Mewujudkan
Islam yang Toleran Ulil Abshar-Abdalla ; Cendekiawan Muslim dan Dosen Pascasarjana di
Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Jakarta |
KOMPAS, 2 Juli 2021
Perkembangan menarik
berlangsung sekitar 10 hingga 20 tahun terakhir dalam percakapan Islam di
Indonesia. Yaitu, munculnya kesadaran tentang pentingnya identitas keislaman
yang khas di kawasan ini vis-a-vis Islam yang dibentuk oleh budaya Arab atau
Timur Tengah. Kesadaran ini, dugaan
saya, adalah bagian dari bangkitnya gejala ”politik identitas” dalam arti
luas di seluruh dunia dalam periode pasca-Perang Dingin. Perkembangan ini
semacam echo dari perkembangan serupa di dunia luar. Dengan mengatakan ini,
bukan berarti saya menolak aspek ”organis” di dalamnya. Artinya, saya tetap
mengakui bahwa perkembangan ini toh ditentukan juga oleh dinamik kebudayaan
yang berlangsung di kawasan Indonesia sendiri, tak semata-mata didikte oleh
echo atau pengaruh dari luar. Mungkin pandangan yang lebih adil adalah
melihat perkembangan ini sebagai resultante, hasil dari jadaliyyah,
dialektik, hubungan dua belah pihak antara pengaruh luar dan dinamika dari
dalam negeri sendiri. Secara ”epistemologis”,
saya memang kurang menggemari cara pandang yang melihat semua hal yang
berlangsung di ”dalam” negeri sebagai semata-mata ”gaung” saja dari pengaruh
”luar”, seolah-olah (sebut saja) ”bangsa pribumi” tidak punya ”agency”,
kendali, dan otonomi dalam ”menciptakan” sejarahnya sendiri. Setiap peristiwa
sejarah, di mana pun, pasti merupakan hasil dari pertemuan antara ”kehendak
subyektif” dan ”kenyataan obyektif” yang berdiri di luar sana. Kembali kepada pokok soal
tadi: munculnya kesadaran tentang pentingnya menegaskan identitas keislaman
yang khas Indonesia/Melayu ini, antara lain melalui wacana tentang ”Islam
Nusantara”, jelas ada kaitannya dengan perkembangan dalam negeri kita
sendiri. Banyak perkembangan
domestik yang bisa disebut, tetapi salah satu yang penting adalah ini:
munculnya kelompok-kelompok Islam baru, umumnya setelah era Reformasi, di
bawah pimpinan sosok-sosok ”habaib” (tentu saja keturunan Arab) dan membawa
pemahaman Islam yang cenderung ”keras” dan kontradiktif dengan corak Islam
yang sudah mapan dan mengakar di Indonesia. Corak Islam yang
berkembang dan mengakar di Indonesia digambarkan sebagai bentuk yang lebih
mempribumi; mampu beradaptasi, bahkan berasimilasi dengan kebudayaan lokal.
Islam semacam ini lebih ”rooted”, menghunjam dalam di dalam pengalaman
setempat, bukan Islam yang ”dipaksakan” dari luar. Munculnya
kelompok-kelompok Islam ”baru” yang cenderung keras itu dipandang sebagai
”bentuk asing” yang tidak bersahabat dengan kultur lokal. Karena itu, ia
cenderung dilihat sebagai ”ancaman” atas Islam yang khas Indonesia.
Polarisasi Islam Arab vs Islam non-Arab yang muncul dalam percakapan publik
belakangan adalah gambaran saja dari perkembangan ini. Kehendak menegaskan
”identitas setempat” kemudian menciptakan ”yang lain” yang dipandang sebagai
ancaman. Tulisan ini saya
ketengahkan sebagai tinjauan kritis atas perkembangan tersebut. Di satu
pihak, saya menyambut baik munculnya kesadaran tentang identitas Islam yang
khas Indonesia. Namun, di pihak lain, saya agak kurang ”sreg” dengan sentimen
yang cenderung anti-Arab yang tampaknya merupakan ekses dari bangkitnya
kesadaran semacam itu. Saya menyambut positif
yang pertama, seraya kurang menyetujui yang kedua. Sentimen anti-Arab jelas
bukanlah perasaan yang sehat. Sebab, hal ini tak lain adalah sebentuk
prasangka sosial yang ”derisive”, merendahkan kelompok lain. Ini adalah
bentuk dari sikap ”otherizing”, melainkan yang-lain yang pernah dikritik
keras oleh intelektual besar asal Palestina, Edward Said, dalam karyanya yang
masyhur, Orientalism. Identitas
Islam Bangkitnya kesadaran
tentang identitas Islam yang khas Indonesia, bagi saya, perlu disambut dengan
baik setidaknya karena dua alasan. Pertama, ada kecenderungan selama ini
untuk melihat Islam yang ”murni” adalah Islam sebagaimana hadir dalam
”bungkus” kebudayaan Arab. Bentuk-bentuk Islam yang lain dianggap kurang
”murni”, tidak otentik, dan karena itu dipandang ”less Islamic”.
Praktik-praktik Islam yang ada di dan khas Indonesia dianggap kurang sesuai
dengan ajaran ortodoks Islam. Lebih jauh lagi ada asumsi
”tersembunyi” bahwa Islam yang layak ”diamati” dan diperhatikan, ya, hanya
Islam yang ada di Timur Tengah. Islam yang ada di kawasan Nusantara adalah
”Islam pinggiran” yang secara ontologis memiliki kedudukan yang lebih
”rendah”. Pandangan semacam ini bahkan
juga ada di kalangan sarjana Barat yang mengkaji Islam (biasa disebut sebagai
”Islamisis”). Hingga sekarang ini, masih sulit kita jumpai pusat kajian
tentang ekspresi Islam di kawasan Nusantara di dunia akademi di Barat.
Kalaupun ada, jumlahnya masih kalah jauh dibandingkan dengan pusat-pusat
kajian yang mengkaji corak Islam di dunia Arab. Departemen yang mengkaji
pokok ini biasa disebut NELC, Near Eastern Languages and Civilizations. Di dunia Arab, pusat
kajian semacam ini nyaris nihil, seolah-olah di mata sarjana Arab, Islam yang
ada di Indonesia dianggap ”non-existent”, tidak ada sama sekali. Saya sebenarnya memendam
kejengkelan yang mendalam atas absennya perhatian pada corak Islam yang
berkembang di Indonesia atau Asia Tenggara di kalangan para sarjana Arab ini.
Bagi saya, ini menandakan adanya ”cacat epistemologis” dalam praktik keilmuan
dan kesarjanaan mereka. Sementara sarjana Muslim
Indonesia sangat bersemangat mengkaji Islam Arab, perhatian serupa tak ada
dari pihak sarjana-sarjana Timur Tengah. Tidak ada minat yang resiprokal;
ibarat cinta yang bertepuk sebelah tangan! Islam
Nusantara Hadirnya wacana Islam
Nusantara, bagi saya, memiliki kedudukan penting dari aspek penegasan
”agency”, kemandirian umat Islam yang hidup di luar ”ruang pengalaman”
non-Arab untuk mendefinisikan keislaman mereka sendiri. Selama ini,
pengalaman semacam ini cenderung dinihilkan, diremehkan. Kesadaran tentang
identitas Islam yang khas Indonesia (atau Asia Tenggara) adalah semacam
manifesto: bahwa ada lho corak Islam yang lain. Yang lebih penting lagi
adalah kesadaran bahwa corak Islam yang demikian itu juga tidak kalah
validnya dengan corak Islam di negeri asalnya sendiri. Munculnya penolakan
keras atas apa yang disebut ”ideologi Islam trans-nasional” yang digaungkan
intelektual nahdliyyin dan lain-lain 10 tahun terakhir, bagi saya, adalah
ungkapan saja dari sebuah aspirasi bahwa Islam yang berasal dari pengalaman
”pribumi” setempat adalah valid, sah. Akan tetapi, segala
sesuatu cenderung memiliki ekses. Ini kecenderungan yang saya pandang alamiah
dan manusiawi. Namun, karena mengandung bahaya, tetap harus dikritik. Ekses itu ialah munculnya
semacam ”rasisme tersembunyi” terhadap bangsa Arab dan segala ekspresi
kultural yang berwarna Arab. Saya kira, salah satu sebabnya
adalah ini: wacana Islam lokal ini hadir ke tengah-tengah publik sebagai
bagian dari kontestasi politik, sebagai (sebut saja) salah satu ”kubu” dalam
pertarungan antara apa yang disebut ”kubu kebinekaan” dan ”kubu
pro-Pancasila”. Secara populer, hadirnya dua kubu ini ditandai dengan
polarisasi biner antara ”kadrun” versus ”cebong”. Dalam hal ini, kita
menyaksikan betapa toksik dan beracunnya politik elektoral dalam membentuk
opini publik. Menurut saya, ini racun yang harus segera dihentikan dan dicari
antidote-nya. Saya setuju dengan hadirnya wacana Islam yang khas budaya
lokal, tetapi saya tidak bisa mengamini sentimen anti-Arab yang menyertainya.
Saya mulai melihat sentimen ini muncul ke tengah-tengah percakapan publik,
baik dalam konteks yang populer di media sosial atau yang serius di dunia
akademia. Sentimen semacam ini jelas sangat tidak sehat. ”Demonisasi” Menarik garis demarkasi
yang terlalu tegas antara ”Islam domestik” dan ”Islam impor”, sebagaimana
kita baca dalam seloroh-seloroh populer, harus dipandang dengan sikap kritis. Mula-mula garis ini dibuat
dengan niat yang boleh jadi valid: untuk menegaskan validitas identitas Islam
lokal. Akan tetapi, jika penggarisan ini melewati batas, lalu menimbulkan
sentimen negatif untuk melakukan ”demonisasi”, penghantuan atas segala hal
yang berasal dari ”luar” (Islam atau agama impor, misalnya), jelas berbahaya. Bagaimanapun, Islam, baik
sebagai doktrin atau peradaban, tidak bisa dipisahkan dari pengalaman panjang
yang berkembang di tanah Arab dan sekitarnya. Peradaban literer atau susastra
dalam bentuknya yang luas, termasuk buku-buku fikih yang banyak diajarkan di
lembaga-lembaga Islam di seluruh tanah Nusantara, berasal dari dan ditulis
oleh sarjana-sarjana besar dari Arab (juga Persia). Suka atau tidak suka, apa
yang disebut ”lapisan-lapisan geologis” (meminjam istilah sejarawan besar
Perancis, Denys Lombard) dalam peradaban Nusantara untuk sebagian dibentuk
oleh peradaban tekstual yang berasal dari tanah Arab. Peradaban ini telah
memperkaya tekstur peradaban di tanah Nusantara. Sekali lagi, menegaskan
identitas Islam setempat patut disambut dengan baik. Akan tetapi, penegasan
identitas yang dibarengi dengan sikap anti-Arab jelas tidak sehat. Seluruh
percakapan dan argumentasi keislaman yang dipakai dalam menjustifikasi
hadirnya Islam lokal ini memakai kitab-kitab dan literatur yang berasal dari
peradaban Islam yang berkembang di Timur Tengah. Bahkan, argumen untuk
menerima eksistensi negara Indonesia sebagai ”dar al-salam/dar al-’ahd”,
negara damai yang tak mengenal pembedaan antara warga Muslim dan non-Muslim,
juga hampir semuanya bersumber pada literatur yang ditulis sarjana Arab.
Jadi, amat ironis jika identitas keislaman lokal ini ditegakkan sambil
mencibir kearaban. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar