Membedakan
Kritis dan Ceriwis St Kartono ; Guru SMA Kolese De Britto Yogyakarta |
KOMPAS, 17 Juli 2021
”Bagaimana kami membedakan
kritis dan ceriwis? Benarkah sikap kami tergolong kritis atau jangan-jangan
sekadar ceriwis?” Pertanyaan terkutip
tersebut mengemuka dalam sebuah forum guru yang bertajuk ”menjadi guru
pemelajar”. Terkuak salah satu ciri pribadi pemelajar yakni tiada henti
mempertanyakan dan mengkritisi kehidupan di sekitarnya. Pribadi demikian
mengalami kegelisahan berkait dengan kebaikan, rasa syukur, dan harapan baik
dalam setiap pengalamannya. Kegamangan bisa muncul
jika mengaitkan dengan situasi aktual di masyarakat. Mau bersikap kritis
padahal tidak lebih dari crigis. Yang sekadar ceriwis ingin digolongkan
sebagai kritis. Bagaimana agar bisa bersikap yang sejatinya kritis? Situasi
aktual Batasan arti kritis, yakni
tajam dalam menganalisis, pun secara utuh memberikan pertimbangan positif dan
negatif mengenai suatu obyek. Media sosial jamak menyediakan ruang-ruang
interaktif untuk komentar. Komentar bersifat spontan, pendek, dan cenderung sekenanya.
Karena itulah ada kebiasaan berkomentar tidak utuh, entah baik saja atau
buruknya, bisa juga hanya kelebihan atau kekurangan sasaran pembicaraan. Komentar memiliki konotasi
makna yang dangkal dan lebih rendah daripada kritik. Kalimat tanya ”apa komentar
Anda?” terhadap suatu topik pembicaraan mestinya tidak dibiasakan dipakai
dalam forum resmi. Alih-alih menggunakan ”apa pendapat Anda?” yang
mengharapkan jawaban yang lebih utuh dan berimbang. Pemilik pendapat akan
mengungkapkan gagasannya dengan memperhitungkan bobot isi, menyajikan
pemikiran yang akurat, dan dapat dipercaya sumbernya. Sementara komentar
terkesan asal-asalan, reaktif, atau serampangan. Interaksi masyarakat, baik
di dunia maya maupun yang riil, telah dibanjiri gaya komentar. Komentar itu
sejajar dengan ceriwis, sekadar riuh bahkan mencari sensasi. Bentuk komentar
ini dimanfaatkan untuk menyerang pihak lain, merendahkan bahkan melecehkan
yang dianggap sebagai obyek cemooh. Namun, si ceriwis ini
dengan komentar-komentar negatif suka berlindung di balik frasa mulia
”memberikan kritik membangun”. Kegaduhan adu komentar tidak memberikan
sumbangan pencerahan, kecuali adu-tohok yang menjurus kasar dengan sumpah
serapah. Di banyak forum, pemegang
mikrofon pun tidak jarang tergoda untuk berkata-kata tanpa makna, sekadar
untuk unjuk diri dengan kalimat-kalimat berkepanjangan, entah sebagai penanya
atau pembicara. Atau juga, mikrofon yang disodorkan jurnalis acap
dimanfaatkan oleh banyak orang yang menganggap diri sebagai tokoh untuk
mencari sensasi dengan menghantam pihak lain. Narasi yang terpapar pun
terbaca sebagai pembungkus kebencian, jauh dari kategori kritik yang kritis. Ada
formatnya Sekadar membandingkan
dalam kancah tulis-menulis di media massa, beberapa sahabat menggerutu ketika
tulisannya ditolak redaktur opini. Jika tulisan yang terkirim tak lebih dari
komentar penulis mengenai suatu masalah, tentu tak laik dibaca khalayak.
Artinya, beropini itu sepadan dengan berpendapat yang mensyaratkan format
tiga unsur di dalamnya, yakni tolakan masalah, evaluasi, dan solusi. Mengaduk-aduk masalah dan
mengevaluasi-mengkritik tanpa memberikan sedikit saja pencerahan lewat
solusi, mereka yang terbahas tidak terbantu untuk memperbaiki diri. Lawan
bicara, pendengar, atau pembaca akan merasa kurang nyaman dengan teks yang
berisi koleksi masalah dan menunjuk-nunjuk sisi-sisi negatif, tanpa mau
memberikan optimisme pemecahan masalah. Ketidaklengkapan unsur berpendapat
akan memunculkan kesan ceriwis, nyinyir, dan berprasangka buruk. Dalam keseharian, saya
mendidik orang-orang muda yang sedang belajar menghidupi semangat ”pendidikan
bebas”, pendidikan yang menghargai setiap murid sebagai pribadi utuh dengan
segala latar keluarga dan kemampuan akademisnya. Membiasakan taat format
dalam berpendapat dapat membantu penggunaan kebebasan dalam hidup bersama.
Yang sekadar ceriwis dengan komentar akan berdalih ”kebebasan berpendapat”.
Padahal, tidak ada kebebasan berpendapat yang sebebas-bebasnya. Kebebasan setiap pribadi
pun dibatasi oleh kebebasan orang lain. Menjelekkan atau menuduh tanpa bukti
bukanlah kritik, di sinilah kebebasan orang lain terusik. Untuk itulah
perlunya undang-undang yang membantu sebuah masyarakat agar tahu batas
kebebasan itu, yakni kepentingan orang lain. Pelaku keriuhan di ruang-ruang
publik dengan perilaku ceriwis, sekadar crigis, bukanlah sikap kritis yang
menyertai kritik. Hal itu hanya menyumbangkan pendangkalan pikir dalam hidup
bersama. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar