Terkurung
dalam Cangkang Kesepian Putu Fajar Arcana ; Penulis Kolom “Sosial Budaya” Kompas |
KOMPAS, 09 Juni 2021
Percakapan dua sahabat
yang sudah sama sepuh bisa melantur ke mana-mana. Estragon dan Vladimir telah
menunggu Godot berhari-hari di sebuah petang dalam naungan pohon yang
meranggas. Awalnya, mereka meragukan dirinya sendiri, apakah benar telah
berjanji bertemu Godot di bawah pohon tua itu? Apakah ini hari Sabtu, sepertinya
sama saja dengan Minggu? Jangan-jangan ini hari Kamis? Dalam percakapan serba
pelan, tetapi mengusik, keduanya saling bertanya lagi: apakah benar orang
bernama Godot yang mereka tunggu? Sesungguhnya untuk apa mereka menunggu?
Mungkin minta semacam saran atau doa untuk menemukan kepastian (hidup). Samuel Beckett, penulis
lakon berjudul Menunggu Godot (1952), tak pernah secara lugas mengakui bahwa
kisah penantian Estragon dan Vladimir sebagai drama paling absurd dalam hidup
manusia. Pertanyaan hakikat tentang siapa sesungguhnya diri kita dan untuk
apa kita ada (di sini) menjadi semacam penantian yang tak kunjung berakhir.
Jika Rene Descartes jauh-jauh hari seolah memberi jawaban tentang pertanyaan,
mengapa kita berada di sini hari ini, dengan sebaris kalimat, cogito ergo
sum, nyatanya sampai kini tak menuntaskan pencarian manusia. Bahwa ”aku berpikir maka
aku ada”, bagi Beckett tidaklah sesederhana hidup Estragon dan Vladimir.
Pengendalian pikiran oleh sebuah kekuatan ”besar” di luar diri, yang ditolak
oleh Descartes mengingat berpikir telah membuktikan eksistensi manusia, seakan didramatisasi
dalam lakon dua babak itu oleh Beckett. ”Godot” adalah ”seseorang” atau
”sesuatu” yang ada di luar diri manusia dan sejauh ini seluruh pertanyaan
tiada guna mempertanyakan keberadaannya. Setiap pertanyaan membentur dinding
absurditas yang tebal. Ini serupa dengan pencarian diri orang-orang Jawa,
yang dinukilkan dalam ungkapan ”manunggaling kawula lan Gusti”. Bahwa
pencarian akhir dari pengembaraan manusia justru menemukan kebenaran itu di
dalam diri, yakni ”bersatunya” diri dengan Tuhan. Usaha menunggu Godot,
bahkan membuat Estragon dan Vladimir nyaris frustrasi. Keduanya sempat
berpikir ingin menggantung diri di ranting pohon tua di dekat sebuah bukit kecil, di mana mereka
menunggu ”seseorang”. Namun, usaha bunuh diri tak sepenuhnya memecahkan
persoalan karena mereka justru berharap pada diri Godot. Jawaban dari
penantian panjang sampai usia renta ada pada diri Godot. Kalau kau perhatikan,
negeri maju dan modern seperti Jepang sedang berada diambang ”kebangkrutan”
moral. Banyak ahli telah menduga bahwa angka peristiwa ”aksi” bunuh diri yang
melebihi angka kematian akibat terpapar Covid-19 bermula dari perasaan
kesepian. Laman Kompas.id, Kamis (27/5/2021), mencatat, sepanjang tahun 2020,
sebanyak 20.919 warga Jepang mati bunuh diri. Angka ini melebihi angka
kematian akibat Covid-19, yang berjumlah 3.460 orang pada periode waktu yang
sama. Celakanya, di kalangan pelajar dan anak muda, jumlah kematian akibat bunuh
diri sebanyak 499 orang. Angka ini menjadi angka tertinggi sejak 1980 dan
jika dibandingkan tahun 2019, kenaikannya mencapai 140 persen! Tentang para pelajar dan
anak muda itu, ”Mereka cemas akan masa depan. Mereka tidak tahu harus
melakukan apa. Dulu bisa melepaskan ketegangan dengan berbicara kepada teman.
Sekarang ke karaoke saja tidak bisa,” kata Akiko Mura, seorang konselor di
Pusat Bunuh Diri Tokyo, seperti dilansir Kompas.id. Tak main-main Perdana
Menteri Jepang Yoshihide Suga tercengang akan peningkatan jumlah kasus bunuh
diri akibat kesepian di Jepang. Oleh sebab itu, ia menunjuk Tetsushi Sakamoto
menjadi menteri yang mengurusi cara warga Jepang mengatasi kesepian. Seorang teman dosen
kebudayaan yang tinggal di Yokohama, Maiko Nakano, sering kali berkata
kepadaku bahwa kehidupan di Jepang sangat monoton. Orang-orang muda banyak
yang frustrasi karena tak tahu tujuan hidup. Bahkan, di antara anak muda yang
bekerja pun frustrasi karena penghasilan mereka dipotong pemerintah untuk
menyubsidi orang-orang tua, yang terus berusia makin panjang. ”Ini absurd ya? Kami
bekerja keras, tetapi untuk para orang tua, yang tak mati-mati…,” katanya
dengan nada ketus. Di sisi lain, anak-anak muda cepat mengambil keputusan
bunuh diri jika merasa tak menemukan jalan keluar dari kesepian yang
mencekam. ”Ada degradasi moralitas yang mencekam, saya takut,” katanya. Maiko merasa beruntung
karena memiliki banyak teman di luar negeri. Jadi, dia bisa menikmati
kesendirian, tanpa takut dibekap oleh perasaan ingin bunuh diri. ”Saya bisa
terbang ke Bali kalau nanti sudah tua,” katanya. Biasanya, kata Maiko,
kesepian di Jepang seperti hantu. Tidak saja anak-anak muda, tetapi
orang-orang tua, yang ditinggal pasangan juga kesepian. Otak manusia, kata
Maiko, akan rusak kalau tiga hari tidak tidur misalnya. ”Kalau sudah rusak
bisa sakit jiwa dan keputusannya bunuh diri agar tak memberatkan orang lain,”
tutur Maiko. Jika Estragon dan Vladimir
meletakkan Godot, sebagai the others, subyek lain di luar dirinya, untuk
terus berupaya memelihara harapan dalam penantian, orang-orang Jepang tidak
mengenal konsep ”orang lain”. Mungkin mereka seperti yang diucapkan oleh
penyair Chairil Anwar, ”Bukan maksudku mau berbagi nasib/nasib adalah
kesunyian masing-masing…//” (Pemberian Tahu-1946). Banyak anak-anak yang
terkurung di apartemen sendirian karena orangtua mereka sibuk bekerja. Namun,
kata Maiko, kebanyakan kasus bunuh diri pelajar dan anak muda karena
”ditindas” di sekolah, lalu mereka tak punya tempat untuk berbagi duka. ”Ya
intinya memang kesepian,” kata perempuan yang lama menetap di Bali dan
Jakarta itu. Estragon dan Vladimir
mengurungkan niatnya bunuh diri justru karena ada Godot. Dalam filsafat
Timur, barangkali Godot tak lain adalah Tuhan atau Acintya, sesuatu yang
tidak terpikirkan, bahkan tidak terbayangkan. Oleh sebab itulah, seperti yang
sudah kukatakan pekan lalu, Tuhan itu wyapi wyapaka nirwikara, Tuhan berada
di mana-mana, termasuk dalam diri manusia, dan tidak berubah karena Ia kekal.
Ketika orang-orang tua
mencoba menanti Godot di bawah pohon besar yang meranggas, dalam pandangan
Timur, Beckett telah bermain-main di wilayah simbol. Orang tua dan pohon
meranggas, dua metafora dengan makna bersisian. Bukankah keduanya sedang
sama-sama menunggu dilindas usia? Apalagi yang bisa dilakukan seorang tua di
tapal batas usia? Selain pikiran-pikiran yang melantur dan ingatan yang
terjebak pada masa muda yang cemerlang, cuma bayangan tentang hari kematian
yang setiap hari menjadi hantu. Kapankah nyawa akan meloncat dari tubuh tua
ini, lalu roboh di padang gersang di bawah pohon meranggas? Beckett pengikut setia
rasionalisme. Ia tidak mau terjebak dalam permainan dogma. Coba kita simak
dialog di bagian akhir dari lakon ini. Aku menggubahnya menjadi bentuk yang
lebih prosais: ”Kenapa kita tidak gantung
diri?” kata Estragon. ”Dengan apa?” tanya
Vladimir. ”Kau bahkan tak punya
seutas tali?” ”Tidak.” ”Kalau begitu kita tidak
bisa melakukannya,” ujar Estragon. (Hening) ”Ayo pergi,” kata Vladimir
kemudian. ”Tunggu. Ada sabukku.” ”Tapi terlalu pendek.” ”Kau dapat bergantung pada
kakiku.” ”Lalu siapa yang
bergantung di kakiku?” Vladimir bertanya. ”Benar.” ”Semuanya sama saja…” (Estragon mengendurkan
tali yang menggantung di celananya yang kedodoran untuknya, jatuh di sekitar
mata kakinya. Mereka melihat tali yang jatuh). ”…kita mungkin dapat
berhasil dengan menggunakan jepitan. Tapi apakah tali ini cukup kuat?” tambah
Vladimir. ”Kita akan segera tahu.
Ini…” (Mereka masing-masing
memegang ujung tali dan menariknya. Tali itu putus. Mereka hampir jatuh). ”Tidak lebih dari sebuah
kutukan.” (Hening) ”Katamu kita harus kembali
besok?” kata Estragon. Tidak bisa tidak, kita
harus mengartikan bahwa Godot itu sebuah harapan yang menghampar di
cakrawala. Sejauh-jauh pergi, kau tidak akan mungkin meraihnya. Kau hanya
mampu merasakan kesejukan dan kedamaian yang mengalir dari matamu, kemudian
memenuhi bilik-bilik di dalam hatimu. Dalam setiap napasmu kemudian kau bisa
merasakan kehadirannya. Bukti bahwa kau masih memahami dirimu sendiri,
sebenarnya ketika kau menyadari bahwa kau masih bernapas. Udara yang keluar
masuk tubuhmu adalah bukti eksistensimu di dunia ini. Mungkin di situlah kita
berpisah jalan dengan Descartes yang sebagaimana juga Beckett ”terlalu”
rasional. Rasionalitas terbukti tak mampu menjawab, mengapa anak-anak muda di
Jepang mengambil ”jalan pintas” bunuh diri? Apakah benar mereka terkurung
dalam cangkang kesepian yang mencekam? Maiko memang merujuk
kepada tradisi harakiri di zaman Samurai sekitar abad ke-12 Masehi. Tradisi
ini kemudian makin meluas pada era Restorasi Meiji tahun 1868, di mana
tindakan bunuh diri dilakukan seorang ksatria Samurai untuk mengembalikan
kehormatan. Prinsipnya, kata Maiko, lebih baik mati daripada hidup menanggung
malu. ”Masih banyak orang Jepang
berpikiran bunuh diri itu terhormat,” kata Maiko. Jujur aku tercenung.
Pernyataan ini melayangkan ingatanku pada sebuah hutan bernama Aokigahara, di
barat laut Gunung Fuji, kira-kira 100 kilometer sebelah barat Tokyo. Di hutan
seluas 30 kilometer persegi ini masih sering dijumpai orang-orang Jepang
melakukan aksi gantung diri. Dulu, hutan yang lebat ini pernah dipergunakan
sebagai ubasute, sebuah ”ritual” mengasingkan para manula agar tidak
memberatkan kehidupan keluarga. Sebuah puisi anonim
tentang ubasute berbunyi begini: ”//Di kedalaman pengunungan/untuk siapa ibu
tua itu patah/Satu ranting demi satu?/Tidak perduli pada diri/Dia
melakukannya demi putranya…//”. Kalau kita coba memikirkan
bunuh diri, harakiri, dan ubasute di Jepang, semuanya tentang kehormatan
dengan cara ”melenyapkan” diri dari ”permainan”’ absurditas hidup.
Pertama-tama jalan kematian ditempuh karena kungkungan cangkang kesepian,
sesudahnya kehormatan menjadi pertimbangan, agar tak memberatkan mereka yang
hidup. Namun, kehormatan apa yang hendak digapai oleh Estragon dan Vladimir
kalau mereka tahu Godot itu tak kunjung datang? Kehormatan terkadang hanya
berupa untaian doa, yang kalau kita rapalkan terus-menerus akan menerbitkan
cahaya dari kedalaman hatimu. Jadi kapan Maiko ke Bali? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar