Media
bagi yang Menolak Realitas Covid-19 Ashadi Siregar ; Pengamat Media dan Novelis |
KOMPAS, 15 Juli 2021
Masih ditemukan banyak
orang yang tidak mau menerima adanya kenyataan dan bahaya wabah global
korona. Alasannya bisa bermacam-macam, mulai dari yang kuasi-ilmiah, dengan
analisis ala teori ketergantungan, pandangan bahwa isu pandemi buatan negara
adi-daya melalui anteknya Badan Kesehatan Dunia (WHO). Lalu yang agak berbau
religius, paralel dengan yang kuasi-ilmiah tapi dengan mengutip ayat suci,
menyatakan virus berasal dari Tuhan, isu Covid-19 hanya dibesar-besarkan
media. Penyakit juga berasal dari Tuhan, yaitu takdir. Apa pun alasan itu, pada
dasarnya yang bersangkutan tidak percaya adanya pandemi Covid-19 adalah
kenyataan empiris. Di sini kita sebenarnya menemukan fenomena kenyataan
empiris versus dunia alam pikiran. Kenyataan virus memang tidak kasat mata,
hanya bisa diwujudkan sebagai informasi melalui pernyataan otoritas medis dan
pemerintah. Karenanya, sangat dimungkinkan untuk dipertengkarkan. Akhirnya, masyarakat
terpilah pada dikotomi antara yang mempercayai otoritas medis dan pemerintah,
dengan yang menolak otoritas tersebut. Jadi percaya atau tidak mau percaya
adanya kenyataan pandemi Covid-19 adalah ikutan dari sikap tersebut. Unjuk
diri dan efek media Pihak yang menolak adanya
wabah mendunia ini biasanya mengekspresikan sikapnya dengan melawan aparat
negara yang sedang bertugas dalam kaitan dengan Covid-19, sampai pada
tindakan ekstrem merampas jenazah terkonfirmasi Covid-19 dari rumah sakit.
Ini puncak gunung es dari sikap massal tidak percaya adanya pandemi. Dan yang terbanyak dan
biasanya diviralkan adalah melalui media sosial. Apa yang terjadi dalam alam
pikiran massa ini, lalu di mana peran media massa konvensional, khususnya
media arus utama (mainstream)? Sebelum menganggap media arus utama gagal
menjalankan fungsinya, sebaiknya perlu diperiksa sejauh mana golongan “tak
percaya” ini mengakses media. Masalahnya, media
konvensional yang bersifat arus utama sepanjang dua tahun ini sudah tidak
kurang-kurang memberitakan pandemi korona. Media arus utama pada dasarnya
menjalankan fungsi dalam kehidupan sosial untuk menyampaikan informasi
faktual, guna menyentuh aspek kognisi dan rasionalitas publik. Dengan fungsi
institusionalnya ini perlu dibedakan dari media yang diorientasikan eksklusif
untuk kelompok dan bersifat partisan. Begitu pula dapat dibedakan dari media
yang lebih banyak menyentuh aspek sensasi dalam psikis khalayak sebagai media
hiburan. Khalayak media arus utama
tentunya sudah cukup banyak terpapar informasi Covid-19. Kalau belum juga
terkesan dengan kenyataan, tentu menimbulkan pertanyaan bukan tentang aspek
kognisinya, tetapi menyangkut kondisi mentalnya. Secara teoretis, kelompok
semacam ini sebenarnya tidak banyak jumlahnya dalam masyarakat yang normal,
maka dapat disebut sebagai anomali dalam kehidupan sosial. Oleh karena itu, secara
hipotetis dapat dinyatakan bahwa publik yang tidak cukup mengakses media arus
utama sajalah yang masih bersikeras dengan alam pikiran yang menolak
kenyataan adanya pandemi Covid-19 sekarang ini. Secara kategoris dapat
diperincikan ialah golongan yang memang berada dalam keterbatasan kondisi
sosial ekonomi dan kendala geografis. Jumlahnya masih cukup besar tersebar di
penjuru Tanah Air, dan untuk menyentuhnya hanya dapat melalui aparatur negara
secara struktural, sebab sebaran dan jangkauan media arus utama terbatas
sebagai gejala perkotaan. Untuk itu kegiatan komunikasi
massa perlu diselenggarakan dengan media forum oleh pemuka pendapat dalam
komunitas sosial. Lalu golongan lainnya
sebenarnya tidak ada hambatan kondisional untuk mengakses media arus utama,
tetapi hidup dengan "dunia" yang tertutup, karenanya memelihara
alam pikiran yang hanya mau bertemu dengan golongan yang sama. Ada dua ciri pada golongan
ini. Pertama, secara mental menolak otoritas dan keabsahan legalitas negara
RI. Dan kedua, tak mau memercayai informasi yang berasal dari media arus
utama. Golongan ini aktif bermedia sosial baik riil maupun virtual,
berinteraksi intensif hanya dengan yang se-ideologi. Ekspresi ketidakpercayaan
akan kenyataan empiris dilakukan untuk mengasah "kepercayaan" yang
dipelihara dalam alam pikiran eksklusif golongannya. Aktualisasi diri sebagai
bagian dari kelompok muncul dalam setiap kesempatan. Dalam bermedia sosial
virtual, sebenarnya ditujukan kepada golongannya untuk saling memperteguh
ikatan kelompok dalam (in-group). Menjadi viral jika
ekspresinya "bocor" pada pihak lain, untuk kemudian sampai ke radar
aparat negara. Manakala berada dalam kekuasaan Kepolisian, oknum ini biasanya
ditampilkan dengan wajah memelas, pernyataan menyesal dan minta maaf. Berbeda
betul dengan ekspresi yang viral sebelumnya di media sosial yang gagah
perkasa. Apakah pementasan
penyesalan lewat media arus utama ada manfaatnya? Tentunya tetap sebagai
tanda tanya, apakah memang betul menyesal hingga minta maaf pada khalayak
luas, ataukah hanya akting dalam dramaturgi untuk kelompok se-ideologinya.
Ini hanya dapat dibuktikan secara psikologi klinis. Sedang bagi golongannya,
mungkin saja pementasan oleh aparat negara berefek terbalik, malah dipandang
sebagai kesewenang-wenangan terhadap warga yang berbeda pendapat. Secara
populer sikap anti terhadap negara RI, termasuk dari advokat pembelanya,
dibungkus dengan bahasa demokrasi: perbedaan pendapat. Begitu pula pandangan
terhadap informasi media arus utama, hanya memperkuat sikap bahwa media hanya
kolaborator negara RI. Jika negara RI saja
dipandang tidak absah, apatah pula kolaboratornya? Sikap anti terhadap NKRI,
sepanjang tidak diwujudkan dengan terorisme, bolehlah dipandang sebagai
perbedaan pendapat. Akan tetapi, berbeda halnya, dengan tidakpercayaan akan
kenyataan pandemi yang membahayakan warga lainnya, apakah hal seperti ini
dapat dipandang sebagai perbedaan pendapat? Kelemahan
dan peluang bagi media Setiap kali muncul dan
viral konten penolakan atas kenyataan pandemi Covid-19, di satu sisi boleh
kita jadikan indikasi kelemahan media arus utama di negeri kita dalam
melahirkan publik yang rasional. Media membentur mental block jika harus
berhadapan dengan kaum fanatik (true believer). Terlepas dari kegagalannya
menembus tembok, kondisi sekarang selayaknya menjadi pendorong bagi insan
media memperkuat upaya menjadikan media arus utama sebagai institusi sosial.
Yaitu fokus dengan mempertajam substansi fakta yang digali dari kehidupan
empiris publik di satu sisi, dan kepada varian produk informasi faktual yang
lebih menarik di sisi lain. Substansi fakta sudah
menjadi bagian kerja melekat (inherent) dalam profesi jurnalisme. Sedang
informasi yang menarik ini adalah yang dapat menyentuh aspek emosional
(emotional touch) yang sehat atas kehidupan manusia. Keterharuan, simpati atas
kemanusiaan, terlebih jika dapat menumbuhkan empati, merupakan sisi luhur
dari fungsi media. Ini harapan yang melampaui fungsi sosial media yang
standar yaitu mengasah rasionalitas. Karya feature dan liputan
mendalam yang dapat mengangkat nilai positif kemanusiaan semakin diperlukan
di tengah pandemi. Liputan ini pada dasarnya berasal dari realitas lunak,
perlu untuk mengimbangi realitas keras berupa tindakan dalam penanggulangan
dan pelayanan kesehatan, dan upaya ekonomi dalam kehidupan publik. Pelajaran dasar dalam
jurnalisme tentang realitas lunak yang berkaitan dengan nilai positif seperti
solidaritas sosial, keberagaman dan inklusivitas, perlu diperluas guna
mengasah sisi manusiawi khalayak media. Realitas keras umumnya
muncul dalam berita jurnalisme bersifat aktual, penyimpangan sosial, ataupun
berasal dari tindakan yang muncul pada permukaan sosial. Berita semacam ini,
tindak korupsi dan kejahatan lain, misalnya, manakala menjejali media,
membikin pikiran khalayaknya sesak. Apalagi jika pengelola
media menganggap pendalaman dapat dilakukan dengan "talk show"
sebab yang terjadi hanya penggalian alam pikiran hingga ke ceruk terdalam
berupa pro yang berasal dari kultus, hingga anti yang bersumber dari
kebencian. Ini kelemahan media yang berusaha mendapatkan kedalaman tentang
realitas keras melalui dunia alam pikiran nara sumbernya. Berita dari realitas lunak
yang membangun simpati dan empati akan melonggarkan kesesakan itu. Dengan
begitu media jurnalisme bukan saja sebagai institusi sosial, tetapi juga akan
berperan sebagai institusi kultural yang memperkaya sisi humanitarian publik. Dari sini diharapkan
khalayak luas yang lebih halus dan sehat apresiasi sosialnya dapat diraih. Pada sisi internal bagi
dunia media, memperbanyak latihan jurnalisme untuk liputan realitas lunak
berguna bagi jurnalis mengasah keluhuran budi dalam menjalankan profesi.
Syukur jika profesi ini sekaligus dapat menjadikan jurnalis memiliki daya
imajinasi tentang tragik dan keriangan kehidupan manusia. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar