Mesir-Qatar,
dari Lawan Menjadi Kawan Musthafa Abd Rahman ; Wartawan Kompas di Kairo, Mesir |
KOMPAS, 11 Juni 2021
Kata para pakar politik,
tidak ada kawan atau lawan abadi di dunia politik, kecuali kepentingan yang
abadi. Inilah yang terjadi dalam hubungan bilateral Mesir-Qatar. Mesir adalah negara Arab
terbesar dari sisi jumlah penduduk dengan penduduk sekitar 101 juta jiwa.
Adapun Qatar adalah negara Arab kecil dari segi penduduk dan geografis, yakni
hanya memiliki penduduk sekitar 2,7 juta jiwa dan luas wilayah 11.581
kilometer persegi. Namun secara ekonomi,
Qatar merupakan salah satu negara terkaya di muka bumi ini. Dengan pendapatan
per kapita 66.202 dollar AS, negara ini menempati urutan keenam dunia dan
memiliki produk domestik bruto (PDB) 183,807 miliar dollar AS. Maka, Qatar sering disebut
negara kecil yang memiliki kekuatan ekonomi berlebihan. Inilah yang
menjadikan Qatar tergiur ingin membangun pengaruh di berbagai tempat di muka
bumi ini, khususnya Timur Tengah, jauh lebih besar dari kapasitasnya sebagai
negara kecil secara penduduk dan geografis. Hubungan bilateral
Mesir-Qatar pun mengalami dinamika yang cukup berliku-liku. Hubungan buruk
kedua negara yang terjadi hampir satu dekade terakhir, kini berubah menjadi
hubungan mitra, dan bahkan mendekati menjadi hubungan strategis pasca-perang
Gaza, Mei lalu. Kunjungan Menteri Luar
Negeri Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al-Thani ke Kairo pada 25 Mei
lalu dan menemui Presiden Mesir Abdel Fatah el-Sisi bisa disebut merupakan
titik balik hubungan kedua negara. Menlu Qatar Sheikh
Mohammed bin Abdulrahman Al-Thani saat bertemu Presiden El-Sisi menyampaikan
undangan resmi dari Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad Al-Thani kepada El-Sisi
untuk mengunjungi Doha. Menlu Qatar kepada wartawan menyampaikan, El-Sisi
adalah Presiden Mesir yang dipilih melalui proses pemilu yang sah. Qatar tampaknya perlu
menegaskan hal tersebut setelah selama ini Qatar dianggap meragukan legalitas
Presiden El-Sisi, karena kekuasaannya diraih melalui aksi menggulingkan
pemerintahan Presiden Muhammad Mursi yang berasal dari Ikhwanul Muslimin pada
2013. Hubungan bilateral kedua
negara pun mengalami keterpurukan pasca-penggulingan Presiden Mursi itu.
Qatar, yang berada dalam posisi mendukung gerakan Musim Semi Arab yang
menuntut demokratisasi di dunia Arab, dikenal pendukung Mursi. Maka, ketika
militer Mesir menggulingkan pemerintahan Presiden Mursi segera berdampak pada
terpuruknya hubungan Mesir-Qatar. Puncak terpuruknya
hubungan Mesir-Qatar terjadi pada saat kuartet Arab (Arab Saudi, Uni Emirat
Arab, Bahrain, plus Mesir) pada Juni 2017 melakukan blokade total atas Qatar,
dengan tuduhan Qatar mendukung gerakan teroris. Qatar membantah keras tuduhan
tersebut. Kuartet Arab tersebut
memutus hubungan diplomatik dengan Qatar dan melarang maskapai penerbangan
Qatar melewati teritorial udara kuartet Arab itu. Namun, suksesi kekuasaan di
Washington DC dengan tampilnya Joe Biden yang berasal dari Partai Demokrat sebagai
presiden baru Amerika Serikat pasca-kekalahan Presiden Donald Trump dalam
pemilu AS November 2020 berdampak atas terjadinya perubahan atmosfer politik
di kawasan Arab Teluk. Perubahan ke arah
berakhirnya blokade kuartet Arab atas Qatar dan sekaligus upaya rekonsiliasi
di Arab Teluk. Rekonsiliasi ini yang kemudian terwujud melalui forum KTT
Dewan Kerja Sama Teluk (Gulf Cooperation Council/GCC) di kota Al Ula, Arab
Saudi, pada Januari lalu. Hubungan bilateral
Mesir-Qatar pun ikut terderek oleh hasil KTT GCC. Kedua negara sepakat
membuka hubungan diplomatik lagi dan Mesir mengizinkan lagi maskapai
penerbangan Qatar terbang dari dan ke Mesir. Pejabat kedua negara juga saling
melakukan kunjungan ke Kairo dan Doha, yang sebelumnya tidak pernah terjadi selama
hampir satu dekade. Puncak membaiknya hubungan
Mesir-Qatar justru terjadi saat meletus perang dan pasca-perang Gaza. Kedua
negara mendadak menjadi pusat gerakan diplomasi dalam upaya gencatan senjata
di Jalur Gaza lantaran dua negara itu sama-sama punya hubungan kuat dengan
Hamas, faksi penguasa di Jalur Gaza. Mesir punya hubungan kuat
dengan Hamas dan faksi-faksi Palestina lainnya di Jalur Gaza karena faktor
utamanya adalah geografis, di mana Mesir merupakan satu-satunya akses darat
dari Jalur Gaza ke mancanegara. Adapun hubungan kuat
Qatar-Hamas karena sejumlah pemimpin teras Hamas, seperti Ismail Haniyah dan
Khaled Meshall, kini berdomisili di Doha. Qatar juga negara yang aktif
menyalurkan bantuan ke wilayah Jalur Gaza. Saat pecah perang Gaza, Mesir
dan Qatar bukan hanya membangun rivalitas, melainkan justru bergandengan
tangan berupaya mewujudkan gencatan senjata. Kerja sama Mesir-Qatar ini
menjadi faktor utama terwujudnya gencatan senjata di Jalur Gaza. Ini yang mengantarkan
Menlu Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman al-Thani mengunjungi Kairo pada
25 Mei lalu dan bertemu Presiden El-Sisi. Kunjungan itu menjadi isyarat
diplomatik tentang keinginan Qatar terus membangun kerja sama strategis
dengan Mesir terkait isu-isu di Timur Tengah, khususnya isu Jalur Gaza. Kerja sama strategis
Mesir-Qatar semakin menjadi keniscayaan saat ini dalam upaya menjaga
kelestarian gencatan senjata di Jalur Gaza, menyukseskan proyek rekonstruksi
Jalur Gaza, upaya rekonsiliasi Hamas-Fatah, dan mendorong dimulainya lagi
perundingan damai-Israel Palestina. Mesir dan Qatar pun sampai saat ini
adalah dua negara yang mengalokasikan dana terbesar untuk proyek pembangunan
kembali Jalur Gaza. Pada 19 Mei lalu, Presiden
El-Sisi mengumumkan, Mesir akan menyalurkan dana 500 juta dollar AS untuk
proyek pembangunan kembali Jalur Gaza. Kemudian pada 26 Mei, Qatar
mengumumkan akan menyalurkan dana 500 juta dollar AS untuk Jalur Gaza. Qatar tentu butuh Mesir
untuk proses penyaluran bantuannya tersebut karena alat berat dan bahan bangunan
yang akan dikirim harus melalui pintu gerbang Rafah antara Mesir dan Jalur
Gaza. Bahkan, uang tunai dari Qatar untuk bantuan kemanusiaan di Jalur Gaza
juga bisa melalui pintu gerbang Rafah. Ini pentingnya kerja sama
Mesir-Qatar untuk menyukseskan proyek rekonstruksi Jalur Gaza. Tanpa kerja
sama kedua negara, hal itu menjadi sulit melihat peluang suksesnya proyek
tersebut. Ini juga yang mengantarkan
Mesir dan Qatar kini disinyalir bekerja sama menjadi mediator perundingan
tidak langsung Israel dan Hamas soal tukar menukar tahanan. Faksi Hamas yang
berkuasa di Jalur Gaza diketahui masih menahan dua warga sipil Israel yang
masuk Jalur Gaza pada tahun 2014 dan 2015, yaitu Avera Mangistu dan Hisham
al-Sayed. Faksi ini juga masih menyimpan dua jasad tentara Israel yang tewas
pada perang Gaza tahun 2014. Dua tentara Israel itu adalah Oron Shaul dan
Hadar Goldin. Hamas diberitakan meminta
pembebasan 1.111 tahanan Palestina di penjara Israel dengan imbalan
pembebasan dua warga sipil Israel dan pengembalian dua jasad tentara Israel
itu. Israel sampai saat ini
memberi syarat tercapainya kesepakatan tukar-menukar tahanan antara Hamas dan
Israel bagi proyek pembagunan kembali Jalur Gaza. Karena itu, Mesir dan Qatar
memiliki kepentingan yang sama untuk menyukseskan transaksi tukar-menukar
tahanan antara Israel dan Hamas agar bisa segera dimulai proyek itu. Banyak titik temu
strategis Mesir-Qatar saat ini terkait isu-isu kawasan, khususnya Jalur Gaza,
yang mendorong kedua negara itu harus bergandengan tangan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar