India
di Kubangan Kurusetra Putu Fajar Arcana ; Penulis Kolom “Sosial
Budaya” Kompas |
KOMPAS, 5 Mei 2021
Astinapura sedang berada di tubir
penderitaan. Perang besar sesama saudara yang terjadi sekitar 3000 tahun SM
di Kurusetra, niscaya akan menghancurkan silsilah keluarga Bharata. Tak ada
yang benar-benar selamat dari perang, apa pun dalihnya. Sore hari saat
matahari mendekati cakrawala, angin menerbangkan bau amis sampai ke tenda-tenda
yang koyak oleh senjata. Di sana-sini darah menggenang serta tubuh-tubuh
tergeletak penuh luka. Tak ada penguburan yang layak bagi para ksatria yang
bertempur habis-habisan atas nama membela negara.Seluruh wilayah kerajaan
tampak berangsur tenang, tetapi darah telanjur mengalir di seluruh negeri. Seratus Korawa telah musnah dengan
sempurna. Keangkaramurkaan, konon, telah sirna di muka bumi, terbenam bersama
sifat-sifat buruk para raksasa. Kau tahu, Kurusetra kini jadi saksi bisu
kehancuran sebuah peradaban yang telah dibangun selama berabad-abad. Dan
kehancuran selalu memicu penderitaan yang menyayat-nyayat hati seluruh
pelakunya. Astinapura telah jatuh ke lembah terdalam dari kubangan
kenestapaan. Pandawa memang memenangi perang
Bharatayudha. Kelima saudara sekandung Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan
Sahadewa, selamat dari amukan peperangan. Tetapi, apakah artinya Astinapura
setelah kehilangan banyak anak dan cucu, banyak saudara dan kerabat? Seluruh
wilayah kerajaan tampak berangsur tenang, tetapi darah telanjur mengalir di
seluruh negeri. Darah yang tumpah harus ditebus dengan
darah. Begitu bunyi hukum peperangan di Kurusetra. Kematian Gatotkaca di
tangan pamannya sendiri, Karna, membuat Arjuna geram, lalu menantang saudara
tirinya itu untuk perang tanding. Kehilangan Abimanyu yang dikeroyok oleh
seluruh Korawa membuat Bima serta para Pandawa geram, dan ingin membalaskan
dendam itu dengan darah. Begitulah selalu hukum perang, sampai kedua belah
pihak benar-benar binasa. Kurusetra, wilayah yang berada di India
Utara itu atau lebih dikenal dengan sebutan Uttara Kuru, sampai kini menjadi
saksi sebuah perang besar. Puing-puing
perang saudara selama 18 hari, yang mengorbankan jutaan ksatria dan rakyat
jelata itu, hari-hari ini bergolak kembali. Wilayah di hulu Sungai Gangga dan
Sungai Saraswati itu kini sedang ”diserang” pandemi, sosok raksasa sakti
mandraguna. Bukan hanya ksatria, tetapi terutama rakyat jelata tak luput
menjadi korban. Hampir seluruh rumah sakit di ibu kota
India, New Delhi dan kota padat, seperti Mumbai, tak berdaya menghadapi
ledakan kasus infeksi Covid-19. Dalam sehari pemerintah melaporkan terdapat
lebih dari 400.000 kasus baru dari seluruh negeri. New Delhi yang selama ini dikenal memiliki layanan kesehatan baik
harus lintang-pukang menghadapi serangan pandemi. Laman Worldometers melaporkan, India kini
menjadi ”penyumbang” kedua terbesar kasus-kasus Covid-19 di dunia.
Setidaknya, di negara itu tercatat lebih dari 19 juta kasus infeksi Covid-19
dan sudah lebih dari 200.000 orang meninggal dunia. Memang kasus tertinggi
sampai saat ini terjadi di Amerika Serikat dengan sekitar 33 juta kasus dan
dinyatakan meninggal lebih dari 500.000 orang, tetapi India sedang mengalami
shock berat. Setiap hari televisi dan kanal-kanal media
sosial menayangkan, rakyat yang tak berdaya mengakses rumah sakit. Tabung
oksigen yang jadi harapan pertolongan pertama pada kesesakan dada para
penderita nyaris tak tersedia. Astaga, tabung-tabung penyambung napas itu
justru jatuh ke tangan para calo, yang tega mencari keuntungan di tengah
penderitaan. Tragisnya, bahkan hanya untuk mendapatkan
tempat tidur yang layak agar bisa merawat sanak-saudara pun tidak tersedia di
seluruh rumah sakit. Rakyat kemudian ”berinisiatif” menggunakan mobil-mobil
yang diparkir untuk merawat orangtua dan keluarga mereka. Pemandangan lebih
horor lagi, seluruh krematorium di New Delhi tak sanggup lagi menampung
jenazah yang terus berdatangan. Banyak warga antre selama 24 jam untuk mendapatkan
krematorium. Sebagai bentuk penghormatan terakhir
terhadap orangtua dan sanak famili, banyak warga ”membangun” krematorium
darurat di jalan-jalan atau tempat parkir. Mereka kemudian menebang
pohon-pohon peneduh jalan untuk mengkremasi jasad keluarganya. Sedih saja,
seperti kata Putu Wijaya dalam novel Tak Cukup Sedih, mungkin benar-benar
sudah tak cukup lagi. Jikalau ada kesedihan paling dalam di hati manusia dan
kemudian menumpahkan air mata hingga membentuk anak-anak sungai, hari ini di
India-lah tempatnya. Aku ingin mengingatkanmu tentang sebuah
nasihat yang dituturkan oleh Krisna di saat-saat Arjuna ragu memasuki medan
laga. Di tengah kecamuk perang Bharatayudha, sebagai manusia Arjuna telah
mencium amis darah, telah melihat kehancuran dan penderitaan yang bakal
menjadi ”tsunami” dalam kehidupan bangsanya. Ia harus berperang dan sudah
pasti akan membunuh kakek, paman, saudara tiri, para guru, serta para
sepupunya. Apakah itu artinya ia akan menjemput
penderitaan? Secara sabar Krisna, antara lain,
menerangkan siklus kehidupan sebagaimana kemudian dituangkan dalam kitab
bernama Bhagawad Gita (Nyanyian Tuhan). //…Setiap kali keseimbangan alam
terkacaukan/dan ketakseimbangan mengancam keselarasan alam/maka Aku menjelma
dari masa ke masa/untuk mengendalikan keseimbangan alam/Aku ini bersemayam
pula di dalam dirimu/bahkan di dalam diri setiap mahkluk hidup/segala sesuatu
yang bergerak maupun tak bergerak// Arjuna bergeming, keraguan tetap
menyelimuti hatinya. Ia tidak tahu apakah harus meletakkan senjata atau
meneruskan peperangan. Krisna kemudian melajutkan: //Menemukan Sang Aku ini merupakan
pencapaian tertinggi/Dengan menemukan jati diri, Sang Aku Sejati/segala apa
yang kau butuhkan akan kau/peroleh dengan sangat mudah/Sesuai dengan sifat dasar
masing-masing…// India sedang berada di tengah kubangan
Kurusetra. Bangsa ini sedang berperang melawan diri sendiri. Akhir tahun 2020
ketika kurva orang-orang terinfeksi menurun drastis, banyak yang mengira
mereka telah berhasil memukul mundur ”musuh” di dalam dirinya. Bahkan, banyak
di antaranya telah merasa ”memenangi” peperangan dan kembali ke rumah-rumah
masing-masing untuk menyampaikan kabar gembira itu kepada sanak famili. Lalu
mereka menggelar upacara besar Kumbh Mela, bermaksud membersihkan diri dengan
air suci Sungai Gangga. Pembersihan diri (ruwatan) setelah dilumuri
kecemaran menjadi hakikat dalam kepercayaan. Upacara Kumbh Mela yang datang
setiap 12 tahun, digelar 10-14 April 2021 di kota Haridwar, negara bagian
Uttarakhand. Diperkiraaan puluhan ribu orang telah membersihkan diri dengan
mandi di tepi Sungai Gangga. Tak lama setelah itu, ribuan orang terinfeksi
positif Covid-19. Pelonggaran terhadap pengendalian diri telah mendorong
negeri ini ke jurang kehancuran. Ketika kemudian begitu banyak orang
menjalani penderitaan dan berada dalam masa-masa tergelap dalam kehidupan
mereka, aku ingin bertanya kepadamu: apakah ini wujud dari ketakseimbangan
itu? Apakah alam semesta, seperti katamu, akan kembali menuju pada titik
keseimbangan dengan kehadiranmu? Aku yakin, semua bermula dari kepercayaan
diri yang berlebihan. Kemenangan tak selalu membawa kegembiraan. Ketika
benar-benar merasa telah memenangi peperangan dengan membasmi angkara murka,
para Pandawa diikuti Drupadi kesepian. Mereka dicekam rasa bersalah yang tak
henti mengoyak diri. Oleh sebab itulah, Yudistira merasa ia sudah cukup
memegang tampuk pimpinan kerajaan. Lalu Astinapura diserahkan kepada
Parikesit, anak bau kencur yang masih dalam kandungan Dewi Utari, ketika
Bharatayudha berkecamuk. Ayahnya, Abimanyu, telah gugur dalam usia muda
ketika turut ambil bagian membela panji-panji kebenaran. Saat berjalan menuju pertapaan di Gunung
Himalaya, diawali tewasnya Drupadi, satu per satu Pandawa berguguran. Bukan
surga yang mereka raih, tetapi justru terlempar ke lumpur neraka. Klaim
kebenaran yang mereka perjuangkan dengan mengobarkan perang berakhir dalam
jilatan api yang berkobar-kobar. Begitulah yang terjadi pada
saudara-saudaraku di India hari-hari belakangan ini. Kebenaran yang telah
disuratkan dalam kitab-kitab tradisi dan telah dipercaya serta dijalankan
selama berabad-abad justru membuat banyak orang terperosok ke jurang
penderitaan. Bukankah Krisna berkata, menemukan Aku Sejati merupakan
pencapaian tertinggi? Benar memang, tetapi dalam perjalanan menemukan Sang
Aku Sejati itu, kau tidak bisa lepas dari Karma. Krisna berkata pula, bahwa
pencapaian itu sesuai dengan sifat dasarmu masing-masing? Bukankah begitu? Pada saat-saat berada dalam dilema
pencarian kebenaran itu, aku mengingat apa kata penyair besar Rabindranath
Tagore dalam sebuah puisi berjudul ”Izinkan”: //Izinkan aku berdoa bukan agar
terhindar dari/bahaya, melainkan agar aku tiada takut/menghadapinya/Izinkan
aku memohon bukan agar/penderitaanku hilang agar hatiku/teguh
menghadapinya/Izinkan aku tidak mencari sekutu dalam/medan perjuangan hidupku
melainkan/memperoleh kekuatanku sendiri/Izinkan aku tidak mengidamkan
dalam/ketakutan dan kegelisahan untuk diselamatkan/melainkan harapan dan
kesabaran untuk/memenangkan kebebasanku/Berkati aku sehingga aku tidak
menjadi/pengecut, dan merasakan kemurahanMu/dalam keberhasilanku semata;
melainkan/biarkan aku menemukan genggaman tanganMu/dalam kegagalanku// Aku saksikan onggokan kayu bakar berjejer-jejer di jalanan dan api menjilat-jilat
seperti hendak membakar langit. Perlahan tubuh-tubuh penuh derita itu luluh
menjadi abu. Ia melebur ke ruang hampa, menjadi bagian dari semesta, kembali
ke asal mula. Bukankah kitab suci menyebut pula: segala yang berasal dari-Ku,
setelah melalui bhakti yang murni akan kembali kepada-Ku…. Hidup, seperti kata Tagore, adalah medan
pencarian diri untuk mencapai keteguhan. Penderitaan tidak lenyap karena
lantunan doa-doa suci, tetapi menghilangkan rasa takut agar memperoleh
kekuatanmu sendiri. Semuanya hanya mungkin diperoleh dengan membentangkan
harapan dan mempertebal kesabaran, justru untuk memperoleh kebebasan sejati.
Aku yakin, kebebasan itulah sesungguhnya menjadi jalan penemuan Diri yang
Sejati itu. Semoga orang-orang yang kini terjebak dalam
penderitaan berangsur menemukan kesadaran Diri yang Sejati, diri yang
senantiasa mampu mengendalikan hawa nafsu dari rasa puas akan kemenangan;
rasa gembira akan keberhasilan; serta rasa sedih akan kegagalan…. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar