Pajak
Karbon, Beban atau Dividen untuk Negara? Lury Sofyan ; Alumnus Doctoral Program in Behavioural
Economics, University of Nottingham, UK; Koordinator Indonesia Behavioural
Economics Forum |
KOMPAS, 09 Juni 2021
Konferensi Perubahan Iklim
atau Climate Change Conference of the Parties (COP26) akan diselenggarakan
pada November 2021. Glasgow, Inggris, akan menjadi tuan rumah tahun ini.
Salah satu isu krusial yang akan dibahas adalah penanganan emisi karbon. Isu
ini mengemuka di Indonesia seiring persiapan konferensi tersebut. Pajak karbon masuk dalam
rancangan perubahan Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) yang masuk
dalam program legislasi nasional (prolegnas) tahun ini. Namun, sejak satu
dekade lalu pajak karbon sudah menjadi isu hangat di berbagai negara
berkembang. Sejak 2009, Indonesia
menerbitkan pedoman kebijakan ekonomi dan fiskal berkelanjutan yang tercantum
dalam Green Paper Ministry of Finance. Dalam dokumen tersebut, Pajak karbon
menjadi poin penting sebagai alat untuk mendorong pelaku usaha agar beralih
ke energi terbarukan. Hal ini dipicu oleh fakta
sejak 2009 total emisi negara berkembang mencapai 53,3 persen, atau melampaui
negara maju yang sebesar 46,6 persen (EDGAR, 2009). Selain itu, pertumbuhan
populasi juga menjadi faktor pendorong peningkatan emisi di negara
berkembang. Terlebih, populasi penduduk negara berkembang sudah mencapai 75
persen penduduk dunia (Todaro et al., 1995). Selain pajak karbon, pendekatan
cap-and-trade juga digunakan untuk mengurangi emisi karbon. Dalam
cap-and–trade, terlebih dahulu ditentukan batas atas (cap) jumlah emisi
karbon yang diperbolehkan. Setelah itu, jumlah tersebut akan dilelang ke
pasar dan pemenang akan mendapatkan sejenis ”hak” untuk mengeluarkan karbon.
Cap-and–trade memerlukan pengaturan yang lebih kompleks dan diperlukan
kelembagaan baru untuk menerapkannya. Dibanding cap-and-trade,
pajak karbon lebih mudah untuk diadopsi karena lebih sederhana dan
pengelolaannya dapat dilekatkan pada institusi perpajakan yang sudah ada.
Pajak karbon dikenakan berdasarkan jumlah karbon yang dikeluarkan. Hal ini
dapat dilakukan dengan menerapkan pajak karbon pada industri hulu energi
berdasarkan jumlah rata-rata karbon per ton yang terdapat pada setiap energi
tersebut. Namun, seperti halnya
kebijakan perpajakan lain, sangat sulit mengenalkan jenis pajak baru kepada
para pelaku ekonomi. Sebab, pajak tidak hanya berkaitan dengan kepentingan
bisnis, tetapi juga ranah politik. Tak heran jika konsep pajak karbon yang
dahulu telah diinisiasi hilang dalam dalam perjalanan. Dividen
pajak karbon Berefleksi atas kondisi di
atas, penting untuk menjadi diskursus bersama adalah memahami lebih jauh
manfaat pajak karbon bagi bangsa dan negara Indonesia secara utuh agar
persepsi kita tidak bias dan salah kaprah. Sejatinya, keengganan
mengadopsi pajak karbon karena kepentingan segelintir pihak atau kepentingan
sesaat saja melupakan generasi masa depan tidak menggentarkan ikhtiar baik
untuk mendulang dividen dari pajak karbon. Setidaknya, ada tiga
dividen yang dapat diperoleh melalui pajak karbon. Pertama, memberikan sinyal yang tepat
kepada pelaku ekonomi untuk beralih ke energi terbarukan. Dengan meningkatnya
harga barang berkadar karbon tinggi (carbon intensive goods), pelaku pasar
akan mendapatkan insentif untuk mencari produk alternatif sehingga
menggerakkan inovasi produk-produk ramah lingkungan. Ini sangat penting jika
Indonesia ingin memiliki industri domestik dan budaya konsumsi yang siap
bersaing dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di belahan dunia lain
yang mengarah pada energi terbarukan. Kedua, pajak karbon dapat
mengurangi kesenjangan ekonomi. Studi yang dilakukan Azis dan Resosudarmo
(2007) menggarisbawahi hal ini. Studi dengan metode berbeda oleh Sofyan
(2011) juga menemukan hal yang sama bahwa pola pengeluaran (expenditure
pattern) di Indonesia menjadi faktor pembedanya. Di Indonesia, konsumsi
energi memiliki hubungan linier dengan pendapatan— semakin kaya seseorang, semakin
besar konsumsi energinya. Efek progresivitas ini
dapat mempersempit kesenjangan ekonomi. Sebagai contoh, simulasi oleh Sofyan
(2011) menemukan bahwa pajak karbon sebesar Rp 280.000 per tCO2 berpotensi
mengurangi indeks kesenjangan ekonomi 1,6 basis poin. Efek ini bahkan berpotensi
menjadi lebih besar ketika pendapatan dari pajak karbon dikembalikan ke
ekonomi (revenue cycling). Pajak karbon dapat memberikan tambahan penerimaan
negara dan ini menjadi dividen ketiga yang sangat menguntungkan. Penerimaan negara dari
pajak karbon memang bukan menjadi tujuan utama, tetapi memiliki dana ekstra
seperti itu akan sangat membantu mengatasi ekses marginal yang disebabkan
oleh pajak karbon seperti kenaikan harga BBM dan barang atau jasa lainnya.
Antisipasi terutama diperlukan untuk kalangan berpendapatan rendah ketika ada
kejutan inflasi yang memberatkan rakyat kecil. Antisipasi
dampak lain Walaupun risiko di atas
dapat muncul dalam jangka pendek, pada jangka menengah-panjang, jalur
pertumbuhan ekonomi dapat kembali normal bahkan lebih sehat karena didorong
oleh industri produk ramah lingkungan. Dengan insentif yang
berikan oleh pajak karbon kepada produk berkarbon rendah, industri produk
ramah lingkungan ini menjadi berkembang, budaya konsumsi baru pun tumbuh
menggerakkan roda ekonomi di keseimbangan baru. Seperti halnya yang terjadi
di Swedia, pajak karbon berhasil mengurangi 26 persen emisi karbonnya dalam
waktu 27 tahun, dalam waktu itu, perekonomian tumbuh 78 persen
(thebalance.com). Belajar dari kesalahan
masa lalu, kebijakan yang hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi saja tanpa
menghiraukan lingkungan akan berbahaya dalam jangka panjang. Pajak karbon
berpotensi memadukan dua kepentingan yang sering bertolak belakang ini, yaitu
pertumbuhan (growth) dan keberlangsungan (sustainability). Sementara pajak karbon
berpotensi memberikan dividen yang berharga bagi keberlanjutan dan
kebersaingan sistem perekonomian kita, ada isu perubahan iklim lain yang
belum tersentuh dan butuh perhatian ekstra. Pajak karbon berpotensi
mengurangi emisi karbon yang bersumber dari kegiatan manusia seperti proses
industri, transportasi dan kegiatan lain yang berhubungan dengan penggunaan
tenaga fosil. Namun, emisi karbon yang
bersumber dari pemanfaatan hutan dan penggunaan lahan lain (forestry and
other land use/FOLU) yang merupakan porsi terbesar dari emisi karbon di
Indonesia perlu juga menjadi perhatian. Kebijakan pajak karbon harus juga
diselaraskan dengan upaya pengurangan emisi karbon dari sumber tersebut. Tidak kalah penting, upaya
mikro untuk menyasar sisi permintaan (demand side) melalui perubahan perilaku
(behavioural change) juga harus dilakukan. Pendekatan ini menyasar agar
perilaku konsumsi masyarakat lebih bertanggung jawab. Guna mencapai target
emisi karbon yang diharapkan, perlu orkestasi yang baik antara instrumen
pajak karbon dan instrumen lainnya. ● |
Terimakasih Sharingnya, sangat bermanfaat
BalasHapusmungkin link berikut bisa menjadi tambahan referensi untuk pembahasan selanjutnya
https://www.krishandsoftware.com/blog/1022/penerapan-pajak-karbon-di-indonesia/
Dalam artikel pajak karbon sebelumnya sudah kita bahas pengertian dan gambaran umum mengenai pajak karbon. Pada artikel kali ini kita akan dibahas lebih lanjut mengenai peta jalur pajak karbon. Sebelum itu kita bahas terlebih dahulu mengenai latar belakang adanya pajak karbon. Selengkapnya di https://www.krishandsoftware.com/blog/1055/peta-jalur-pajak-karbon/
BalasHapus