Belajar
Memanusia Iwan Pranoto ; Guru Besar Institut Teknologi Bandung |
KOMPAS, 15 Juli 2021
Jika diketikkan ‘mencetak
SDM’ di Google, akan berderet lebih dari satu juta rujukan terkait frasa ini.
Penggunaan kata ‘mencetak’ dengan diimbuhi kata 'SDM’ seperti paket kombo
lengkap dalam mendehumanisasi. Kata mencetak sudah mengeksploitasi, apalagi
ini dieksplisitkan lagi dengan SDM. Sumber daya manusia (SDM)
dalam KBBI diartikan sebagai “potensi manusia yang dapat dikembangkan untuk
proses produksi.” Istilah aslinya human resource, populer di abad ke-20. Awalnya, istilah ini
dicetuskan sebagai sebuah kiasan guna menghargai kapasitas manusia. Namun,
seperti banyak istilah, harapan dan kenyataan kerap bertolak belakang. Dalam
berjalannya waktu, yang terjadi justru esensi kemanusiaan dalam istilah itu
semakin memudar. Ini yang dikritisi dengan tajam melalui makalah "A
Human is not a Resource" (McGaughey, 2020). McGaughey menegaskan bahwa
dengan istilah itu, manusia telah diturunkan derajatnya dan menjadi sumber,
suplai, atau modal. Dampaknya, tanpa
direncanakan, “pembendaan” pekerja ini menyusupi akal dan menyebar di
masyarakat. Istilah ini, lanjutnya, sekarang melumrah, bertebaran di judul
buku teks, papan nama, istilah keseharian, dan menjadi penghela utama gig
economy: gagasan keliru bahwa manusia merupakan sebuah sumber daya. Penggunaan kata SDM
tersebut sama sekali bukan urusan sepele. Menurut McGaughey, “Kata itu
berpengaruh. Kata membawa makna.” Konyolnya, data menunjukkan, setiap kali
prinsip utama dari teori 'sumber daya manusia' diterapkan sepenuhnya,
hasilnya di capaian kemakmuran pekerja malah memburuk (Idem, 2020). Rasanya tak mungkin ada
ibu yang rela anaknya kelak menjadi sumber daya, sejajar dengan batubara atau
bensin. Demikian pula seorang guru ataupun pemimpin institusi pendidikan
sudah seharusnya gusar jika ada yang menginstruksikan siswa dicetak menjadi
SDM. Namun, pada sisi lainnya,
sudah semestinya seseorang menjalani pendidikan untuk menerampilkan dirinya
agar dapat bekerja dan mencukupi dirinya sendiri secara material dan
finansial. Jadi, usaha mempersiapkan diri untuk memasuki dunia kerja dan
mencari nafkah merupakan hal sesuatu yang lumrah dan mulia. Memanusia Begawan pendidikan
konstruktif Mochtar Buchori di masa hidupnya berkali-kali mengingatkan,
pendidikan harus memfasilitasi pelajar untuk belajar menafkahi dirinya dan
juga memuliakan kehidupannya. Sekitar setengah abad
sebelumnya, pemikir pendidikan dan Rektor IKIP Sanata Dharma, Pater N
Driyarkara, memanggungkan istilah hominisasi dan humanisasi dalam pendidikan.
Beliau menekankan perbedaan antara usaha seseorang menjadi hominid dan
menjadi human. Menurut KBBI, hominid diartikan sebagai “suku yang mencakupi
manusia dan makhluk mirip manusia yang telah punah.” Tidak seperti hominid
lain, manusia harus menjadi hominid dan manusia sekaligus. Seorang manusia
harus mampu menghidupi dirinya secara badani dan sekaligus menumbuhkan
dirinya menjadi manusia yang berperangai halus dan berbudi. Pendidikan
(melalui keluarga, masyarakat, atau sekolah) sebagai sebuah kreasi peradaban
bertugas memfasilitasi dua sasaran tersebut sekaligus. Melalui perspektif
kecerdasan, guru manajemen Stephen Covey merumuskan model manusia utuh secara
lebih eksplisit dan operasional (Covey, 2004). Menurutnya, seorang
manusia dalam hidupnya harus dapat memenuhi empat kebutuhan pertumbuhan:
badan, akal, hati, dan jiwa. Khususnya, seorang manusia perlu mampu
menyediakan dirinya pangan, papan, sandang, dan juga menjaga kesehatan
tubuhnya. Kemudian, dia harus mampu
serta tetap berhasrat untuk belajar dan mengasah akalnya. Dia juga perlu
cakap merawat hubungan emosional serta sosial dengan masyarakat dan dengan
dirinya sendiri. Yang terakhir, dia perlu merawat kesadaran agungnya untuk
mewariskan dunia yang lebih baik bagi generasi selanjutnya. Namun, dengan semakin
dahsyatnya pragmatisme, sasaran hominisasi dan humanisasi tadi tidak berjalan
harmonis dalam pendidikan. “Di zaman teknologi ini,” kata Rama Driyarkara,
“bisa saja orang hanya memburu kecakapan kerja dan bukan perkembangan
manusia” (Driyarkara, 2006, hlm. 363). Perlu dicatat, kalimat itu
sama sekali bukan berarti bahwa menjadi hominid tak penting, bahkan kurang
penting dibanding menjadi manusia, tetapi setiap manusia perlu mengembangkan
keduanya berbarengan. Pendidikan dari tataran paling dasar sampai paling
tinggi perlu menjaga kemajuan, keterpaduan, dan keharmonisan dua sasaran
tadi. Pengajaran
"dua rel" Masalah yang muncul dalam
praktik pendidikan bukan karena kedua sasaran tadi tak berkembang beriringan,
tetapi justru pendidikan berjalan beriringan tetapi di dua jalur rel yang
berbeda. Sekelompok siswa melalui satu jalur menyiapkan diri untuk segera
masuk dunia kerja dan kelompok lainnya melalui jalur lainnya meneruskan
mempelajari keilmuan lebih dalam dan lebih lama. Akibatnya, segregasi dan
pengkastaan melalui pendidikan, mau diakui atau tidak diaku, telah terjadi. Di masa revolusi industri
pertama, kedua, sampai ketiga yang dicirikan berturut-turut sebagai langkah
memesinkan, memproduksi massal, dan mengotomasi; dunia industri dan
perdagangan menganggap sistem pengajaran dua rel itu cocok dengan keperluan
industri. Sampai abad lalu sejumlah kantor dagang, institusi komersial,
bahkan organisasi buruh di beberapa negara industri, menyokong sistem
pengajaran dual-track atau rel ganda tadi. Sejumlah pendidik dan
pebisnis pragmatis juga mengompori dengan pertanyaan apa gunanya siswa
sekolah menengah, yang akhirnya akan memasuki jenis pekerjaan bergaji-rendah,
perlu belajar lebih tinggi dari jenjang SMA? Lebih jauh, mengapa mereka
perlu belajar filsafat, sejarah, dan sastra? Ini rangkaian pertanyaan
retorika yang sudah akrab di dunia pendidikan. Dermawan Peter Thiel
menyeriusi pertanyaan atau tantangan tadi dengan menawarkan “beasiswa” bagi
para remaja cerdas yang mau meninggalkan pendidikan tinggi dan langsung
berlatih mengembangkan usaha rintisan (start-up) berbasis web (Clynes, 2017).
Ada yang mengritisi Thiel, tetapi cetusan idenya berhasil mengusik kemapanan
pendidikan. Menurut Presiden
Universitas Harvard, Larry Summers, pendidikan tinggi memang perlu berubah,
tetapi menggunakan dana filantrofi guna membujuk para pelajar untuk
meninggalkan perguruan tinggi merupakan gagasan yang “sangat berbahaya.” Di abad silam, pemikir dan
pereformasi pendidikan paling berpengaruh AS, John Dewey, sudah menentang
keras ide sistem pendidikan rel ganda ini. Pendidikan yang sekadar memuaskan
permintaan “end user” akan memandang siswa sebagai konsumen playlist
pengetahuan (Roth, 2012). Menurut Dewey, pengajaran rel ganda ini hanya akan
memperparah ketimpangan. Di dekade ketiga di abad
ke-21 ini, sistem pengajaran dua rel itu semakin meragukan. Dunia hari ini
dicirikan dengan laju perkembangan pengetahuan dan difusinya yang super
pesat. Konsekuensinya, menurut teknolog John S Brown, waktu paruh pengetahuan
dan keterampilan di zaman ini hanya lima tahun. Brown menambahkan, di masa
lalu, siklus mengadopsi pengetahuan/teknologi baru mengikuti tahap inovasi
(penemuan), sindikasi (litbang), dan periode panjang difusi (masuk pasar)
yang stabil dapat digambarkan seperti sebuah huruf ‘S’ besar. Itu zaman saat
pengetahuan mencair lambat, tetapi sekarang pengetahuan mencurah deras. Akibatnya, sekarang
kurvanya terdiri dari rangkaian banyak kurva ‘S’ berukuran kecil. Jarak dari
inovasi sampai difusi dan munculnya inovasi baru lain (substitusi) terjadi
semakin singkat dan sering. Periode grafik ‘S’ itu
pada zaman inovasi TV berwarna lebih dari 70 tahun, tetapi sekarang komputer
dengan ratusan peranti lunaknya sudah berkali-kali berganti hanya dalam 10
tahun. Dengan laju perubahan seperti itu, siswa dan pekerja dituntut
menguasai pengetahuan baru seperti berenang di jeram yang aliran airnya kuat,
cepat, dan berubah terus-menerus. Maka, seorang pekerja di zaman ini butuh
terus belajar keahlian baru. Bahkan, seseorang yang
secara sengaja berlatih dengan kecakapan tertentu untuk sebuah pekerjaan
spesifik pula tidak mungkin mampu bertahan di kariernya, yang sekarang lebih
dari 60 tahun, tanpa belajar pengetahuan lain serta memutakhirkan
keterampilannya. Ini berarti pelajar yang
mengikuti rel yang semula diarahkan untuk segera bekerja juga perlu
mengembangkan dirinya dalam berpikir dan kecakapan umum lainnya, sama seperti
temannya yang di rel pendidikan umum. Tak beda. Sebaliknya, pendidikan
tinggi umum seperti universitas semakin menginginkan lulusannya memiliki
pengalaman praktik di dunia kerja sebelum lulus. Pelajar di institusi
pendidikan umum juga diarahkan memahami praktik dunia industri secara nyata. Tampak bahwa dua jalur di
sistem pengajaran rel ganda itu sudah konvergen mendekat. Zaman
pengetahuan-mencurah-deras ini telah membuat segregasi pengajaran dua rel
tadi tidak sekontras di abad silam. Gairah dan terampil belajar untuk
mengembangkan diri relevan bagi pelajar di jalur mana saja. Siswa di kedua
rel sama-sama perlu belajar memanusia. Akhirnya, apa pun strategi
pembangunan yang digagas, manusia tidak boleh dijadikan sumber daya. Bahkan seorang
manusia yang mungkin terlahir dengan kemampuan berbeda yang mungkin dianggap
tidak cukup sebagai komponen “produktif” untuk industri, dirinya tetap
seorang manusia yang sedang memanusia. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar