Pengawasan
dan Hegemoni Organisasi Masyarakat Sipil Firdaus Cahyadi ; Executive Director OneWorld-Indonesia |
KOMPAS, 30 Juni 2021
Beberapa hari terakhir ini
di media sosial muncul perdebatan terkait pengawasan organisasi masyarakat
sipil Indonesia. Perdebatan itu bermula dari unggahan salah seorang dosen
Universitas Indonesia, Ade Armando, di akun media sosialnya tentang
pembentukan organisasi Civil Society Watch. Menurut Ade Armando, salah satu
problem Indonesia ialah perlu adanya masyarakat sipil yang berintegritas,
kritis, dan kuat agar jangan gampang dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok
tertentu, baik pemodal maupun politik. Argumen dasar pembentukan
Civil Society Watch itu adalah semua kekuasaan perlu dikontrol. Negara perlu
dikontrol, pemerintah perlu dikontrol, tapi kelompok-kelompok masyarakat
sipil pun juga perlu dikontrol. Argumen itu kemudian mendapat tentangan dari
sebagian aktivis organisasi masyarakat (ormas) sipil. Sebagian aktivis justru
mempertanyakan, siapa yang memberikan mandat Civil Society Watch untuk
mengawasi ormas sipil? Siapa nanti yang akan mengawasi Civil Society Watch
itu? Bahkan, sebagian aktivis mempertanyakan, jangan-jangan Civil Society
Watch adalah kepanjangan tangan pemerintah untuk membungkam kebebasan sipil. Untuk melihat secara
jernih polemik mengenai pengawasan ormas sipil itu kita harus terlebih dahulu
paham apa sejatinya yang disebut masyarakat sipil itu? Tanpa memahami apa
sejatinya masyarakat sipil, perdebatan tentang perlu tidaknya pengawasan
masyarakat sipil hanya akan menghasilkan debat kusir yang tak berujung. Menurut filsuf dan
teoritikus politik Italia, Antonio Gramsci, masyarakat sipil adalah ruang
relasi antarkelompok yang tidak dilakukan dengan cara koersi. Pengertian
koersi di sini adalah praktik memaksa dari pihak lain untuk berperilaku
sesuai dengan keinginan mereka dengan menggunakan ancaman, imbalan,
intimidasi, atau bentuk lain dari tekanan atau kekuatan. Gramsci menilai, dalam
masyarakat sipil, terjadi proses hegemoni oleh kelompok-kelompok dominan.
Hegemoni menurut Gramsci adalah menguasai dengan kepemimpinan moral dan
intelektual secara konsensus alias tanpa tindakan koersi. Melalui hegemoni
inilah pihak yang dominan membujuk masyarakat beserta pranata-pranata untuk
taat pada mereka. Proses hegemoni biasanya dilakukan oleh pranata masyarakat
sipil (civil society) melalui lembaga-lembaga masyarakat, seperti ormas
sipil. Dengan berpijak pada
prespektif Gramsci ini, kita dapat melihat bahwa ormas sipil bukan sebuah
entitas yang bebas nilai. Ormas sipil adalah medan pertarungan kekuatan
ekonomi-politik untuk melakukan hegemoni. Dalam konteks inilah pengawasan
terhadap ormas sipil justru merupakan keniscayaan. Ormas sipil yang telah
terhegemoni oleh kekuasaan ekonomi-politik tertentu akan mengawasi, bahkan
dalam beberapa kejadian juga berkonflik, dengan ormas sipil yang
berseberangan. Di beberapa daerah di
Indonesia, misalnya, beberapa ormas sipil lingkungan hidup, yang telah terhegemoni
dengan pemikiran eco-fascism, bukan lagi saling mengawasi, melainkan juga
sudah terlibat konflik terbuka dengan ormas sipil lingkungan hidup lain, yang
telah terhegemoni ide eco-populism. Pemikiran pengelolaan
lingkungan ala eco-fascism menempatkan kelestarian lingkungan untuk
lingkungannya itu sendiri. Menurut paham tersebut, lingkungan atau sumber
daya alam kalau perlu harus ”dimurnikan” dari masyarakat yang telah
turun-temurun mendiami kawasan tersebut demi menjaga kelestarian
lingkungan/sumber daya alam itu sendiri. Sementara pemikiran eco-populism
menempatkan konservasi lingkungan untuk kesejahteraan masyarakat. Jargon
ormas sipil yang mengadopsi pemikiran ini, yang paling terkenal, misalnya
”hutan untuk rakyat”, ”laut untuk rakyat”, dan sebagainya. Saling
mengawasi Merujuk pada pengertian
Gramsci dan praktik-praktik di lapangan, maka ada atau tidak ada Civil
Society Watch, seperti yang digagas Ade Armando, ormas sipil yang berbeda
pandangan akan selalu saling mengawasi. Jadi, pengawasan terhadap ormas sipil
tidak perlu terlalu ditakutkan akan memperlemah ormas sipil yang pada
ujungnya akan membunuh demokrasi. Dalam konteks Indonesia,
faktor yang memperlemah ormas sipil bukanlah soal pengawasan, melainkan
ketergantungan pendanaan ormas sipil terhadap lembaga donor internasional.
Sebagian ormas sipil Indonesia memang sudah melakukan kegiatan fundraising
untuk melepas ketergantungan dari lembaga donor internasional. Namun, komposisi pendanaan
lembaga donor internasional masih cukup dominan dalam operasionalnya. Dengan
dominasi itu, sejatinya yang selama ini secara nyata telah mempraktikkan
kontrol dan pengawasan terhadap ormas sipil Indonesia adalah lembaga donor
internasional. Lembaga-lembaga donor
internasional juga bukanlah sebuah institusi yang bebas nilai. Mereka membawa
nilai-nilai, bahkan kepentingan ekonomi-politik yang mereka anggap benar.
Melalui pendanaan yang mereka salurkan ke ormas sipil Indonesia, mereka
menyebarluaskan nilai-nilai dan kepentingan ekonomi-politik mereka. Dengan
kata lain, melalui pendanaan itu, mereka juga melakukan hegemoni terhadap
ormas sipil yang ada di Indonesia. Dalam konteks ini, yang
perlu segera dilakukan oleh ormas sipil Indonesia bukan menakutkan adanya
pengawasan pihak lain yang berseberangan, melainkan sesegera mungkin memutus
ketergantungan pendanaan terhadap lembaga donor internasional. Memutus
ketergantungan terhadap lembaga donor internasional bukan saja berkaitan
dengan kesehatan keuangan organisasi, melainkan juga upaya counter hegemoni.
Bagaimanapun konteks sosial, budaya, ekonomi, dan politik Indonesia berbeda
dengan negara-negara tempat lembaga donor internasional itu berada. Hegemoni lembaga-lembaga
donor internasional yang terlalu dalam akan membuat ormas sipil tersebut
tidak relevan dalam konteks Indonesia. Ketika ormas sipil sudah tidak
relevan, maka itu adalah langkah awal bagi kematiannya. Ketika ormas sipil
Indonesia berguguran, saat itulah demokrasi di negeri ini tumbang. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar