Serba
Bersama Dahlan Iskan ; Mantan CEO Jawa Pos |
DISWAY, 26 Juli 2021
BETAPA sulitnya menjadi
menteri kesehatan di masa sekarang ini. Lebih sulit lagi karena di
tiga kali perubahan sistem penanganan pandemi, sang menteri tidak menjadi
pemegang komando tertinggi. Jumlah penduduk yang
terjangkit Covid-19 mencapai rekor baru –bahkan di tingkat dunia. Jumlah yang
meninggal belum pernah setinggi Jumat lalu. Obat sulit didapat. Harga
obat naik ratusan persen. Oksigen dikeluhkan di
mana-mana. Rumah sakit kewalahan. Dokter dan nakes banyak
berkurang –karena meninggal, sakit, dan isoman. Masih pula dipermalukan di
depan publik. Dan yang mempermalukan atasannya sendiri: Presiden Republik
Indonesia. Anda semua sudah tahu:
Bapak Presiden ke sebuah apotek kecil di Bogor. Dalam keadaan normal pun
belum tentu punya stok vitamin D3 5.000 iu. Bapak Presiden menemukan
kenyataan: banyak obat yang sangat diperlukan tidak ada di apotek itu. Termasuk
vitamin D3 5.000 iu tersebut. Sang presiden lantas
menelepon Menteri Kesehatan Budi Sadikin. Wajah sang menteri, yang lagi
menerima telepon, ada di layar dekat presiden. Presiden tidak
marah-marah. Tidak menegur. Tidak mengeluarkan kalimat bernada tinggi.
Presiden hanya memberitahukan apa yang dilakukan di apotek barusan. Tidak ada
juga petunjuk dari presiden harus bagaimana dan harus melakukan apa. Pun,
presiden tidak memberikan target: apa yang harus dilakukan dan kapan harus
diselesaikan. Presiden hanya
memberitahukan apa yang beliau lakukan dan beliau lihat. Tanpa ”diberi tahu”
presiden pun, Budi Sadikin sudah tahu. Semua jenis media mempersoalkannya
sejak sebulan sebelumnya. Melihat adegan itu –agak
telat– perasaan saya campur aduk. Saya pernah menjadi bawahan seperti itu.
Tapi, saya belum pernah merasakan suasana seperti itu. Ups... mungkin pernah. Ketika menjadi bawahan
yang sangat bawah dulu. Di masa muda. Dipermalukannya pun
sebatas sebagai bawahan yang bawah. Sakitnya terbatas. Tapi, ketika bawahan itu
seorang menteri, posisi bawahan tersebut sangat tinggi. Ketika dijatuhkan,
sakitnya tentu luar biasa. Akan beda dengan ketika posisinya masih bawahannya
bawahan. Mungkin Pak Menteri
menyesal: mengapa mau diangkat menjadi menteri. Yang pengangkatannya
dilakukan di tengah pandemi. Bukan sebelum pandemi. Beliau tentu sudah
tahu: risiko apa yang harus dihadapi. Seberat apa tanggung jawabnya. Kini beliau tidak bisa
lagi menyesali diri. Di depannya hanya ada
pilihan: mundur atau bertahan. Saya akan menghargai
dua-duanya. Kalau beliau mundur,
memang pahit sekali. Mungkin baru sekali ini ia mengalami kegagalan dalam
karier. Beliau bukan orang yang
diambil dari comberan. Beliau adalah berlian di sepanjang hidupnya: kuliah di
ITB –prodi nuklir pula, jadi bankir yang sangat menonjol, menjadi CEO salah
satu bank terbesar di negeri ini –dengan sukses besar– menjadi penerobos
pengambilalihan Freeport –yang sangat bersejarah. Lalu, masuk ke arena
jabatan politik: kalah. Letnan Jenderal Ali
Sadikin juga selalu sukses besar. Jadi dewa. Dipuja. Lalu, masuk arena
sepak bola: gagal. Namanya pun jatuh. Waktu naik ke arena
politik, beliau masuk posisi yang salah. Beliau bukan dokter. Tapi, mau
menjadi menteri kesehatan. Saya termasuk yang tidak
menilai itu salah. Menjadi menteri adalah menjadi pemimpin –bukan menjadi
kepala bagian produksi sebuah pabrik. Untuk jabatan setinggi
itu, yang diutamakan adalah dua ini: kemampuan leadership dan kemampuan
manajerial. Budi Sadikin punya
dua-duanya. Sangat tidak diragukan. Sudah dibuktikan. Apalagi, beliau diberi
pendamping, wakil menteri, seorang dokter yang levelnya sudah doktor dan guru
besar: Dante Saksono Harbuwono. Tentu saya tidak tahu
bagaimana proses Budi Sadikin bisa menjadi menteri kesehatan. Apakah
tahu-tahu jadi. Atau ada proses dialog. Saya teringat ketika
diminta Bapak Presiden (SBY) untuk menjadi Dirut PLN. Juga dalam situasi
krisis: krisis listrik. Saya tahu diri. Saya tidak
langsung bersedia –meski saya sadar bahwa perintah seorang presiden jangan
diabaikan. Niat saya tidak
mengabaikan. Saya justru ingin menjunjung marwah seorang presiden. Yakni, Presiden harus tahu
bahwa saya bukan insinyur listrik –bahkan bukan sarjana. Saya hanya tamatan
pondok pesantren: hanya tingkat madrasah aliyah pula. Saya kemukakan itu di
depan presiden. Agar dipikirkan ulang pencalonan saya. Saya berpikir, bisa jadi
Bapak Presiden akan disalahkan banyak orang: mengapa mengangkat lulusan
madrasah menjadi Dirut PLN –yang lagi krisis pula. Maka terucapkan kata-kata
beliau: ”Saya sudah tahu itu. Saya melihat kemampuan leadership dan
manajerial”. Ya sudah. Yang penting,
saya tidak boleh mengutamakan ambisi, tapi mencelakakan atasan saya. Saya tidak mau melempar
bola api ke atas. ”Melempar bola api ke atas” adalah salah satu topik yang
saya pilih di program mentoring leadership untuk beberapa direksi perusahaan
saat ini. Setelah jelas posisi saya
itu, saya plong. Beban mental berkurang. Tapi, saya sadar kelemahan saya:
tidak tahu teknis listrik. Memang saya sudah pengalaman membangun dua PLTU,
tapi kecil-kecil –untuk ukuran bisnis listrik. Saya pun sadar: direksi
PLN harus kompak –untuk bisa mengatasi krisis listrik saat itu. Saya harus
memilih sendiri siapa saja yang akan duduk menjadi direktur PLN –mendampingi
saya. Saya bertekad untuk tidak membawa satu orang pun dari luar ke PLN.
Pasti masih banyak orang PLN yang hebat-hebat. Dalam proses pengangkatan
saya itu, ada dialog. Saya yang minta dialog: saya dipanggil Menteri BUMN
Bapak Mustafa Abubakar dan Menteri ESDM Darwin Zahedy Saleh. Saya ajukan persyaratan
saya itu: saya harus diberi wewenang menentukan siapa saja yang jadi direksi
PLN. Kalau tidak, saya tidak mau menjadi Dirut PLN. Untuk apa menjadi Dirut
tapi tidak bisa mengatasi krisis listrik. Beliau setuju. ”Tapi,
SK-nya harus tetap dari menteri BUMN,” ujar Pak Abubakar. Tentu saya
tahu: harus begitu. Tidak masalah. Said Didu, sekretaris
menteri waktu itu, membuatkan SK-nya. Saya juga minta saran Said Didu: siapa
anak muda di PLN yang pintar, bersih, dan jujur yang bisa saya ajak diskusi
rahasia untuk memilih calon direksi itu. Saya tidak kenal satu pun orang di
PLN. Syarat lain dari saya
tidak sulit: tidak mau menerima fasilitas apa pun dari PLN. Tentu disetujui. Di situ ada unsur ”diberi
wewenang”. Otoritas. Saya tidak tahu apakah
dalam proses pengangkatan menteri kesehatan yang bukan dokter itu juga
melewati dialog seperti itu. Yang jelas, saya melihat
tidak ada wewenang yang cukup yang diberikan kepada menteri kesehatan di
tengah krisis ini. Atau saya salah lihat,
maafkan. Di atas menteri kesehatan dan tim khusus. Mungkin saking besar dan
luasnya cakupan pandemi. Padahal, ”kewenangan” dan
”tanggung jawab” itu menyatu dalam proses manajemen. Apalagi di tingkat
leadership. Misalnya: vaksinasi harus
mencapai 70 persen di akhir Oktober 2021. Apakah itu tanggung jawab
menteri kesehatan atau tanggung jawab ketua tim apa itu? Dalam doktrin manajemen,
tidak ada yang namanya ”tanggung jawab bersama”. Harus ada satu orang yang
bertanggung jawab: siapa. Kelangkaan obat: tanggung
jawab siapa. Dan seterusnya. Lengkap
dengan kewenangannya. Kita sering melihat slogan
di terminal bus: ”Kebersihan adalah tanggung jawab kita bersama”. Toh tidak pernah bersih
juga –dulu, entah sekarang. Tidak ada lagi slogan
dengan bunyi seperti itu di stasiun kereta api, sejak era Ignasius Jonan
–karena tanggung jawab kebersihan ada di pribadi kepala stasiun itu
sendiri. Stasiun pun bersih. Memang bikin gemes: Jumlah persediaan vaksin
tercatat mencapai 150 juta. Yang ingin divaksin
terlalu banyak, sampai antre –hanya sedikit yang ogah. Produksi vaksin di
Bandung tiap hari sudah bisa mencapai: 1,4 juta ampul. Tapi, yang sudah divaksin
baru 60 juta orang. Itu tanggung jawab siapa?
Jangan ada moto tanggung jawab kita bersama. Itu hanya enak diucapkan, puas
di hati, tapi bisa seperti terminal bus hasilnya. Saya setuju dengan
pendapat ini: vaksinasi adalah harapan utama kita melawan pandemi. Capaian 70
persen adalah mutlak. Akhir Oktober harus selesai. Selebihnya urusan siapa
yang harus bertanggung jawab. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar