Sabtu, 17 Juli 2021

 

Media bagi yang Menolak Realitas Covid-19

Ashadi Siregar ;  Pengamat Media dan Novelis

KOMPAS, 15 Juli 2021

 

 

                                                           

Masih ditemukan banyak orang yang tidak mau menerima adanya kenyataan dan bahaya wabah global korona. Alasannya bisa bermacam-macam, mulai dari yang kuasi-ilmiah, dengan analisis ala teori ketergantungan, pandangan bahwa isu pandemi buatan negara adi-daya melalui anteknya Badan Kesehatan Dunia (WHO). Lalu yang agak berbau religius, paralel dengan yang kuasi-ilmiah tapi dengan mengutip ayat suci, menyatakan virus berasal dari Tuhan, isu Covid-19 hanya dibesar-besarkan media. Penyakit juga berasal dari Tuhan, yaitu takdir.

 

Apa pun alasan itu, pada dasarnya yang bersangkutan tidak percaya adanya pandemi Covid-19 adalah kenyataan empiris. Di sini kita sebenarnya menemukan fenomena kenyataan empiris versus dunia alam pikiran. Kenyataan virus memang tidak kasat mata, hanya bisa diwujudkan sebagai informasi melalui pernyataan otoritas medis dan pemerintah. Karenanya, sangat dimungkinkan untuk dipertengkarkan.

 

Akhirnya, masyarakat terpilah pada dikotomi antara yang mempercayai otoritas medis dan pemerintah, dengan yang menolak otoritas tersebut. Jadi percaya atau tidak mau percaya adanya kenyataan pandemi Covid-19 adalah ikutan dari sikap tersebut.

 

Unjuk diri dan efek media

 

Pihak yang menolak adanya wabah mendunia ini biasanya mengekspresikan sikapnya dengan melawan aparat negara yang sedang bertugas dalam kaitan dengan Covid-19, sampai pada tindakan ekstrem merampas jenazah terkonfirmasi Covid-19 dari rumah sakit. Ini puncak gunung es dari sikap massal tidak percaya adanya pandemi.

 

Dan yang terbanyak dan biasanya diviralkan adalah melalui media sosial. Apa yang terjadi dalam alam pikiran massa ini, lalu di mana peran media massa konvensional, khususnya media arus utama (mainstream)? Sebelum menganggap media arus utama gagal menjalankan fungsinya, sebaiknya perlu diperiksa sejauh mana golongan “tak percaya” ini mengakses media.

 

Masalahnya, media konvensional yang bersifat arus utama sepanjang dua tahun ini sudah tidak kurang-kurang memberitakan pandemi korona. Media arus utama pada dasarnya menjalankan fungsi dalam kehidupan sosial untuk menyampaikan informasi faktual, guna menyentuh aspek kognisi dan rasionalitas publik.

 

Dengan fungsi institusionalnya ini perlu dibedakan dari media yang diorientasikan eksklusif untuk kelompok dan bersifat partisan. Begitu pula dapat dibedakan dari media yang lebih banyak menyentuh aspek sensasi dalam psikis khalayak sebagai media hiburan.

Khalayak media arus utama tentunya sudah cukup banyak terpapar informasi Covid-19. Kalau belum juga terkesan dengan kenyataan, tentu menimbulkan pertanyaan bukan tentang aspek kognisinya, tetapi menyangkut kondisi mentalnya. Secara teoretis, kelompok semacam ini sebenarnya tidak banyak jumlahnya dalam masyarakat yang normal, maka dapat disebut sebagai anomali dalam kehidupan sosial.

 

Oleh karena itu, secara hipotetis dapat dinyatakan bahwa publik yang tidak cukup mengakses media arus utama sajalah yang masih bersikeras dengan alam pikiran yang menolak kenyataan adanya pandemi Covid-19 sekarang ini.

 

Secara kategoris dapat diperincikan ialah golongan yang memang berada dalam keterbatasan kondisi sosial ekonomi dan kendala geografis. Jumlahnya masih cukup besar tersebar di penjuru Tanah Air, dan untuk menyentuhnya hanya dapat melalui aparatur negara secara struktural, sebab sebaran dan jangkauan media arus utama terbatas sebagai gejala perkotaan.

 

Untuk itu kegiatan komunikasi massa perlu diselenggarakan dengan media forum oleh pemuka pendapat dalam komunitas sosial.

 

Lalu golongan lainnya sebenarnya tidak ada hambatan kondisional untuk mengakses media arus utama, tetapi hidup dengan "dunia" yang tertutup, karenanya memelihara alam pikiran yang hanya mau bertemu dengan golongan yang sama.

 

Ada dua ciri pada golongan ini. Pertama, secara mental menolak otoritas dan keabsahan legalitas negara RI. Dan kedua, tak mau memercayai informasi yang berasal dari media arus utama. Golongan ini aktif bermedia sosial baik riil maupun virtual, berinteraksi intensif hanya dengan yang se-ideologi.

 

Ekspresi ketidakpercayaan akan kenyataan empiris dilakukan untuk mengasah "kepercayaan" yang dipelihara dalam alam pikiran eksklusif golongannya. Aktualisasi diri sebagai bagian dari kelompok muncul dalam setiap kesempatan. Dalam bermedia sosial virtual, sebenarnya ditujukan kepada golongannya untuk saling memperteguh ikatan kelompok dalam (in-group).

 

Menjadi viral jika ekspresinya "bocor" pada pihak lain, untuk kemudian sampai ke radar aparat negara. Manakala berada dalam kekuasaan Kepolisian, oknum ini biasanya ditampilkan dengan wajah memelas, pernyataan menyesal dan minta maaf. Berbeda betul dengan ekspresi yang viral sebelumnya di media sosial yang gagah perkasa.

 

Apakah pementasan penyesalan lewat media arus utama ada manfaatnya? Tentunya tetap sebagai tanda tanya, apakah memang betul menyesal hingga minta maaf pada khalayak luas, ataukah hanya akting dalam dramaturgi untuk kelompok se-ideologinya. Ini hanya dapat dibuktikan secara psikologi klinis.

 

Sedang bagi golongannya, mungkin saja pementasan oleh aparat negara berefek terbalik, malah dipandang sebagai kesewenang-wenangan terhadap warga yang berbeda pendapat. Secara populer sikap anti terhadap negara RI, termasuk dari advokat pembelanya, dibungkus dengan bahasa demokrasi: perbedaan pendapat. Begitu pula pandangan terhadap informasi media arus utama, hanya memperkuat sikap bahwa media hanya kolaborator negara RI.

 

Jika negara RI saja dipandang tidak absah, apatah pula kolaboratornya? Sikap anti terhadap NKRI, sepanjang tidak diwujudkan dengan terorisme, bolehlah dipandang sebagai perbedaan pendapat. Akan tetapi, berbeda halnya, dengan tidakpercayaan akan kenyataan pandemi yang membahayakan warga lainnya, apakah hal seperti ini dapat dipandang sebagai perbedaan pendapat?

 

Kelemahan dan peluang bagi media

 

Setiap kali muncul dan viral konten penolakan atas kenyataan pandemi Covid-19, di satu sisi boleh kita jadikan indikasi kelemahan media arus utama di negeri kita dalam melahirkan publik yang rasional. Media membentur mental block jika harus berhadapan dengan kaum fanatik (true believer).

 

Terlepas dari kegagalannya menembus tembok, kondisi sekarang selayaknya menjadi pendorong bagi insan media memperkuat upaya menjadikan media arus utama sebagai institusi sosial. Yaitu fokus dengan mempertajam substansi fakta yang digali dari kehidupan empiris publik di satu sisi, dan kepada varian produk informasi faktual yang lebih menarik di sisi lain.

 

Substansi fakta sudah menjadi bagian kerja melekat (inherent) dalam profesi jurnalisme. Sedang informasi yang menarik ini adalah yang dapat menyentuh aspek emosional (emotional touch) yang sehat atas kehidupan manusia.

 

Keterharuan, simpati atas kemanusiaan, terlebih jika dapat menumbuhkan empati, merupakan sisi luhur dari fungsi media. Ini harapan yang melampaui fungsi sosial media yang standar yaitu mengasah rasionalitas.

 

Karya feature dan liputan mendalam yang dapat mengangkat nilai positif kemanusiaan semakin diperlukan di tengah pandemi. Liputan ini pada dasarnya berasal dari realitas lunak, perlu untuk mengimbangi realitas keras berupa tindakan dalam penanggulangan dan pelayanan kesehatan, dan upaya ekonomi dalam kehidupan publik.

 

Pelajaran dasar dalam jurnalisme tentang realitas lunak yang berkaitan dengan nilai positif seperti solidaritas sosial, keberagaman dan inklusivitas, perlu diperluas guna mengasah sisi manusiawi khalayak media.

 

Realitas keras umumnya muncul dalam berita jurnalisme bersifat aktual, penyimpangan sosial, ataupun berasal dari tindakan yang muncul pada permukaan sosial. Berita semacam ini, tindak korupsi dan kejahatan lain, misalnya, manakala menjejali media, membikin pikiran khalayaknya sesak.

 

Apalagi jika pengelola media menganggap pendalaman dapat dilakukan dengan "talk show" sebab yang terjadi hanya penggalian alam pikiran hingga ke ceruk terdalam berupa pro yang berasal dari kultus, hingga anti yang bersumber dari kebencian. Ini kelemahan media yang berusaha mendapatkan kedalaman tentang realitas keras melalui dunia alam pikiran nara sumbernya.

 

Berita dari realitas lunak yang membangun simpati dan empati akan melonggarkan kesesakan itu. Dengan begitu media jurnalisme bukan saja sebagai institusi sosial, tetapi juga akan berperan sebagai institusi kultural yang memperkaya sisi humanitarian publik.

 

Dari sini diharapkan khalayak luas yang lebih halus dan sehat apresiasi sosialnya dapat diraih.

 

Pada sisi internal bagi dunia media, memperbanyak latihan jurnalisme untuk liputan realitas lunak berguna bagi jurnalis mengasah keluhuran budi dalam menjalankan profesi. Syukur jika profesi ini sekaligus dapat menjadikan jurnalis memiliki daya imajinasi tentang tragik dan keriangan kehidupan manusia. ●

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar