Transparansi
Suku Bunga Kredit Adhi Nugroho ; Analis Bank Indonesia
Sumatera Utara |
KOMPAS, 5 Mei 2021
Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia, 19-20
April 2021, memutuskan kembali mempertahankan suku bunga acuan sebesar 3,50
persen. Kebijakan suku bunga rendah itu dibarengi dengan upaya transparansi
suku bunga dasar kredit atau SBDK perbankan guna mengurangi ketidakseimbangan
informasi (asymmetric information) di antara nasabah dan perbankan. Isu ketidakseimbangan informasi memang
selalu melekat pada industri perbankan. Kekurangmampuan bank dalam menilai
calon debitornya secara komprehensif cenderung menyebabkan tingkat suku bunga
kredit menjadi lebih tinggi daripada seharusnya. Selain itu, distribusi
informasi yang tidak berimbang dapat memperlambat respons perbankan terhadap
perubahan kebijakan suku bunga acuan bank sentral. Hasil kajian Dana Moneter Internasional
(IMF) menyebut kesenjangan informasi antara bank dan nasabah juga bisa memicu
peningkatan rasio kredit bermasalah. Kegagalan bank dalam menetapkan suku
bunga kredit yang tepat berdampak pada peningkatan biaya bunga yang harus
dibayar nasabah. Alhasil, risiko terjadinya gagal bayar kredit akan membesar. Di kalangan otoritas, ketidakseimbangan
informasi telah lama jadi topik hangat. Sebelumnya, BI telah membekali bank
dengan Sistem Informasi Debitor (SID), yang kemudian berganti nama menjadi
Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) dan dikelola Otoritas Jasa Keuangan
sejak 2018. Lewat SLIK, bank dapat mengecek riwayat kredit calon nasabah
sehingga mampu menilai profil risiko calon nasabah secara lebih adil dan
berimbang. Akan tetapi, upaya itu hanya dapat
mengurangi ketidakseimbangan informasi di sisi perbankan. Di sisi sebaliknya,
nasabah juga mengalami isu serupa. Kekurangtahuan nasabah soal kinerja bank
berpotensi menurunkan daya tawarnya di mata perbankan. Imbasnya, nasabah
memperoleh tingkat bunga kredit yang lebih mahal dibandingkan profil
risikonya. Melalui kebijakan transparansi SBDK ini,
masyarakat dan pelaku usaha dapat melihat dan membandingkan suku bunga kredit
yang ditawarkan oleh bank-bank. Pada gilirannya, penurunan suku bunga
kebijakan yang sudah ditempuh BI sejak Juli 2019 mampu ditransmisikan oleh
perbankan dalam bentuk penurunan suku bunga kredit yang lebih sepadan. Pada era resesi ekonomi seperti saat ini,
penurunan SBDK akan mendorong permintaan kredit dan membantu pemulihan
ekonomi. Respons
perbankan Dari sisi kredit, respons perbankan
terhadap penurunan suku bunga acuan BI memang belum cukup menggembirakan.
Penurunan nilai SBDK pada Februari 2021 baru sebesar 171 basis poin (bps)
dalam setahun. Padahal, sepanjang periode yang sama, penurunan suku bunga
deposito telah mencapai 200 bps. Dengan kata lain, perbankan masih memiliki
ruang yang cukup untuk kembali menurunkan SBDK-nya. Menurut kelompok bank, penurunan SBDK
tertinggi dicatatkan oleh bank BUMN, yakni sebesar 210 bps. Penurunan SBDK
pada bank pelat merah itu lebih tinggi daripada bank asing, bank pembangunan
daerah, ataupun bank swasta, yang secara berturut-turut sebesar 113 bps, 97
bps, dan 88 bps. Transparansi SBDK yang mulai dipublikasikan BI sejak April
2021 dapat membantu perbankan untuk menetapkan suku bunga kreditnya secara
lebih kompetitif. Adapun penurunan SBDK diperlukan untuk
memulihkan kinerja kredit yang masih lesu. Pertumbuhan kredit perbankan
Februari 2021 masih terkontraksi hingga minus 1,49 persen. Padahal, peran
intermediasi perbankan yang seimbang dan berkualitas sangat diperlukan untuk
mempercepat pemulihan ekonomi di masa pandemi. Selain pemulihan ekonomi, transparansi SBDK
juga menjadi prasyarat mutlak dalam menyambut era digitalisasi perbankan.
Bank dituntut bersikap terbuka demi mengimbangi laju teknologi informasi yang
berkembang pesat sehingga kecepatan dalam memproses pengajuan kredit calon
nasabah juga semakin cepat. Transparansi suku bunga dan kecepatan
proses itu dua alasan utama mengapa skema pembiayaan berbasis daring tumbuh
subur di Indonesia. Dalam praktiknya, upaya transparansi SBDK oleh BI tak
bisa berjalan sendirian. Upaya serupa perlu ditempuh perbankan. Bank
harus terbiasa memberikan informasi SBDK secara benar kepada nasabahnya,
termasuk informasi soal faktor-faktor yang memengaruhi pembentukan SBDK, seperti
harga pokok dana untuk kredit, biaya operasional (overhead cost), dan margin
keuntungan. Dengan begitu, struktur pasar kredit perbankan nasional akan
semakin kompetitif dan terbuka. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar