Sabtu, 10 Juli 2021

 

Menyemai Benih Kebangsaan Pendidikan Tamansiswa

Ki Darmaningtyas ;  Pengurus Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa (PKBTS)

KOMPAS, 3 Juli 2021

 

 

                                                           

Tanggal 3 Juli sebetulnya merupakan salah satu tonggak sejarah pendidikan nasional, karena pada tanggal 3 Juli 1922 itu, Soewardi Soerjaningrat yang kemudian berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara mendirikan sekolah baru yang terbuka untuk dimasuki oleh semua golongan dan diajar oleh guru- guru dari bangsa sendiri.

 

Sekolah tersebut kemudian dikenal dengan Perguruan Tamansiswa. Dipilih sebutan “perguruan” dan bukan “sekolah” karena maknanya memang berbeda dengan sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial.

 

“Perguruan” dari kata paguron (Jawa), berasal dari perkataan 'guru' (leeraar, teacher). Arti harfiah dari perguruan ialah tempat, di mana guru tinggal. Orang pun dapat mengambil asalnya dari perkataan "berguru' (meguru, Jawa), yaitu belajar, maka pada perkataan itu dapat dilekatkan pengertian: pusatnya studi. Perkataan peguron juga sering mendapat arti 'ajarannya itu sendiri', yaitu di mana pribadi guru itu merupakan unsur terkemuka, maka dengan ini paguron berarti: haluan yang dianut.

 

Ketiga makna peguron tersebut dipakai oleh insan Tamansiswa karena mereka menghendaki pusat studi, dengan haluan yang lebih dulu ditentukan, dan sekaligus juga rumah guru. Menurut KHD, jenis rumah merangkap sekolah, tidak sama dengan sekolah pondokan, di mana sifat kekeluargaan sering kali terdesak dan sedikit sekali hubungan kekeluargaan antara murid dengan direktur, yang biasanya komandan yang amat ditakuti (Pendidikan: 56-58).

 

Pilihan pada bentuk kelembagaan “paguron” ini, menurut sejarawan Abdurrahman Surjomihadjo, karena Tamansiswa mencari semangat dari pondok pesantren. Oleh karena paguron, maka panggilan untuk guru disebut “pamong”. Ini selaras dengan sistem yang dikembangkan, yaitu sistem among, yang berarti mengabdi dengan membimbing. Ki Mangoen Sarkoro menggambarkan seperti hubungan seorang pengasuh dengan anaknya, atau dalam pewayangan seperti antara punakawan Semar dengan Arjuna, bukan relasi antara majikan dan pekerja.

Dorongan Istri

 

Dalam sistem among ini unsur asah, asih, dan asuh amat kuat untuk mengantarkan agar anak-anak dapat tumbuh dan berkembang jiwa kemerdekaannya. Ini sejalan dengan konsep pendidikan yang menumbuhkan cipta (logika), rasa (seni, filsafat, sastra) dan karsa (perbuatan). Oleh karena sekolah itu sebagai paguron dan gurunya menjadi pamong, maka muridnya beraktivitas di taman sesuai tingkat usia mereka, seperti Taman Indria (TK), Taman Muda (SD), Taman Dewasa (SMP), Taman Madya (SMA), serta Taman Karya (SMK).

 

Ki Hadjar Dewantara (KHD), sebelum mendirikan Perguruan Tamansiswa dikenal sebagai seorang pergerakan kemerdekaan melalui dunia jurnalistik. Tulisannya yang berjudul "Als Ik Eens Nederlander Was” (Seandainya Aku Seorang Belanda) membuat pemerintah kolonial marah dan kemudian mengasingkan ke Belanda. Tapi di Belanda dia dan istrinya justru belajar banyak hal.

 

Pada saat itu (1913-1919) masyarakat di Belanda sedang berkobar-kobar perasaannya pada pemikiran Rabindranath Tagore (India) dan Maria Montesori (Italia). Kedua tokoh ini menganggap pendidikan dan pengajaran di Eropa sangat menyuburkan intelektual, namun mematikan perasaan, sehingga hanya menjadikan manusia mesin belaka.

 

Sejak itu, KHD membangun relasi dialog dengan Tagore dan Montessori. Tagore sempat berkunjung ke Tamansiswa di Yogyakarta. Sebaliknya KHD beserta insan Tamansiswa sempat berkunjung ke Shanti Niketan di India. Salah satu pamong Tamansiswa yang sempat ke Shanti Niketan dan kelak jadi tokoh nasional adalah penulis Rusli. Di belakang Pendapa Tamansiswa juga ada Wisma India yang pernah didiami maestro tari India, Miss Mrinalini.

 

Menurut Ki Priyo Dwiarso, orang yang sempat menjadi murid langsung KHD, saat di negeri Belanda, Nyi Sutartinah (istri KHD) membantu KHD mencari tambahan nafkah dengan menjadi guru di Frobelschool (Kindergarten), sekolah yang didirikan oleh Frobel (Friedrich Wilhelm August Frobel).

 

Pengalaman sang istri menjadi guru di Kindergarten itu semakin memperkaya khazanah KHD terhadap konsep pendidikan Frobel yang menjadikan permainan sebagai media pendidikan anak. Dan setelah kembali ke Tanah Air (1919), berkat inspirasi dan dorongan sang istri itulah KHD putar haluan dari gerakan politik ke pendidikan dan kebudayaan.

 

Perkenalannya dengan metode permainan yang dikembangkan oleh Frobel dan dialog yang intens antara KHD dengan Tagore dan Montessori itulah yang kelak mewarnai pandangan-pandangan pendidikan dan kebudayaan KHD. Dari Frobel, KHD mendapat pelajaran dijadikannya permainan anak sebagai media pendidikan, dari Montessori memperoleh inspirasi mengenai pentingnya memberikan dan menumbuhkan jiwa merdeka pada anak, sedangkan dari Tagore, KHD memperoleh penguatan pada aspek budaya.

 

Hanya saja untuk konsep merdeka KHD sedikit berbeda dengan konsep merdeka Montessori. Menurut KHD, merdeka (vrijheid) kita tidak bebas, tapi dibatasi oleh swa disiplin (zelfdicipline), yaitu sepanjang tak merusak salam bahagia serta tertib damainya masyarakat. Dalam rumusan Ki Mangoen Sarkoro, kemerdekaan itu harus mengarah ke pengabdian umat manusia yang paling intensif. Sedangkan metode Montessori absoluut vrijheid (merdeka mutlak).

 

Dari ketertarikan KHD pada semangat pembaruan yang ditawarkan oleh Tagore dan Montessori itulah, maka di ruang Pendapa Tamansiswa saat itu dipasang potret Tagore dan Montessori, sehingga sempat menimbulkan perkiraan banyak orang bahwa Tamansiswa itu beraliran Tagore dan Montesori.

 

Padahal tidak demikian. Pemasangan potret itu karena KHD memandang Tagore dan Montessori sebagai petunjuk jalan baru, pembongkar pendidikan lama serta pembangun aliran baru, yang sesuai dengan aliran Tamansiswa, yang terambil dari adat pendidikan yang masih hidup dalam masyarakat kita atau masih nampak bekas-bekasnya, yaitu aliran yang disebut sebagai kultural nasional (KHD, Pendidikan:131).

 

Dalam penjelasannya mengenai metode Montessori, Frobel, dan Taman Kanak; KHD mengakui bahwa Tamansiswa boleh dibilang memakai kedua-duanya sebagai yang terkandung dalam sifat pendidikan Montessori dan Frobel, akan tetapi pelajaran pancaindra dan permainan itu tidak terpisah, yaitu dianggap satu, sebab dalam Tamansiswa hiduplah kepercayaan, bahwa dalam setiap tingkah laku dan segala keadaan hidupnya anak-anak itu sudah diisi oleh "Sang Maha Among" segala alat-alat yang bersifat mendidik si anak (Ibid:242)

 

Benih kebangsaan

 

Dasar Tamansiswa adalah Pancadarma, yaitu kodrat alam, kebudayaan, kemerdekaan, kebangsaan, dan kemanusiaan. Dasar tersebut diambil dari nilai-nilai yang sudah berkembang di masyarakat dan sekaligus menjadi cita-cita Tamansiswa untuk diwujudkan.

 

Benih-benih kebangsaan KHD sendiri muncul sejak usia 12 tahun ketika akhirnya harus berpisah dengan kawan bermainnya lantaran harus bersekolah, sementara kawannya tidak bisa bersekolah hanya karena bukan anak priayi. Realitas sosial yang tragis itulah yang menyadarkan adanya stratitifikasi sosial di masyarakat berdasarkan status sosial orang tua dan dipertajam melalui pendidikan yang segregatif.`

 

Atas dasar pengalaman pribadinya itulah mengambil jalan perjuangan yang berbasis kerakyatan dan kebangsaan. Perguruan Tamansiswa harus terbuka untuk semua golongan, maka alasan kebangsaan menjadi dasarnya karena mampu mengakomodasi berbagai golongan yang tumbuh di masyarakat.

 

Paham kebangsaan dan jiwa nasionalis yang menjadi dasar Tamansiswa itu kelak menjadi fondasi pembangunan pendidikan nasional, setelah Indonesia merdeka 1945 dan KHD ditunjuk menjadi Menteri Pendidikan dan Pengajaran. Meskipun masa jabatannya singkat, hanya tiga bulan, tapi berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional yang berwawasan kebangsaan.

 

Paham kebangsaan itu kelak juga menjiwai perumusan Undang-Undang (UU) No 4 Tahun 1950 junto UU No 12 Tahun 1954 tentang Pokok-Pokok Pengajaran di Sekolah, yang disusun pada saat menteri pendidikan dijabat oleh Sarmidi Mangunsarkara dari Tamansiswa. Ini merupakan UU pendidikan yang sangat inklusif, nasionalis, dan memberikan kebebasan kepada warga untuk mengembangkan pendidikan sesuai dengan keyakinan yang mereka anut.

 

Bandingkan dengan UU No 2 Tahun 1989 atau UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang sangat etatis dan tidak inklusif.

 

Praksis pendidikan di lapangan tidak terlepas dari regulasi. Ketika regulasinya inklusif, maka praksis pendidikan juga inklusif, namun ketika regulasinya eksklusif, maka praksis pendidikan di lapangan juga amat eksklusif. Munculnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri, yakni Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama, tentang Seragam Sekolah (yang kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Agung) adalah cermin dari praksis pendidikan yang eksklusif dan tidak berwawasan kebangsaan.

 

Praksis pendidikan yang eksklusif dan mengeksklusikan yang beda itu tampak pula dari ucapan salam perjumpaan/pengakhiran pelajaran yang menggunakan bahasa agama mayoritas. Demikian pula dalam hal berdoa selalu menggunakan doa agama mayoritas. Padahal, dalam kelas ada pemeluk agama minoritas, sehingga mereka selalu merasa tereksklusikan di kelas. KHD mengembangkan ucapan salam perjumpaan/pengakhiran dengan mengadopsi bahasa universal, yaitu “Salam dan Bahagia”, yang akan dijawab dengan ucapan “Salam”.

 

Sayang, konsep dan praksis pendidikan Tamansiswa yang indah, inklusif, memerdekakan, berbudaya, dan manusiawi itu tergerus oleh zaman sehingga sulit mendapatkan contoh baik di lingkungan Perguruan Tamansiswa saat ini.

 

Meski demikian, tidak salah bila para penggiat pendidikan, bermimpi agar negara hadir untuk mewujudkan konsep dan praksis pendidikan kebangsaan seperti yang sudah dijalankan oleh Tamansiswa masa silam. Besarnya kerinduan tersebut tampak dari maraknya pengkajian pemikiran dan praksis pendidikan Tamansiswa selama lima tahun terakhir di berbagai kalangan.

 

Kerinduan itu dipicu oleh praksis pendidikan nasional, terutama di sekolah-sekolah negeri yang makin agamis dan cenderung menebarkan benih-benih intoleransi. Sekolah-sekolah negeri yang pada masa lalu menjadi pilihan pertama bagi setiap orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya tanpa adanya hambatan berupa suku, ras, agama, dan golongan; sekarang justru berada dalam darurat intoleransi; sehingga bila dibiarkan berlarut sekolahnya yang seharusnya menyemai benih-benih kebangsaan, justru berkontribusi bagi hancurnya suatu bangsa. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar