Mengawal
Gerakan Literasi Nasional Eryana Triharyani ; Praktisi Perbukuan; Editor Buku |
KOMPAS, 15 Juni 2021
Indeks literasi suatu
bangsa berbanding lurus dengan tingkat kemajuan bangsa tersebut dan
kemampuannya untuk menjadi bangsa besar yang mampu bersaing secara global.
Masyarakat suatu bangsa dengan indeks literasi yang tinggi lebih mampu
mencapai kesejahteraan dan kemakmuran. Gerakan Literasi Nasional
(GLN), yang digiatkan oleh pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan sejak tahun 2016, hingga kini masih terus dibenahi. Melalui
berbagai kebijakan, pemerintah masih terus berupaya meningkatkan indeks
literasi nasional yang saat ini masih berada jauh di bawah negara maju. Tingkat ketersediaan buku
yang rendah merupakan salah satu faktor penghambat peningkatan budaya
literasi nasional, baik di lingkungan sekolah, keluarga, maupun masyarakat.
Di lingkungan sekolah, selain jumlah buku terbatas, buku-buku yang tersedia
juga kurang menarik minat baca siswa. Kualitas buku pun masih
jauh dari harapan. Beberapa kasus terjadi di mana buku-buku yang beredar di
kalangan siswa memuat konten yang tidak pantas, memuat konten negatif, atau
kurang sesuai dengan kognisi siswa di tiap jenjang pendidikan. Kurang tersedianya
buku-buku bermutu dengan jumlah memadai merupakan masalah krusial yang
membutuhkan perhatian semua pihak. Seperti disebutkan dalam buku Panduan
Gerakan Literasi Nasional yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan pada 2017, buku merupakan sarana penting bagi peningkatan semua
jenis literasi dasar. Buku bukan hanya digunakan untuk meningkatkan literasi
baca dan tulis, melainkan juga menjadi pintu masuk bagi penguasaan literasi
dasar lainnya, yakni literasi numerasi, literasi sains, literasi digital,
literasi finansial, serta literasi budaya dan kewargaan. Penilaian
buku dan keterlibatan praktisi Salah satu langkah yang
dilakukan pemerintah untuk mengatasi permasalahan ketersediaan buku dan rendahnya
mutu buku di lingkungan sekolah adalah dengan menyelenggarakan penilaian buku
teks maupun buku nonteks pelajaran. Melalui penilaian buku, pemerintah
menyeleksi dan menentukan buku-buku yang layak untuk digunakan di lingkungan
sekolah. Program penilaian buku
dapat menjadi penjaga gawang penjamin mutu buku sehingga buku-buku yang
beredar di dunia pendidikan adalah buku-buku yang bermutu. Selain itu,
program penilaian buku juga dapat mendorong penerbit-penerbit swasta untuk
memperbaiki mutu buku sehingga tetap dapat berkontribusi menyediakan
buku-buku di lingkungan sekolah dengan kualitas yang lebih baik. Program penilaian buku
nonteks pelajaran telah dilaksanakan selama beberapa tahun. Kemudian pada
tahun 2021, pemerintah melalui Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang dan
Perbukuan Kemendikbud kembali menyelenggarakan penilaian buku nonteks
pelajaran. Proses penilaian buku nonteks pelajaran pada tahun ini melibatkan
akademisi ataupun praktisi. Keterlibatan praktisi
dalam penilaian buku pendidikan merupakan hal baru. Para praktisi dilibatkan
dengan pertimbangan bahwa merekalah yang memiliki pengalaman langsung di
dunia penulisan dan penerbitan. Permasalahan dalam dunia perbukuan sangatlah
kompleks, banyak hal di dalamnya yang tidak dapat dipahami jika tidak
berkecimpung secara langsung. Praktisilah yang lebih memahami permasalahan
seputar penulisan buku dan penerbitan. Praktisi memahami
bagaimana proses penerbitan sebuah buku, mulai dari rekrutmen penulis,
edukasi penulis, penafsiran kurikulum (untuk buku-buku teks pelajaran),
proses penulisan buku, penyuntingan buku, layout buku, pencetakan,
penerbitan, hingga buku siap digunakan. Kepekaan untuk
mengidentifikasi adanya plagiarisme dan kesalahan dalam hal layout buku
adalah beberapa di antaranya. Pengalaman dan pengetahuan tersebut
memungkinkan praktisi mampu mengidentifikasi kelebihan ataupun kekurangan
sebuah buku, memutuskan apakah sebuah buku layak atau tidak layak digunakan
di lingkungan sekolah, serta dapat memberikan saran perbaikan. Obyektivitas
tim penilai Selain kompetensi untuk
menilai sebuah buku dengan tepat, obyektivitas merupakan syarat mutlak dalam
penilaian buku pendidikan. Obyektivitaslah yang dapat menjamin mutu buku dan
mencegah terjadinya kebocoran-kebocoran mutu, seperti adanya konten negatif
atau kurang sesuai dengan kognisi siswa. Tanpa obyektivitas, maka
dapat terjadi sebuah buku dengan mutu rendah dan memuat konten negatif tetapi
dinyatakan layak. Atau sebaliknya, buku-buku bermutu justru dinilai tidak
layak dan tidak dapat digunakan di sekolah. Untuk itu, setiap anggota tim
penilai harus mampu menjaga obyektivitas dalam menjalankan tugasnya. Tak dapat dimungkiri bahwa
sebagian besar praktisi pernah bernaung di bawah penerbit tertentu. Namun,
hal itu tidak menghalangi praktisi untuk tetap dapat bersikap obyektif ketika
bergabung dalam tim penilai buku pendidikan. Obyektivitas sesungguhnya lebih
merupakan komitmen pribadi dan bukan semata-mata didasarkan pada lembaga yang
menaungi. Seseorang yang bernaung di bawah sebuah penerbit pun tidak menutup
kemungkinan untuk secara pribadi tetap dapat berkomitmen menjaga obyektivitas
dalam penilaian. Kemampuan seorang calon
penilai untuk bersikap obyektif harus dijadikan salah satu pertimbangan utama
dalam proses rekrutmen calon penilai. Hanya calon penilai yang kompeten dan
mampu bersikap obyektiflah yang mampu menempati posisi penilai. Keberadaan
seorang penilai buku yang tidak mampu bersikap obyektif dalam sebuah tim
penilai sangatlah berbahaya. Mutu buku dan peningkatan budaya literasi
nasional menjadi taruhannya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar