Setelah
Dua Gerhana (Tanggapan Sekaligus Berita Baik untuk Aminudin TH Siregar dan
Hendro Wiyanto) Yuswantoro Adi ; Pelukis yang menulis seni rupa |
KOMPAS, 27 Juni 2021
Gerhana terjadi manakala
Bumi atau Bulan menghalangi sinar Matahari. Ketika terhalang oleh Bumi,
disebut gerhana Bulan. Giliran oleh Bulan, namanya gerhana Matahari. Saya tidak berani
menentukan siapa di antara Ucok (Aminudin Th Siregar) dan Hendro Wiyanto yang
pantas menjadi bumi atau bulannya. Namun, maaf, esai keduanya kemarin memang
menyerupai gerhana bagi Seni Rupa Indonesia. Bagaimana tidak, keduanya
pesimistis, setidaknya kurang optimistis, memandang kondisi seni rupa hari
ini. Ini mengecewakan karena sesungguhnya kedua tokoh pintar itu punya
potensi untuk menjadi matahari. Bung Ucok menyebut betapa
infrastruktur seni rupa, koleksi negara, museum, pameran, pasar dan
seterusnya dalam nada menyedihkan. Lalu menawarkan ”historiografi penyadaran”
dengan menggunakan tulisan Joebaar Ajoeb yang menakjubkannya sebagai
ilustrasinya. Bung Hendro pada awalnya mengaku bingung. Kemudian menjelaskan
tentang isi dan sisi peristiwa sekitar tulisan yang dimaksud. Lancar ia
menengarai Ucok sebagai menggunakan jurus gerhana, celakanya ia ikut-ikutan
menggerhana di akhir esainya. Menurut saya,
infrastruktur kita tak sebegitu menyedihkan. Mari kita urai mulai dari
koleksi negara. Presiden Soekarno memiliki ribuan koleksi karya seni rupa
yang kini menjadi milik negara. Presiden Soeharto sejatinya juga seorang
kolektor. Kini hampir semuanya (barangkali bersama koleksi istri, anak dan
atau keluarganya), tersimpan di Graha Lukisan TMII. Sayangnya, itu bukan
milik negara. Tapi, kita masih boleh berharap, kini Taman Mini telah dikembalikan
kepada negara. Saya tak cukup memiliki informasi tentang dua presiden
selanjutnya, BJ Habibie dan Gusdur; adakah mereka juga mengoleksi karya seni? Barangkali Presiden
Megawati tidak menambahi koleksi, tetapi setidaknya beliau telah merapikan
catatan tentang koleksi negara. Presiden SBY di akhir periode jabatannya
memesan langsung kepada beberapa pelukis, lalu memajangnya di ruang koleksi
negara bernama Balai Kirti di Istana Kepresidenan Bogor. Presiden Jokowi
telah membeli beberapa karya seni atas nama negara. Saya mendengar beliau
menjanjikan kepada pelukis Djokopekik; lukisannya yang barusan dikoleksi oleh
negara akan dipajang di istana di ibu kota baru nantinya. Museum Seni Rupa dan
Keramik kita harus diakui memang relatif stagnan. Meski Galeri Nasional
membantu sebisanya menambahi jumlah koleksinya sedikit. Di luar itu,
nonpemerintah, swasta, dan atau perorangan, toh, memiliki museun yang sama
sekali tidak sempit. Museum Pelita Harapan, Museum Macan, Museum OHD, Museum
Sampoerna, Museum Dedi Kusuma, dan Museum Tumurun adalah beberapa di
antaranya. Sekadar informasi perupa
Nasirun di Yogyakarta memiliki semacam museum kecil dengan mengoleksi karya;
Fadjar Sidik, Nashar, Emiria Sunasa, Umi Dahlan, Nunung WS, Soenarto PR,
Motinggo Busye, dan banyak lagi. Hebatnya, Nasirun juga memiliki karya tokoh
pahlawan besar, saya tidak pernah mengiranya ternyata pintar melukis; Ki
Hajar Dewantoro. Setidaknya ada dua gambar beliau telah terkoleksi. Termasuk
berbagai nama perupa yang karyanya tidak atau belum ada di semua museum di
atas. Semua tahu bahwa pasar
seni rupa tak segegap gempita dulu. Ditambah dengan pandemi, ia makin lesu.
Namun, itu semua tak menyurutkan semangat berkesenian para perupa.
Optimistis. Itulah yang saya ketahui dan tengah terjadi di Jogja. Tentang
kenapa Jogja, karena di sanalah ”ibu kota” Seni Rupa Indonesia dan apa boleh
buat, pandemi memaksa saya tidak boleh ke mana-mana. Frasa ”gagal paham seni
rupa” yang digerhanakan oleh dua Bung Penulis sebelum ini rasanya berlebihan.
Aneka diskusi, seminar, debat seni rupa, webinar, dan sejenisnya masih tetap
berlangsung. Pameran jalan terus. Tak melulu harus bersifat virtual atau
daring, secara fisik pun juga ada meski harus ketat memenuhi protokol
kesehatan. Yang bersifat regular, seperti Artjog dan Yogyakarta Annual Art
(YAA), berjalan sesuai dengan jadwalnya. Yang bukan regular tak terhitung
jumlah peristiwanya. Peristiwa kesenian itu
terselenggara di banyak tempat, juga sejumlah ruang atau, katakanlah, galeri
yang merupakan kontribusi nyata dari para perupa di Daerah Istimewa
Yogyakarta. Sebutlah Sarang milik Jumaldi Alfi, Sangkring (Putu Sutawijaya),
Studio Kalahan (Heri Dono), Cemeti (Nindityo dan Mella Jaarsma), Pendhapa
(Dunadi), Tahunmas (Timbul Raharjo), dan akan terlalu panjang jika dituliskan
secara terperinci. Puji Tuhan, alhamdulillah
banyak pameran tersebut bukan menampilkan wacana belaka, melainkan juga
disambut baik oleh pasar. Menurut informasi yang saya terima, pameran YAA#5
di Sangkring pada pertengahan tahun kemarin, terjadi di tengah masa pandemi,
berhasil menjual cukup banyak karya dari perupa muda. Sebuah pameran besar yang
dikuti 78 perupa bertajuk ”Akara” di Gedung PDI Perjuangan Yogyakarta, saat
ini masih berlangsung, sudah terjual lebih dari sepertiganya. Angka yang terbilang
bagus untuk saat ini. Bahkan, saya mendengar kabar pameran Nadiah Bamadhaj di
Sarang baru-baru ini sold out alias terjual habis. Yang paling menggembirakan
adalah mendengar secara langsung pengakuan Heri Pemad bahwa pada tahun
pandemi ini, tepatnya Artjog 13 2020, justru mendapatkan penjualan karya
terbesar dan item terbanyak selama ini. Dengan kata lain,
sebetulnya kondisi seni rupa, wacana, dan tentu saja pasarnya baik-baik saja.
Sehat, segar, dan waras. Bahwa benar kami mendengar adanya aksi obral-brutal
lukisan, dengan diskon hingga 90 persen, di luar sana. Ya itu memang
menyakiti, tetapi perupa Jogja tidak mau terlalu terpengaruh, senantiasa
tegar dan lantang berseru, ”Masa bodoh dengan semua itu!” Satu lagi berita baik
untuk kalian, wahai Bung-Bung. Setelah berhasil membuka jurusan/program studi
baru, yakni Tata Kelola Seni, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta akan
segera membuka jurusan Sejarah Seni yang kelak menghasilkan sarjana Art
Historian. Salah satu elemen penting seni rupa yang belum banyak kita miliki
saat ini. Pandemi korona memang
memaksa kita menunda bahkan menghentikan kegiatan. Ia bersifat gelap laksana
gerhana. Ia memerintah kita untuk terus-menerus menyesuaikan diri pada apa
yang disebut sebagai adaptasi terhadap kebiasaan baru: New Normal. Namun,
jangan lupa, bukan kebetulan bernama sama: Corona adalah keindahan luar biasa
sekaligus membahayakan dilihat dengan mata telanjang, berupa cincin cahaya
yang kemilau. Terjadi sesaat, hanya sesaat ketika gerhana, terutama pada Gerhana
Matahari Total, mencapai puncaknya. Setelahnya berangsur kembali terang.
Selanjutnya akan terus terang benderang. Demikian pula Seni Rupa Indonesia. Salam dari ibu kota, Jogja
bung. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar