Menyambut
Pembelajaran Tatap Muka, Mewujudkan Kesejahteraan Siswa Wahyu Widodo ; Mahasiswa S-3 Psikologi Pendidikan
Universitas Negeri Malang; Dosen Ilmu Pendidikan Universitas Tribhuwana Tunggadewi |
KOMPAS, 12 Juni 2021
Siswa telah menghabiskan
waktu belajar secara daring lebih dari satu tahun ajaran. Keadaan tersebut
dikhawatirkan oleh banyak pihak dapat mengakibatkan berkurangnya pengalaman
belajar siswa (learning loss). Tidak ingin hal itu terus terjadi, Menteri
Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi akhirnya menyalakan lampu hijau
untuk jalannya pembelajaran tatap muka di tahun ajaran baru 2021/2022. Lalu
bagaimana sebaiknya sekolah menyambutnya? Terhitung sejak Maret 2020
dengan disahkannya surat edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 3
tahun 2020, siswa tidak lagi merasakan atmosfer belajar di ruang kelas, riuh
tepuk tangan atas keberhasilan belajar tidak lagi terdengar, keakraban
pertemanan antar siswa tak lagi ditemui, bahkan siswa kehilangan momen saat
mereka pulang ke rumah dan menceritakan pengalaman bersekolahnya kepada
orangtua. Sungguh, pandemi memaksa
interaksi pembelajaran bermigrasi dari ruang kelas ke ruang maya. Transaksi
pikiran dan emosional diantara siswa-guru terwakili dengan teks dan mimik
wajah yang hanya terbingkai seluas layar ponsel. Pujian guru atas kinerja
siswa pun kadang tidak terdengar natural karena tersendat sinyal. Hasil riset Save the
Children dengan melibatkan 31.683 orangtua dan 13.477 anak dari 30 provinsi
di Indonesia mengungkapkan dampak pandemi pada sektor pendidikan sangatlah
mengkhawatirkan. Hal itu tergambarkan jelas dari temuan bahwa 8 dari 10 anak
mengatakan tidak dapat mengakses bahan belajar memadai, 4 dari 9 anak kesulitan
memahami PR, 7 dari 10 orangtua mengatakan bahwa anaknya belajar lebih
sedikit, dan 1 dari 5 anak mengatakan ”tidak ada yang bisa membantu saya”. Masih dalam laporan riset
Save the Children terungkap fakta bawa produktivitas kerja guru mulai menurun
(1 dari 4 orangtua mengatakan guru sama sekali tidak memantau anaknya dan
hanya 1 dari 12 anak yang dipantau setiap hari). Keadaan itu diperberat
dengan ketidaksiapan orangtua untuk sepenuhnya mendidik anak-anaknya di rumah
(www.stc.or.id). Hasil riset di atas
mengindikasikan betapa sumberdaya belajar siswa berangsur-angsur menghilang.
Maka benar dengan apa yang dikhawatirkan oleh banyak pihak terutama yang
dirasakan para guru bahwa pembelajaran daring membuat siswa berisiko
mengalami learning loss. Dinamika learning loss dapat dipahami dengan mengacu
pada Conservation of Resources (COR) Theory, yaitu keadaan yang menggambarkan
berkurangnya sumber daya psikologis yang dimiliki oleh seseorang sehingga
memicu stres dan perlunya tindakan segera mengembalikan sumber daya tersebut
(Hobfoll, 1989). Sumber daya siswa di
sekolah diantaranya adalah interaksi edukatif siswa-guru yang harmonis, rasa
kebersamaan diantara siswa, dan mudahnya akses materi pelajaran di mana semua
itu dapat meningkatkan perfoma dan hasil belajar siswa. Oleh karena itu,
ketika sumberdaya itu tidak lagi didapatkan, siswa mengeluh bosan, gelisah,
dan ingin segera kembali bersekolah. Merespons fenomena
tersebut, Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim pada akhirnya menegaskan semua
sekolah sudah bisa melakukan pembelajaran tatap muka mulai tahun ajaran
2021/2022. Lampu hijau dari Mas Menteri pun disambut dengan antusias oleh
masyarakat terutama oleh para siswa. Beragam persiapan protokol kesehatan di
sekolah terus dipenuhi pemerintah. Kesehatan
psikologis siswa Namun sebenarnya, bila
direnungkan lebih mendalam lagi dengan mengingat dampak pandemi tidak hanya
menyerang kesehatan fisik, tetapi juga kesehatan psikologis siswa, maka
persiapan yang dilakukan sekolah tidak cukup dengan menguatkan protokol
kesehatan fisik saja. Sekolah juga perlu menyiapkan protokol kesehatan
psikologis Penyiapan protokol
kesehatan psikologis, antara lain, pertama, perkaya munculnya emosi positif
selama pembelajaran tatap muka di kelas. Pekrun (2002) menyatakan bahwa emosi
positif dapat membantu siswa leluasa menetapkan tujuan belajarnya, membuat
pikiran lebih terbuka, melindungi kesehatan dengan memupuk resiliensi,
menciptakan engagement (keterikatan) dengan guru, teman, dan orangtua,
meningkatkan kemampuan regulasi diri, dan memandu perilaku kelompok, sistem
sosial, dan bangsa. Sekolah dapat menghadirkan
emosi positif dengan mulai menghentikan narasi pesimistik learning loss dan
menggantinya dengan narasi optimistik, learning gain. Siswa diajak untuk
tidak lagi merasa rugi atau kehilangan kesempatan atas apa yang mereka alami
selama pembelajaran daring, Sebaliknya, siswa
diarahkan untuk menumbuhkan penghargaan atas apa yang telah mereka raih
selama ini, seperti kemampuan literasi digital siswa yang terus bertumbuh,
termasuk meningkatnya kemandirian dan resiliensi. Mengajak siswa menulis atas
pengalaman yang mengesankan selama pembelajaran daring akan membuat ketautan
psikologis mereka berangsur-angsur pulih. Kedua, fokus pada
well-being siswa. Well-being siswa adalah keadaan yang mencerminkan siswa
yang bahagia dan berfungsi positif selama bersekolah. Meminjam model
konseptual School Well-being yang dirumuskan Konu and Rimpela (2002), upaya
menumbuhkan well-being siswa dapat dilakukan melalui penciptaan kondisi lingkungan
belajar di sekolah yang aman, terjaga kebersihannya, dan menerapkan protokol
kesehatan. Protokol kesehatan akan
membuat siswa tidak lagi merasa cemas dan dapat lebih berfokus pada situasi
pembelajaran dan perlahan-lahan memperbaiki bantalan emosional dan memperkuat
kelekatan sosial diantara siswa dan guru. Selanjutnya adalah dengan
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengupayakan pemenuhan diri melalui
sikap kepedulian yang ditunjukkan oleh semua anggota sekolah. Demikian juga, hubungan
siswa-guru-orangtua mulai dikuatkan kembali dengan memberikan ruang kepada
mereka untuk saling berbagi atas perjuangan mereka melalui masa-masa sulit
selama pembelajaran daring. Upaya lainnya yang dapat dilakukan oleh sekolah
tentunya adalah melatih siswa untuk selalu menjaga kesehatan melalui
pengunaan masker dan membudayakan bercuci tangan. Kebiasaan baru yang bila
tidak dijaga akan membuat siswa lengah. Ketiga, tingkatkan level
penggunaan teknologi tidak hanya sebagai media pembelajaran tetapi sebagai
bagian dari gerakan inovasi sosial di sekolah. Gerakan inovasi sosial dalam
hal ini adalah gerakan yang memanfaatkan teknologi sebagai cara baru
masyarakat memenuhi kebutuhan sosialnya. Mengapa hal ini penting?
Seperti yang diketahui, pandemi Covid-19 membuat pemerintah mempercepat
transformasi digital di sekolah-sekolah. Hal itu juga memaksa siswa mulai
terbiasa menggunakan teknologi. Padahal, di sisi yang sama juga banyak
ditemui permasalahan, seperti kurangnya akses internet, keterjangkauan
perangkat teknologi, dan kurangnya literasi digital. Bila penggunaan teknologi
itu tidak diiringi dengan adanya inovasi sosial, maka penggunaan teknologi
malah akan membuat siswa merasa tertekan. Gerakan inovasi sosial dapat
diimplementasikan dengan melibatkan para tokoh setempat untuk merumuskan
strategi, mengembangkan teknologi digital berkelanjutan, dan menyiapkan
sekolah untuk mulai adaptif dengan teknologi-teknologi baru, seperti data
semesta (big data), kecerdasan buatan (artificial intelligence), dan lainnya
yang sejenis. Keempat, meningkatkan
keterlibatan orangtua menjadi parental engagement (kelekatan orangtua).
Selama pembelajaran daring, para orangtua terlihat terus berjuang walaupun
dalam keterbatasan agar tetap dapat mendampingi belajar siswa sehari-hari.
Fenomena tersebut menggambarkan bahwa keterlibatan orangtua dalam
pembelajaran anak mulai tumbuh. Lalu kenapa kebiasaan baru
ini tidak dilanjutkan bahkan ditingkatkan menjadi sebuah parental engagement?
Orangtua yang terus melekat secara aktif dalam pembelajaran anak-anaknya?
Sebagaimana dilaporkan dalam sebuah penelitian yang diketuai Dr Lance
Emerson, parental engagement dapat meningkatkan produktivitas, prestasi dan
well-being siswa (Emerson, dkk, 2012). Maka dari itu, sekolah perlu merancang
program yang memberikan para orangtua pengetahuan dan keterampilan baru dalam
mendampingi belajar anak, menjaga keterlibatan orangtua melalui pemanfaatan
teknologi dan berorientasi pada upaya bersama mewujudkan well-being siswa. Akhirnya, momentum
kembalinya pembelajaran tatap muka pada dasarnya adalah momentum untuk menata
kembali fungsi sekolah, menguatkan peran orangtua, mengasah keterampilan guru
dengan berbagai teknologi baru, yang mana ujung dari itu adalah terwujudnya
well-being siswa. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar