorong produk-produk non-EU di pasar
Eropa agar lebih ramah lingkungan dan agar negara-negara non-EU dapat
meningkatkan level ambisi mereka dalam memerangi "global warming." ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar