Jalan
Berliku Parpol Baru Zennis Helen ; Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Ekasakti, Padang |
KOMPAS, 30 Juni 2021
Perubahan UUD 1945 yang
dilangsungkan sejak 1999 hingga 2002 diikuti juga dengan perubahan regulasi
yang mengatur tentang partai politik, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2011 tentang Partai Politik. Perubahan hukum dasar dan UU Parpol itu
membuat pembentukan parpol baru tidak lagi mudah. Saat ini butuh proses yang
panjang dan berliku dalam membentuk parpol baru. Parpol sebagai organ utama
demokrasi harus menjadi badan hukum yang terdaftar di Kementerian Hukum dan
HAM. Agar berbadan hukum, parpol harus mempunyai akta notaris, nama, lambang
atau tanda gambar yang tidak boleh sama dengan partai politik lain,
kepengurusan pada setiap provinsi dan paling sedikit 75 persen dari jumlah
kabupaten/kota pada provinsi yang bersangkutan dan paling sedikit 50 persen
dari jumlah kecamatan pada kabupaten/kota yang bersangkutan, kantor tetap
pada tingkatan pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan rekening parpol (Pasal 3
UU No 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik). Segala persyaratan di atas
dibebankan kepada parpol agar diakui sebagai badan hukum di kementerian dan
ini belum menjadi persyaratan menjadi peserta pemilu. Kita yakin tiga parpol
pendatang baru dalam belantika politik nasional saat ini, yakni Partai Gelora
Indonesia, Partai Ummat, dan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima), sudah
terdaftar sebagai badan hukum dan sudah memenuhi persyaratan pembentukan
parpol yang disyaratkan UU. Seluruh persyaratan itu
harus dilengkapi apabila parpol ingin dicatat sebagai sebuah organisasi yang
berbadan hukum di republik ini. Melihat itu, persyaratan membentuk parpol
tidaklah mudah dan membutuhkan tenaga, pikiran, dan uang yang tidak sedikit.
Akibatnya, orang-orang yang membentuk parpol hanya orang-orang tertentu saja
yang tak saja mempunyai jaringan yang banyak, tetapi juga modalitas yang tak
sedikit. Tulisan ini hendak menyigi
dua hal penting. Pertama, apa lagi yang dilakukan parpol agar ia benar-benar
menjadi peserta pemilu? Kedua, apa tantangan parpol baru untuk mendapatkan
kursi di parlemen? Dua pertanyaan di atas sangat penting dijawab. Sebab,
sesuatu yang berbeda parpol menjadi peserta pemilu dan parpol memperoleh
kursi di parlemen. Kendati parpol sudah menjadi peserta pemilu, belum tentu
ia menjadi parpol yang ada di parlemen (baca: peserta parlemen). Ujian
pertama Kendati parpol sudah
dinyatakan sebagai organisasi berbadan hukum, untuk menjadi peserta pemilu,
ia harus lulus ujian pertama, yakni verifikasi administratif dan faktual yang
diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) di berbagai tingkatan. Di tingkat
pusat, parpol diverifikasi oleh KPU pusat, di tingkat provinsi oleh KPU
provinsi, dan tingkat kabupaten/kota, kecamatan, dan lurah oleh KPU
kabupaten/kota. Pada Pemilu 2024 mendatang, parpol baru akan menghadapi dua
jenis verifikasi itu dan termasuk parpol nonparlemen yang telah diverifikasi
untuk menghadapi Pemilu 2019. Ini berdasarkan putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 55/PUU-XVIII/2020 yang pada pokoknya
menyatakan bahwa parpol baru dan parpol nonparlemen harus mengikuti dua jenis
verifikasi di atas. Mahkamah Konstitusi memperlakukan secara berbeda antara
parpol parlemen dan parpol nonparlemen. Parpol parlemen yang telah lolos
ambang batas parlemen 4 persen dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum itu hanya mengikuti verifikasi administratif dan tidak lagi mengikuti
verifikasi faktual. Aneh memang. Karena dua
jenis verifikasi itu saling berkaitan. Verifikasi faktual sesungguhnya adalah
lanjutan dari verifikasi administratif untuk mengecek kebenaran
dokumen-dokumen parpol. Organisasi parpol bersifat dinamis dan bukan statis.
Ia selalu bergerak dari waktu ke waktu. Misalnya, ketika ada konflik internal
di parpol, dan kemudian muncul parpol pecahan baru, bisa saja ada kader
parpol pindah dari parpol lama ke parpol baru. Ini mengakibatkan struktur
keanggotaan parpol pun mengalami perubahan. Akan tetapi, MK dalam
putusannya tidak mempertimbangkan ini. Banyak kalangan yang berpandangan
bahwa putusan MK ini janggal dan berubah dari putusan-putusan sebelumnya.
Akan tetapi, yang namanya putusan, apalagi putusan lembaga pengawal
konstitusi itu, bersifat final dan mengikat dan tidak ada upaya hukum untuk
menantangnya. Putusan itu harus dihormati karena sejak dibacakan dalam
persidangan yang terbuka untuk umum sudah mempunyai kekuatan mengikat umum
dan sudah berkekuatan hukum tetap. Putusan itu tidak bisa dibatalkan melalui
mekanisme banding, kasasi, dan peninjauan kembali (PK). Ujian
kedua Setelah ujian pertama
berhasil dilewati oleh parpol baru, jika pada ujian pertama lolos, ia
diberikan rapor sebagai parpol peserta pemilu. Sudah cukupkah sampai di situ?
Tentu saja belum. Jika ditanya dalam hati parpol, ia tidak akan puas jika
hanya menjadi peserta pemilu, tentu ia berharap naik kelas, yakni ingin
menjadi parpol peraih kursi di DPR. Untuk meraih itu, parpol harus lolos
ujian kedua, yakni lolos ambang batas parlemen sebesar 4 persen sebagaimana
diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017. Ambang batas ini diukur dengan cara
menghitung jumlah suara yang diperoleh parpol bersangkutan secara nasional. Akhirnya, Pemilu 2019
menjadi tahun mencekam bagi parpol baru. Banyak yang tidak lolos pada ujian
kedua ini. Penyebabnya adalah kejamnya ambang batas parlemen ini. Ia sudah
banyak memakan korban. Taringnya yang tajam tidak saja merobek parpol baru,
tetapi juga merobek parpol lama yang sudah pernah ikut pemilu dan meraih
kursi parlemen. Inilah ujian terberat bagi parpol, dan beratnya ujian ini,
saking menunjukkan pembentukan parpol baru memang berliku. Wallahualam. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar