Mussolini,
Franco, dan Sepak Bola Trias Kuncahyono ; Penikmat Sepak Bola |
KOMPAS, 6 Juli 2021
I Benito Mussolini dan
Francisco Franco sama-sama tidak suka sepak bola. Mussolini,
pemimpin fasis Italia (1922-1943) tidak tertarik. Jenderal fasis
Spanyol, Franco, lebih suka nonton film di istana El Pardo ketimbang nonton sepak bola. Tetapi, kata
penulis biografinya, Paul Preston,
Franco pernah dua kali memasang taruhan sepak bola dengan nama samaran
Francisco Cofran. Dan, menang. Kata Preston, Franco lebih
suka menandatangani hukuman mati daripada bermain sepak bola atau menonton
laga. Meskipun tidak menyukai sepak bola, Il Duce, sebutan untuk Mussolini,
dan El Caudillo, sapaan Franco—kedua kata itu berarti pemimpin—tahu persis
kekuatan sepak bola. Sepak bola dapat memberikan pengaruh yang luar biasa. Mereka paham betul
kekuatan sepak bola bagi kepentingan politik. Sepak bola punya kekuatan
menyatukan orang-orang dari beragam komunitas, latar belakang, dan
kepercayaan berbeda—baik melalui
kecintaan terhadap olahraga itu sendiri maupun budaya yang muncul darinya.
Namun, saat yang sama, sejarah sepak bola adalah sejarah persaingan dan
oposisi. Mussolini dan Franco,
memahami benar bahwa sepak bola adalah olahraga massa. Tidak hanya melibatkan
para pemain di tengah lapangan, juga pendukung di tribune—sering disebut
sebagai orang ke-12 dalam permainan—dan kedua pemimpin fasis itu dengan cepat
memahami hal ini. II Kata Bill Murray dalam The
World’s Game: A History of Soccer (1996), Mussolini bukanlah pemimpin pertama
yang mengenali potensi politik olahraga. Tetapi, Mussolini-lah yang pertama
memanfaatkannya. ”Rezim Fasis Mussolini adalah yang pertama menggunakan
olahraga sebagai bagian integral dari pemerintahan.” Hal ini lalu ditiru
Franco, juga Hitler. Maka itu, pada tahun 1934,
Italia menyediakan diri menjadi tuan rumah Piala Dunia. Inilah kesempatan bagi Mussolini
untuk menunjukkan kebesaran bangsanya. Dia yakin, hasil akhir pertandingan
bukan ditentukan di tengah lapangan. Tetapi,
di tangannya. Italia berhasil melaju sampai ke final. Sebelum final, Mussolini
mengundang wasit Ivan Eklind dari Swedia. Hasil akhir Italia mengalahkan
Cekoslovakia 2-1. Italia juara dunia. Yang lebih penting, mereka memenangi
Piala Dunia di negeri sendiri. Popularitas Mussolini dan fasisme terdongkrak,
tidak hanya di Italia tetapi juga dunia. Empat tahun kemudian, pada
Piala Dunia 1938 di Perancis, Italia kembali memenanginya. Dua tahun
sebelumnya, tim sepak bola Italia memenangi Olimpiade Berlin 1936. Tak pelak
lagi, ini kemenangan politik Mussolini. Sepak bola pendorong risorgimento
(penyatuan) bangsa Italia, baik yang di dalam maupun di luar ngeri. Mereka
bergerak mewujudkan persatuan Italia di bawah kepemimpinan Mussolini, yang
telah menyiasati sepak bola sebagai pemersatu. Pada Piala Dunia 1938, Spanyol absen karena negeri itu
dilanda perang saudara. Perang antara Kaum Republiken Kiri dan Pasukan
Nasionalis pimpinan Jenderal Franco. Mussolini dan Hitler mengirim bantuan
membantu Franco. Kaum Republiken Kiri
berpusat di Catalonia, tempat klub Barcelona berada. Dari sinilah, nantinya
permusuhan antara Real Madrid dan Barcelona bermula dan menjadi-jadi. Franco seperti Mussolini
menggunakan sepak bola sebagai kekuatan mendapatkan kembali perhatian global.
Sepak bola juga digunakan untuk membantu mengonsolidasikan kekuasaan. Franco
juga menggunakan sepak bola untuk mengalihkan perhatian rakyatnya dari
kebobrokan rezimnya serta kemerosotan ekonomi. Dia lalu menjadikan Real
Madrid sebagai personifikasi sempurna
dari kepemimpinan fasisnya. Dia dengan cerdik melihat, dengan mendukung Real
Madrid, akan mampu menekan Barcelona, simbol kebanggaan Catalan yang dianggap
memberontak. Permusuhan Real Madrid dan Barcelona dijadikan sarana
meningkatkan kekuasaannya. III Sekarang zaman sudah
berubah. Tetapi, sepak bola tetap menjadi bahasa universal yang digunakan
oleh politisi untuk berkomunikasi dengan massa penggemar. Juga di Italia dan
Spanyol. Sepak bola bagi orang
Italia adalah segala-galanya. Maka hari Minggu adalah hari sepak bola. Sepak
bola adalah kebanggaan nasional. Kekalahan bagi mereka berarti runtuhnya
kebanggaan mereka. Maka pertemuan mereka
melawan Spanyol, yang sering disebut sebagai “Derby Mediterania” nanti, adalah sebuah pertaruhan nasional.
Apalagi, Italia tak terkalahkan dalam 32 pertandingan sejak terakhir kali
kalah dari Portugal pada laga Liga Nasional, 11 September 2018. Karena itu,
kekalahan dari Spanyol adalah tragedi negeri yang baru bangkit dari pandemi
Covid-19 yang demikian dahsyat. Bagi Spanyol, kemenangan
atas Italia adalah harga mati. Sebab, kata Vicente Del Bosque, mantan
pelatih tim nasional, sepak bola
adalah lokomotif semua hal, kehidupan di Spanyol. Orang Spanyol selalu mengatakan,
sepak bola adalah olahraga yang
menyatukan, karena penggemar dari tim yang sama bisa kaya atau miskin, bos
atau karyawan, konservatif atau liberal… Dan, di negara yang penuh dengan individualis
hebat, sepak bola adalah satu-satunya hal yang bisa di sepakati. Hal itu pula yang
disepakati oleh Mussolini dan Franco, dulu. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar