Relevansi
Komponen Cadangan Probo Darono Yakti ; Dosen Hubungan Internasional UPN “Veteran”
Jawa Timur, Pengamat Pertahanan Stratagem Indonesia |
KOMPAS, 7 Juli 2021
Awal tahun ini, pemerintah
mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) No 3 Tahun 2021 yang mengatur teknis
Komponen Cadangan/Komcad sebagai pelapis kedua komponen utama yang terdiri
atas TNI/Polri yang didefinisikan dalam UU 23/2019 tentang Pengelolaan Sumber
Daya Nasional (PSDN) untuk Pertahanan Negara. Program ini melatih selama
tiga bulan pemuda berusia 18-35 tahun yang terpilih serta memberikan pesangon
dan pangkat selayaknya TNI/Polri. Sampai saat ini, rekrutmen Komcad di
berbagai daerah terus digulirkan, termasuk melihat potensi yang ada di
kalangan mahasiswa, pekerja, Aparatur Sipil Negara (ASN). Dalam pernyataan yang
diungkapkan Juru Bicara Menteri Pertahanan Dahnil Anzar Simanjuntak
sebagaimana dilansir Kompas.com, Komcad yang dibutuhkan 25.000 orang dan akan
terbagi dalam 35 batalion yang berbeda. Mobilisasi Komcad diatur dalam Pasal
87 yang menjadi wewenang penuh dari Presiden berdasarkan persetujuan DPR. Kendati bersifat sukarela
tanpa paksaan, program yang berada dalam tanggung jawab Kementerian
Pertahanan tersebut sejak awal mendapatkan beragam kritikan. Sandrayati dari
Komnas HAM dan Gufron dari Imparsial mempersoalkan pemberlakuan Undang-Undang
(UU) Militer terhadap warga sipil yang akan berdampak pada pemenuhan HAM para
Komcad serta prioritas yang seharusnya diutamakan Kementerian Pertahanan
terkait peningkatan kualitas dan kuantitas alutsista (alat utama sistem
senjata) serta kesejahteraan prajurit. Tenggelamnya KRI
Nanggala-402 juga menjadi salah satu contoh bahwa pemerintah masih tampak
linglung dalam memberikan prioritas dalam membenahi alutsista TNI. Selain
masalah pemberlakuan UU Militer dan prioritas pemerintah dalam
masalah-masalah pertahanan, pemerintah perlu memerhatikan kembali lingkungan
strategis dalam urgensi rekrutmen Komcad. Lingkungan
strategis dan ancaman negara Sejak merdeka, lingkungan
strategis Indonesia terus berkembang dari posisi silang di antara Samudra
Hindia dan Samudra Pasifik dalam Wawasan Nusantara, sehingga secara otomatis
masuk dalam kawasan Indo-Pasifik. Indonesia beberapa tahun
ke belakang mencoba memperkenalkan kembali posisi penting dalam kawasan
Indo-Pasifik dengan dideklarasikannya Poros Maritim Dunia oleh Presiden Joko
Widodo pada tahun 2014. Posisi sentral Indonesia dalam sebuah lingkungan
strategis penuh konflik, membuatnya rentan akan ancaman-ancaman yang berasal
dari luar maupun dalam negeri. Dari luar negeri, klaim
sepihak China terhadap perairan Laut China Selatan berdasarkan Sembilan Garis
Putus (Nine Dashed Line), telah menggegerkan kawasan dengan mengajak negara tetangga
dalam sebuah klaim tumpang tindih. Berbeda dengan
negara-negara seperti Filipina, Malaysia, Vietnam, Kamboja, dan Brunei
Darussalam yang melayangkan protes terhadap China, Indonesia justru mengambil
sikap non-claimant state yang ditunjukkan dari pelbagai insiden yang
merongrong kedaulatan terhadap wilayah laut. Respons serius hanya
diutarakan ketika pihak luar memasuki wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE),
seperti dalam bentuk kunjungan Presiden Jokowi ke KRI Imam Bonjol pada 2016,
lantas KRI Usman Harun dan KRI Karel Satsuit Tubun tahun lalu, sebagai aksi
spontan untuk sekadar mengirim sinyalemen pada China agar tidak bermain-main
di Laut Natuna Utara milik Indonesia. Dari dalam negeri, kasus
terorisme yang terjadi di berbagai titik di Indonesia yang mengklaim sebagai
“sel-sel Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) yang masih hidup” dan
sisa-sisa kelompok Mujahidin Indonesia Timur di Poso, juga menambah deretan
ancaman di lingkungan strategis yang rentan. Belum lagi satu kelompok
yang baru saja dinaikkan statusnya dari Kelompok Kekerasan Bersenjata (KKB)
menjadi Kelompok Teroris oleh pemerintah melalui Menko Polhukam Mahfud MD,
yakni Operasi Papua Merdeka (OPM). Sebagai catatan, penetapan
status KKB OPM menjadi teroris mendapat penolakan dari pihak pemerintah
daerah di Papua karena berpotensi meningkatkan agresivitas pemerintah dan
pemberian stigma yang berakibat buruk pada hubungan masyarakat Papua dengan
Pemerintah Indonesia. Di era Revolusi Industri
Keempat, Indonesia juga dihadapkan dengan ancaman-ancaman dari dunia siber
yang tentu berbeda apabila dibandingkan dengan era-era di mana kekuatan fisik
diutamakan. Seperti serangan siber yang membuat Indonesia harus merelakan 15
juta data pengguna Tokopedia diretas pada tahun lalu dan 279 juta data BPJS
yang terdiri atas terjadi 20 Mei lalu. Kasus-kasus di atas
mengartikan pemerintah masih bimbang mendefinisikan ancaman negara yang
dijadikan “musuh bersama”, sehingga timbul pertanyaan serius siapa nantinya
musuh yang “dilawan” oleh Komcad? Strategi
kontekstual dan "up-to-date" Ada tiga catatan yang
dapat menjadi evaluasi dari pelaksanaan Komcad. Pertama, pemerintah dalam hal
ini Kementerian Pertahanan dapat menentukan secara jelas sasaran atau “musuh”
yang membuat negara urgen dalam mengadakan rekrutmen Komcad dengan
menyesuaikan dinamika zaman dan teknologi. Kedua, terdapat keperluan
mendesak untuk membagi secara jelas kebutuhan tiap matra (TNI Angkatan Darat,
Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Polri) mengingat definisi ancaman dan
peperangan telah berubah total dari ancaman yang tradisional pada
non-tradisional. Ketiga, dalam situasi
damai dan bukan darurat militer, pelaksanaan Komcad harus dievaluasi dengan
ketat. Pengalaman historis Indonesia selama lebih dari tiga dasawarsa
menunjukkan bahwa tekanan psikis-mental masyarakat sudah cukup dihantui
dengan keberadaan aparat berseragam yang hanya menunjukkan bahwa Komcad hanya
sebatas militerisasi sipil. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar