Serpihan
Asa KPK Azyumardi Azra ; Profesor UIN Jakarta; Advisor CIS
Hamad bin Khalifa University, Qatar |
KOMPAS, 27 Mei 2021
Masih adakah tersisa asa
publik pada Komisi Pemberantasan Korupsi Jilid V? Bisa juga pertanyaan
berbunyi lain: masih perlukah menggantungkan serpihan asa kepada KPK Jilid V
yang diketuai Firli Bahuri? Pertanyaan skeptis ini dan banyak pertanyaan lain
beredar di masyarakat, khususnya sejak
pertengahan April 2021. Sejak itu, KPK kembali berada di pusaran kegaduhan
yang semula internal, lalu melibatkan
aktivis dan lembaga antikorupsi, guru besar antikorupsi, serta
Presiden Joko Widodo. Kegaduhan itu terkait
penerbitan Surat Keputusan KPK Nomor
652 tertanggal 7 Mei 2021. SK kontroversial ini ditandatangani Ketua
KPK Firli Bahuri. SK menyebutkan, 75
pegawai KPK (dari seluruh 1.351 pegawai KPK)
tak memenuhi syarat dialihkan menjadi aparatur sipil negara (ASN).
Mereka dinyatakan gagal tes wawasan kebangsaan (TWK). Selanjutnya mereka diminta menyerahkan tugas dan
tanggung jawab kepada atasan masing-masing. SK ini mengandung ambiguitas. SK membebastugaskan 75 pegawai KPK. Walau disebut tak memenuhi syarat, mereka
tak secara eksplisit dipecat. Ambiguitas menjadi ”segitiga pengaman” bagi
pimpinan KPK ketika di tengah kontroversi kemudian menyatakan mereka tak
dipecat. Presiden Jokowi menyatakan
jelas dan tegas, pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN tak boleh
merugikan pegawai. TWK bukan
satu-satunya ukuran untuk memberhentikan 75 pegawai KPK yang tak lulus.
Namun, Presiden tak eksplisit melarang pemecatan. Apakah ini gimik?
Wallahualam. Presiden Jokowi hanya
menambahkan, ”Jika para pegawai memiliki kekurangan wawasan kebangsaan, dapat
dilakukan perbaikan. KPK harus memiliki SDM terbaik dan berkomitmen tinggi
dalam upaya pemberantasan korupsi.” Penegasan Presiden yang juga ambigu tidak
ditindaklanjuti pimpinan KPK. Meski menyatakan akan
mengikuti arahan Presiden, Ketua KPK tak mencabut SK penonaktifan 75 pegawai
KPK. Hal ini bisa saja disebut insubordinasi Ketua KPK sebagai bagian
eksekutif pada pimpinan eksekutif tertinggi, yaitu Presiden. KPK akhirnya mengumumkan keputusan ambigu; agaknya
sesuai isyarat Presiden Jokowi, baik eksplisit maupun implisit. Wakil Ketua
KPK Alexander Marwata seusai koordinasi pimpinan KPK dengan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi serta Kepala Badan Kepegawaian Nasional
mengumumkan 24 pegawai ”masih bisa dibina”. Sementara 51 lainnya memiliki
”rapor merah”, tak bisa lagi dibina; diberhentikan dari KPK menjelang 1
November. Tak jelas parameter
keputusan ini. Dalam pengumuman, disebutkan tiga aspek yang dinilai: aspek
pribadi, aspek pengaruh (dari pihak lain), dan aspek PNUP (Pancasila, UUD
1945 dan seluruh turunan aturan perundangan, NKRI, serta pemerintah sah).
Ukuran aspek ini bisa subyektif sesuai kepentingan pimpinan KPK. Bagaimana sikap Presiden
Jokowi terhadap keputusan ini? Apakah menganggapnya insubordinasi atau tidak?
Keputusan pimpinan KPK jelas mencerminkan sikap tak peduli atas oposisi
publik terhadap SK bebas tugas atas dasar tidak lulus TWK. Padahal, jelas
keputusan itu ketidakadilan terhadap
para pegawai KPK yang sudah bekerja lama.
Sebagian dari mereka adalah
aktor penting yang mengibarkan kiprah KPK memberantas korupsi. Dasar pembebasan tugas
mereka disebut tak terpenuhinya syarat setelah mengikuti TWK. Padahal, TWK
tidak dinyatakan, baik di UU
Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK
ataupun dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 sebagai syarat
pengalihan status pegawai KPK. Substansi yang diajukan di
TWK juga tidak memiliki hubungan terlalu jelas dengan wawasan kebangsaan.
Namun, malah mengandung berbagai prasangka dan pelecehan, baik terkait agama
maupun seks dan jender. Pembebastugasan 75
pegawai mengabaikan pula putusan
Mahkamah Konstitusi (MK). MK
menyatakan pengalihan pegawai KPK menjadi ASN tak boleh merugikan pegawai.
Menurut MK, mekanisme pengalihan status kepegawaian guna memberi kepastian
hukum sesuai kondisi faktual pegawai KPK. ”Sebab, pegawai KPK selama
ini telah mengabdi di KPK dan dedikasi mereka dalam pemberantasan korupsi
tidak diragukan”, demikian kutipan pertimbangan putusan MK. Sejak awal terbentuknya
kepemimpinan KPK Jilid V, banyak kalangan
skeptis dengan KPK. Dengan UU No 19/2019 yang merupakan revisi UU KPK
No 30/2002, KPK Jilid V mengandung ”cacat bawaan” sejak lahir. Dia adalah
produk UU KPK No 19/2019 yang
mengandung banyak substansi pelemahan KPK. KPK Jilid IV yang
terbentuk dan bergerak berdasarkan UU No 30/2002 mencatat rinci 26 poin UU
KPK No 19/2019 yang mengandung potensi
atau risiko melemahkan KPK. Poin-poin itu, misalnya, terkait kewenangan KPK,
prosedur penindakan yang lebih rumit,
peralihan pegawai KPK menjadi ASN, serta Dewan Pengawas yang bisa masuk ke
teknis penanganan perkara menyangkut penyadapan, penggeledahan, dan
penyitaan. Presiden Jokowi, banyak
anggota DPR, dan elite politik secara defensif menyatakan perubahan UU KPK
tidak untuk melemahkan KPK. Padahal, masyarakat sipil mengetahui ada upaya
bersama oligarki eksekutif, legislatif, dan partai politik memandulkan—jika
tak melumpuhkan—KPK sepenuhnya. Akibat pelemahan, KPK Jilid V yang dilantik
Presiden Jokowi pada 20 Desember 2019 sampai hampir pertengahan 2021 dinilai
banyak pengamat dan lembaga pemantau antikorupsi sebagai ”minim prestasi”.
Survei dan penelitian pun melaporkan tingkat kepuasan publik atas kinerja KPK
merosot. Akibat pelemahan dan
kinerja KPK yang jauh dari harapan, banyak kalangan memegang persepsi; ”ada
KPK sama saja dengan tiadanya” (wujuduhu ka ’adamihi). Namun, ada pula yang
memegang prinsip positif dengan memodifikasi kaidah Ushul Fiqh: ”Jika (KPK)
tak memberi harapan, jangan (KPK) ditinggalkan sama sekali.” Prinsip terakhir ini
membuat masyarakat tetap memberi perhatian; mereka masih memiliki serpihan
asa pada KPK. Untuk menghormati perhatian dan asa publik itu, semestinya
Ketua KPK Firli Bahuri dan jajarannya tak membuat kegaduhan publik yang bisa
berkepanjangan. Sebaliknya, pimpinan KPK
perlu lebih memusatkan segenap perhatian dan usaha pada konsolidasi KPK guna
menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan dari serpihan KPK. Hanya dengan cara
ini pimpinan KPK dapat sedikit banyak menyelamatkan asa tersisa kepada KPK
untuk pemberantasan korupsi di Tanah Air. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar