Politik
Pergantian Panglima TNI Al Araf ; Ketua Badan Pengurus Centra Initiative dan
Peneliti Senior Imparsial |
KOMPAS, 30 Juli 2021
Pergantian
panglima TNI dalam waktu dekat ini sepertinya akan dilakukan oleh Presiden
Joko Widodo. Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto akan memasuki masa pensiun
pada November 2021. Sesuai Undang-Undang No 34 Tahun 2004 tentang TNI, masa
dinas prajurit bagi perwira sampai usia paling tinggi 58 tahun (Pasal 53) . Beberapa
nama calon panglima TNI pengganti Hadi Tjahjanto telah beredar di publik dan
menimbulkan pro dan kontra beragam di masyarakat. Beberapa nama itu merupakan
sosok-sosok prajurit yang saat ini menduduki jabatan sebagai kepala staf
angkatan. Mereka
adalah Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Andika Perkasa, Kepala
Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Yudo Margono, dan Kepala Staf TNI
Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Fadjar Prasetyo. Politik pergantian Munculnya
nama-nama kepala staf angkatan dalam bursa calon panglima TNI merupakan
sesuatu yang wajar mengingat jabatan panglima dapat dijabat secara bergantian
oleh perwira tinggi aktif dari tiap-tiap angkatan yang sedang atau pernah
menjabat sebagai kepala staf angkatan (Pasal 13 Ayat 4 UU TNI No 34 Tahun
2004). Oleh
karena itu, setiap kepala staf angkatan memiliki peluang yang sama untuk
menduduki jabatan panglima TNI. Pertanyaannya adalah siapa kepala staf
angkatan yang akan ditunjuk oleh Presiden Jokowi untuk menduduki jabatan
panglima TNI nanti? Proses
penggantian Panglima TNI merupakan agenda yang bersifat rutin di tubuh TNI
demi berjalannya regenerasi dan reorganisasi TNI. Namun, pergantian panglima
TNI kali ini akan jauh lebih kompleks mengingat tantangan internal dan
eksternal yang makin beragam bagi TNI, dan tarik-menarik kepentingan politik
antarkelompok di lingkaran politik Jokowi akan memberi pengaruh dalam proses
penggantian panglima TNI ini. Posisi panglima TNI memiliki nilai yang
strategis sehingga dimensi politik yang memengaruhinya cukup besar terjadi. Secara
normatif, proses penggantian panglima TNI merupakan hak prerogatif Presiden.
Namun, berdasarkan UU TNI, calon panglima TNI yang dipilih Presiden wajib
mendapatkan persetujuan DPR (Pasal 13 Ayat 6 UU TNI). Calon
panglima TNI yang diajukan Presiden akan mengikuti uji kepatutan dan
kelayakan melalui proses di DPR, untuk kemudian ditetapkan dan dilantik oleh
Presiden. Akan tetapi, jika DPR tidak menyetujui calon panglima yang
diusulkan oleh Presiden, Presiden bisa mengusulkan satu orang calon lain
sebagai pengganti (Pasal 13 Ayat 7 UU TNI). Rentan politisasi Dalam
praktiknya, sejak UU TNI No 34 Tahun 2004 dibentuk, tidak pernah ada calon
panglima TNI yang diajukan Presiden ke DPR mendapatkan penolakan dari para
wakil rakyat itu. Hampir semua calon panglima TNI yang diajukan Presiden ke
DPR selalu diterima oleh parlemen. Lancarnya
proses penggantian panglima TNI di DPR tidak terjadi dalam ruang yang kosong,
tetapi diduga syarat dengan politik yang transaksional. Hal
itu terjadi pula dalam proses pemggantian kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia (Polri) yang juga memerlukan persetujuan dari DPR, yang diduga juga
kental dengan dimensi transaksionalnya. Proses
pengangkatan panglima TNI ataupun kepala Polri yang memerlukan persetujuan
DPR rentan politisasi. Dinamika di DPR merupakan proses politik yang membawa
pergantian panglima TNI dalam ruang politik sehingga tarik-menarik berbagai
kepentingan politik terjadi dalam persetujuan panglima TNI. Mekanisme
uji kelayakan dan kepatutan akhirnya hanya menjadi sebatas mekanisme
formalitas belaka sepanjang transaksi politik telah disepakati. Kondisi ini
tentu mengancam independensi TNI dan begitu pula Polri dalam pergantian
kepala Polri yang juga memerlukan persetujuan DPR. Hal
ini tentunya akan menjadi salah satu masalah dalam menciptakan TNI dan Polri
yang profesional mengingat campur tangan politik sejak awal sudah terjadi
dalam pergantian panglima TNI ataupun kepala, Polri. Selain
itu, proses politik di DPR dalam persetujuan panglima TNI ataupun kepala
Polri secara langsung dan tidak langsung akan menjadi salah satu hambatan
bagi parlemen untuk menjalankan fungsinya dalam melakukan pengawasan yang
efektif terhadap TNI ataupun Polri. DPR akan cenderung bersikap permisif jika
terjadi permasalahan atau penyimpangan di kedua institusi tersebut, yakni TNI
dan Polri. Persoalan
ini semakin rumit mengingat wajah politik Indonesia yang oligarki sehingga
proses penggantian panglima TNI hanya menjadi arena terbatas pertarungan
kepentingan elite politik dan bukan digunakan sebagai momentum untuk
memajukan kepentingan publik, semisal digunakan sebagai momentum untuk
mendorong proses reformasi ataupun transformasi TNI. Di
dalam sistem presidensial, sebaiknya pengangkatan panglima TNI ataupun kepala
Polri cukup melalui persetujuan Presiden saja tanpa memerlukan persetujuan
DPR. Jika
dalam mengangkat seorang menteri pertahanan atau menteri lainnya Presiden
tidak perlu mendapatkan persetujuan DPR, mengapa dalam penunjukan kepala
Polri dan panglima TNI harus melalui persetujuan DPR? Di masa mendatang,
otoritas politik perlu mengubah aturan-aturan yang terkait dengan mekanisme
pergantian panglima TNI ataupun pergantian kepala Polri. Rotasi panglima Berdasarkan
UU TNI No 34 Tahun 2004, posisi panglima TNI dapat dijabat secara bergantian
(Pasal 13 Ayat 4). Memang undang-undang tersebut tidak menggunakan kata
”wajib”, tetapi menggunakan kata ”dapat”, tetapi aturan tersebut sesungguhnya
menyiratkan kepada otoritas sipil untuk melakukan penggantian panglima TNI
secara bergantian. Pola
rotasi dalam pergantian panglima TNI itu tentu akan sangat baik jika
diterapkan untuk memperkuat soliditas dan konsolidasi di dalam organisasi
TNI. Pola rotasi ini penting diberlakukan guna menghindari rasa kecemburuan
dan ketidakadilan antar-angkatan mengingat di dalam organisasi TNI terdapat
tiga angkatan, yakni Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Tentu
dirasa tidak adil oleh angkatan tertentu jika posisi panglima TNI
terus-menerus didominasi oleh satu angkatan. Jika
mengacu pada pola rotasi, panglima TNI yang akan berpotensi menggantikan
Marsekal Hadi Tjahjanto berasal dari Angkatan Laut. Sebagaimana diketahui,
Hadi Tjahjanto berasal dari Angkatan Udara. Sebelumnya, Panglima TNI berasal
dari Angkatan Darat, yakni Jenderal Gatot Nurmantyo, dan sebelumnya lagi
berasal dari Angkatan Darat, yakni Jenderal Moeldoko. Dengan
demikian, KSAL Laksamana Yudo Margono memiliki peluang yang besar menjadi
panglima TNI jika Presiden menerapkan prinsip rotasi dalam pergantian
panglima TNI. Sementara
itu, jika melihat masa usia pensiun, masa pensiun yang paling lama adalah
KSAU Marsekal Fadjar Prasetyo yang akan memasuki pensiun kurang lebih tiga
tahun lagi (tahun 2024). Kedua,
KSAL Yudo Margono yang akan memasuki pensiun kurang lebih dua tahun lagi
(tahun 2023). Dan ketiga, KSAD Jenderal Andika Perkasa yang akan memasuki
masa pensiun kurang lebih satu tahun lagi (tahun 2022). Jika
melihat dari masa pensiun, KSAU Fadjar Prasetyo dan KSAL Yudo Margono
memiliki peluang besar menjadi panglima meski KSAD Andika Perkasa juga
memiliki peluang walaupun pensiunnya satu tahun lagi, mengingat tidak ada
indikator masa pensiun dijadikan syarat dalam pergantian panglima TNI. Meski
pergantian panglima TNI perlu mempertimbangkan pola rotasi, calon panglima
TNI baru juga perlu dinilai rekam jejaknya, baik terkait dengan kinerja
maupun kompetensinya. Calon panglima TNI adalah calon panglima yang bebas
dari persoalan korupsi dan kasus pelanggaran HAM. Lebih
lanjut, proses penggantian panglima TNI semestinya dapat digunakan sebagai
momentum untuk mendorong agenda reformasi dan transformasi TNI. Dalam konteks
itu, Presiden diharapkan dapat memilih calon panglima TNI yang memiliki
komitmen terhadap agenda reformasi dan transformasi TNI. Selain
itu, kondisi pandemi Covid-19 yang hingga kini belum berakhir memang
membutuhkan upaya penanganan yang serius oleh pemerintah. Meski demikian,
pergantian panglima TNI di tengah situasi tersebut tetap harus diletakkan
dalam koridor yang semestinya. Adalah tidak tepat jika konteks pandemi
digunakan sebagai alasan untuk mengunggulkan salah satu matra dalam proses
penentuan panglima TNI. Presiden
tetap perlu berpijak pada pola rotasi dalam pergantian panglima TNI dengan
terlebih dahulu mengecek ulang rekam jejak calon. Presiden perlu menghindari
pertimbangan-pertimbangan yang bersifat politis dalam pemilihan panglima TNI
karena akan berdampak pada konsolidasi, soliditas, dan profesionalisme TNI
itu sendiri. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar