Kerentanan
dan Ketahanan Ekonomi Pasca-pandemi Andrinof A Chaniago ; Pengajar Ekonomi-politik dan Kebijakan
Publik pada Departemen Ilmu Politik FISIP UI |
KOMPAS, 2 Juli 2021
Setelah melewati tekanan
dahsyat akibat pandemi Covid-19 di tahun pertama tahun 2020, sejumlah negara,
termasuk Indonesia, saat ini sedang bergerak ke arah pemulihan. Dengan menggunakan
data-data terkini di masing-masing negara, termasuk data kecenderungan kebijakan
di AS dan kawasan berpengaruh, lembaga-lembaga multilateral dan lembaga
independen dengan reputasi global telah mengeluarkan proyeksi kemampuan
masing-masing negara untuk pulih pada tahun 2021 ini dan tahun 2022. Indonesia, setelah tahun
lalu ekonomi nasional melorot drastis ke angka -2% pada tahun 2020,
diperkirakan akan mampu tumbuh di kisaran 4,4%-4,5% pada tahun 2021 ini.
Mengapa Indonesia diperkirakan hanya mampu tumbuh di angka tersebut sementara
sejumlah negara akan tumbuh jauh lebih tinggi, telah mendapat penjelasan
dengan paparan data-data kondisi terkini perekonomian Indonesia. Mengapa pertumbuhan
ekonomi Indonesia diproyeksikan cukup jauh di bawah capaian sejumlah negara
di Asia (China, India dan Vietnam), Eropa (Perancis, UK, Spanyol) dan Amerika
Utara (USA dan Kanada), tentu memerlukan penjelasan lebih dalam. Penjelasan
lebih dalam itu makin diperlukan lagi apabila kita ingin melihat perkiraan
pertumbuhan ekonomi jangka menengah dan panjang Indonesia dalam perbandingan
dengan negara-negara yang pernah setara dan negara-negara yang pernah jauh
kondisi ekonominya di bawah Indonesia. Bersandar pada data
historis dan komparatif antarnegara penting untuk meluruskan klaim bahwa
ketahanan ekonomi Indonesia adalah kedua terbaik di negara G20, seperti yang
mengemuka di awal tahun 2021 lalu. Klaim tadi juga sempat terdengar disambung
dengan klaim rasa beruntung sebagai bukan negara dagang di pasar global dan
punya pasar domestik yang besar, yang sebetulnya justru makin membahayakan. Untunglah kedua klaim tadi
kebetulan mereda sejak dilakukan pengkinian data oleh lembaga-lembaga
tepercaya pada April 2020, yang menghasilkan data yang sedikit berbeda.
Posisi angka pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap tidak masuk kategori
negara-negara yang mengalami kontraksi besar. Namun, posisi Indonesia
bergeser cukup signifikan. Negara yang paling baik
pertumbuhannya untuk tahun 2020 adalah Taiwan yang masih tumbuh positif 3,2%.
Setelah itu di urutan kedua ditempati Vietnam yang tumbuh positif 2,9%, lalu
diikuti China 2,3%. Berikutnya, di urutan keempat dan kelima diduduki Korea
Selatan dan Selandia Baru yang angka pertumbuhannya sudah masuk kelompok
negara dengan pertumbuhan minus namun dengan angka minus yang tidak besar.
Korea Selatan dan Selandia Baru masing-masing tumbuh -1.0% dan -1,3% di tahun
2020. Posisi di bawah dari lima negara yang disebutkan di atas barulah
ditempati oleh Indonesia. Siapa
kita? Jika kita cermati data
historis-struktural perekonomian Indonesia akan terlihat bahwa dalam 30 tahun
terakhir Indonesia bukanlah China, bukan Vietnam, bukan India atau Korea
Selatan. Jika data historis struktur ekonomi Indonesia itu digunakan untuk
membuat proyeksi ke depan, gambaran ke depannya adalah sulit bagi Indonesia
meraih pertumbuhan tinggi yang berkelanjutan untuk jangka waktu dua puluhan
tahun atau lebih, seperti yang diraih China, India dan Vietnam selama tiga
dekade terakhir. Perbedaan kemampuan
Indonesia untuk pulih dalam jangka pendek dibanding empat negara Asia tadi
adalah sinyal bahwa untuk jangka panjang bukan tidak mungkin Indonesia terus
dalam perangkap pertumbuhan di bawah 5% per tahun. Sinyal itu bisa diperdalam
lewat dua hal, yakni pertumbuhan porsi penguasaan pasar, dan daya saing
komoditas dan jasa yang dijual ke pasar dalam maupun luar negeri. Tanpa
kemajuan progresif dalam mendapatkan porsi pasar global dengan
komoditas-komoditas bernilai tambah, maka sandaran Indonesia hanyalah
faktor-faktor alamiah seperti jumlah penduduk yang besar sebagai pasar,
kekayaan alam dan posisi geografis. Tetapi, dengan sandaran
itu, ekonomi Indonesia maksimal hanya akan tumbuh di kisaran 5% per tahun,
ditambah kerentanan untuk mengalami kontraksi bila krisis datang lagi melanda
Indonesia. Pertumbuhan rata-rata di kisaran 5% di masa normal, lalu didatangi
krisis sekali saja dalam kurun waktu 20 tahun, itulah yang membuat ekonomi
Indonesia untuk jangka panjang hanya akan tumbuh rata-rata di bawah 5% per
tahun. Berkaca pada data historis
yang disertai perbandingan beberapa negara yang relevan seharusnya membuat kita
sadar bahwa Indonesia lemah dalam strategi dan kontrol strategi kebijakan
ekonomi jangka panjang yang menghasilkan surplus produksi untuk barang-barang
bernilai tambah tinggi, baik untuk mengamankan pasar domestik maupun
menguasai pangsa pasar global dalam porsi signifikan. Makin tingginya impor
barang-barang konsumsi dan porsi penguasaan pasar ekspor Indonesia yang belum
pernah menembus 1% terhadap total pasar dunia adalah juga data untuk
bercermin. Itulah jalan yang dilewati
negara-negara Eropa dan Amerika Utara, kemudian Jepang, dan negara-negara
Asia Timur, seperti Korea Selatan, Taiwan, Singapura dan Hongkong. Kesemua
negara-negara Asia Timur ini adalah negara-negara yang miskin sumber daya
alam. Dengan produk-produk bermuatan ilmu pengetahuan dan teknologi,
negara-negara itu mencapai pertumbuhan ekonomi yang rata-rata tinggi untuk
jangka waktu dua dekade penuh atau lebih. Meskipun Indonesia tidak
bisa dibandingkan dengan China untuk faktor politik, langkah-langkah
teknokratik China telah menjadi contoh terbaik dalam 40 tahun terakhir. Pasca
kejayaan Jepang dan empat kekuatan ekonomi Asia Timur yakni Korea Selatan,
Taiwan, Hongkong dan Singapura, China masuk ke gelanggang dengan pergerakan
superspektakuler, atau melebihi pergerakan yang pernah diraih Jepang dan
empat kekuatan ekonomi Asia Timur sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi
rata-rata per tahunnya dalam kurun waktu 1980 – 2020 sebesar 9,5%! Pangsa
pasar globalnya tumbuh dari 1,19% tahun 1990 menjadi 11% di tahun 2018. Saat
ini, China menjadi negara dengan cadangan devisa terkuat di dunia. Tetapi, mengiringi langkah
China, sebetulnya ada dua negara yang melakukan pergerakan yang sama dan
patut menjadi tempat bercermin bagi Indonesia, yakni Vietnam dan India.
Pergerakan dua negara terakhir ini memang tidak sespektakuler China. Tetapi
capaian angka pertumbuhan ekonomi keduanya sangat spektakuler. India dalam kurun waktu
1998-2020 meraih pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,15% per tahun. Di pasar
global, produk ekspor India sudah meraih pangsa pasar 2,2% di tahun 2018,
dibanding masih 0.55% di tahun 1990. Sementara Vietnam terhitung sejak tahun
1998 hingga tahun 2020 kemarin, pertumbuhan ekonominya rata-rata per tahun
mencapai 6,22%, atau untuk tingkat dunia, Vietnam berada pada posisi kedua
setelah China. Sebagai bahan untuk bercermin, pertumbuhan ekonomi rata-rata
Indonesia per tahun selama 1998-2018 hanyalah 4,18%. Jika beberapa lembaga
kredibel memprediksi ekonomi Vietnam akan kembali tumbuh dengan angka 7% di
tahun 2021 ini, seperti di tahun sebelum pandemik Covid-19, dan India
diprediksi akan tumbuh positif 8% di tahun 2021 dengan tahun anggaran yang
disesuaikan, mengapa pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi hanya akan
tumbuh sekitar 4,5%? Di sinilah kita perlu melihat sumber pertumbuhan ekonomi
Indonesia secara struktural untuk dibandingkan dengan China, Vietnam dan
India. Apa yang membuat tiga
negara, China, India dan Vietnam yang hingga tahun 1990 pendapatan per
kapitanya masih jauh di bawah Indonesia tetapi tampil dengan pertumbuhan
ekonomi jangka panjang tertinggi di dunia selama tiga dekade tidak lain
adalah karena keberhasilan mereka meletakkan fondasi ekonomi, lalu membangun
dan menjaga struktur ekonomi mereka yang berorientasi jangka panjang. Perkembangan pertumbuhan
pangsa pasar dan kualitas komoditas India dan Vietnam di pasar global cukup
untuk membuat Indonesia bercermin bahwa Indonesia memang makin tertinggal.
Dua dekade terakhir, India dan Vietnam melangkah pasti memperbesar pangsa
pasar globalnya. Tahun 1990 India dan Vietnam masing-masing hanya punya
pangsa 0,55% dan 0,06%. Kini (data ekspor 2018), India sudah punya lebih dari
2,2% dan Vietnam 1.00%. Pertumbuhan pangsa pasar
kedua negara ini juga diiringi dengan perubahan struktur komoditas ekspor
dari didominasi komoditas primer ke komoditas produksi industri. Nilai ekspor
peralatan mesin elektronik Vietnam, misalnya, melonjak dari US$ 7 miliar
tahun 2010 ke US$ 132 miliar di tahun 2019! Angka ini belum termasuk ekspor
mesin lainnya di kelompok IT dan komputer yang nilainya mencapai US$ 17,5
miliar pada tahun 2019. Bagaimana dengan
Indonesia? Selain prestasi pangsa pasar ekspor Indonesia belum pernah tembus
ke angka 1% terhadap total ekspor dunia, dari segi komoditas ekspor Indonesia
pun masih bertahan di sektor primer seperti hasil pertanian dan pertambangan
yang menurunkan daya dukung lingkungan sekaligus mengurangi harta negara atau
deposit sumber daya alam. Nilai ekspor barang mesin
dan peralatan elektronik Indonesia tahun 2019 hanya US$ 8,5 miliar. Sedangkan
untuk barang mesin yang berhubungan dengan komputer pada tahun 2019 hanya US$
5,4 miliar. Mari bandingkan dengan Vietnam yang ekspor barang mesin dan
peralatan elektroniknya di tahun 2019 sudah mencapai US$ 132,2 miliar dan
barang mesin yang berhubungan dengan komputernya mencapai US$ 17,7 miliar. Sementara India, walau
masih jauh di bawah Vietnam, ekspor barang mesin elektronika dan mesin
komputer India cukup jauh meninggalkan Indonesia. Masing-masing nilai ekspor
India dari kedua komoditas tadi adalah US$ 21,2 dan US$ 14,7 miliar. Namun,
selain pangsa ekspor dunianya India dua kali lipat dari Vietnam, komoditas
ekspor India sudah didominasi oleh barang-barang industri yang bernilai
tambah, seperti kendaraan, produk baja, produk-produk kimia dan farmasi,
ditambah dengan komoditas ekspor industri kecil dan rumah tangga seperti
pakaian dan perhiasan. Berdasarkan data empiris
di atas, munculnya pikiran agar Indonesia ke depan perlu fokus kepada pasar
dalam negeri saja sangat berpotensi membuat Indonesia terus berada dalam
perangkap pertumbuhan jangka panjang rata-rata di bawah 5% per tahun.
Sementara, untuk mengurangi ketertinggalan dari China dan menghindari disusul
dan dilampaui oleh Vietnam dalam pendapatan per kapita, Indonesia perlu
meraih pertumbuhan rata-rata 6% per tahun untuk dua dekade. Untuk meraih itu, langkah
yang benar tentulah kembali kepada kesadaran untuk menaikkan kembali
sumbangan sektor manufaktur ke angka di atas 20% terhadap PDB, dan menggenjot
produksi produk-produk bernilai tambah guna mengisi pasar dalam dan merebut
pasar luar negeri, seperti yang sudah terbukti dilakukan Jepang, Korea
Selatan, Taiwan, China, India dan Vietnam. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar