Aspek
Desain Kapal Selam dan Tragedi KRI Nanggala-402 Muhammad Hary Mukti ; Peneliti Desain Sistem Kapal Selam
University College London; Lulusan Program Profesi 2N MIT dan Ocean Engineering
Texas A&M, Amerika Serikat |
KOMPAS, 27 Mei 2021
Dengan pengalaman lebih
dari 50 tahun dalam pengoperasian kapal selam tanpa kecelakaan yang berarti,
musibah KRI Nanggala-402 merupakan peristiwa duka yang mendalam bagi keluarga
yang ditinggalkan, TNI, dan bangsa Indonesia. Kapal selam militer adalah
salah satu alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang sangat kompleks.
Tak banyak negara di dunia yang mampu mendesain, membangun, dan menjual kapal
selam secara mandiri. Kapal selam didesain tidak
hanya untuk dapat menyelam dan memiliki struktur yang dapat menahan ganasnya
tekanan air laut, tetapi juga untuk memenuhi berbagai kemampuan tempur,
membawa kru berhari-hari, dan untuk dioperasikan selama beberapa dekade. Tidak seperti kapal pada
umumnya, massa jenis kapal selam direkayasa sedemikian rupa agar besarnya
sama dengan massa jenis air laut di mana kapal selam itu akan beroperasi.
Sama seperti pesawat terbang, kapal selam juga didesain dengan sistem kontrol
yang kompleks sehingga dapat bergerak di ruang tiga dimensi, tetapi di bawah
permukaan laut. Sedikit saja kesalahan
pada aspek desain, teknis, dan atau pengoperasian kapal selam, dampaknya bisa
berakibat fatal pada keselamatan kapal selam. Kapal selam dirancang
untuk dapat beroperasi pada kedalaman tertentu yang dibatasi dengan kedalaman
runtuh struktur kapal selam atau collapse depth. Collapse depth bergantung
pada desain struktur dan material yang digunakan pada struktur badan kapal
selam. Semakin tinggi collapse
depth pada sebuah kapal selam militer, semakin tinggi pula harga atau biaya
pengadaan dan pemeliharaannya. Oleh karena itu, collapse depth kapal selam
militer hanya direkayasa pada rentang 200-700 meter. Kapal selam yang baru
sekalipun akan pecah menjadi beberapa bagian jika melampaui collapse
depth-nya. Untuk menghindari pecahnya struktur kapal selam karena melampaui
collapse depth, kapal selam modern sudah dirancang dengan dua mekanisme
kedaruratan: dinamis dan statis. Mekanisme dinamis dapat
dilakukan dengan catatan sistem permesinan, hidrolik, dan kelistrikan masih
dapat berfungsi dengan baik sehingga kemudi dan kecepatan kapal selam dapat
diatur untuk memberikan gaya angkat menuju ke permukaan laut. Sementara mekanisme statis
dapat dilakukan dengan atau tanpa adanya listrik di kapal, yaitu dengan
membuka katup pipa bertekanan tinggi secara manual untuk mengembuskan main
ballast tank atau tangki pemberat pokok sehingga kapal selam mendapatkan gaya
apung positif yang besar dan bergerak naik ke permukaan laut. Oleh karena itu, konsep
redundancy pada sistem kapal selam sangat krusial untuk memastikan mekanisme
kedaruratan tersebut dapat dilakukan. Reliabilitas sistem kapal selam juga
sangat penting, terutama katup-katup, pompa-pompa, dan pipa-pipa yang berada
di dalam lambung tekan kapal yang dialiri langsung oleh air laut, tunduk pada
tekanan air laut yang sangat besar. Jika sistem ini tak
dirawat dan diaudit dengan sangat ketat, potensi kebocoran pada lambung kapal
bisa meningkat. Skenario
Nanggala-402 Sejak KRI Nanggala-402
dinyatakan hilang kontak (sublook), mekanisme kedaruratan diharapkan dapat
dilakukan, sehingga meskipun kelistrikan pada kapal selam gagal atau
blackout, kapal selam dapat kembali ke permukaan. Namun, setelah Kepala Staf
TNI Angkatan Laut (Kasal) Laksamana Yudo Margono pada konferensi pers 22
April menaikkan status kapal selam menjadi submiss dengan estimasi persediaan
oksigen 72 jam, beberapa skenario dicermati. Salah satunya, menurut Laksamana
Yudo, adalah skenario pembuangan bahan bakar dengan sengaja untuk membuat
kapal selam melayang. Skenario lain yang
memungkinkan, KRI Nanggala-402 dapat bergerak menuju area continental shelf
atau dasar laut yang tidak terlalu dalam (kurang dari 200 meter) sehingga tak
melampaui collapse depth. Jika salah satu skenario
tersebut benar, masih ada kemungkinan kru KRI Nanggala-402 untuk dapat
melakukan penyelamatan mandiri ataupun diselamatkan. Prosedur escape atau
penyelamatan mandiri dapat dilakukan dengan menggunakan baju pelampung khusus
atau submarine escape immersion equipment (SEIE) MK11 yang dapat digunakan
hingga kedalaman 180 meter berdasarkan klaim pembuatnya, Survitec. SEIE tidak hanya
memberikan gaya apung, tetapi juga melindungi penggunanya dari serangan
hipotermia dengan membentuk kubah life raft ketika bergerak ke permukaan
laut. Akan tetapi, untuk menggunakan SEIE diperlukan pintu palka khusus
dengan sistem pengunci udara yang dikenal dengan escape trunk. Setiap escape trunk dapat
melepaskan dua sampai enam kru setiap peluncuran, bergantung pada desain dan
ukuran escape trunk. Sementara jika penyelamatan mandiri tidak dapat
dilakukan, submarine rescue chamber (SRC) atau deep-submergence rescue
vehicle (DSRV) dapat digunakan dengan syarat KRI Nanggala-402 harus memiliki
escape trunk atau palka dengan dudukan khusus yang memungkinkan SRC atau DSRV
menempel secara aman pada kapal selam sehingga dapat menyelamatkan kru yang
terperangkap di dalam badan tekan kapal selam. Akan tetapi, kenyataannya
di lapangan, KRI Nanggala-402 sudah melampaui collapse depth sehingga dapat
dipastikan badan kapal selam tidak akan kuat untuk menahan tekanan air laut
di luar dari yang sudah dirancangkan. Dengan temuan ini, status KRI
Nanggala-402 diubah dari submiss menjadi subsunk pada 24 April. Setelah ditetapkannya
status subsunk pada KRI Nanggala-402, rencana untuk mengangkat badan kapal
selam dari dasar laut, atau yang dikenal dengan istilah salvage,
dipertimbangkan dan diupayakan oleh pihak terkait. Namun, investigasi teknis
dan audit secara menyeluruh tetap dapat dilakukan terlepas dari dilakukannya
proses salvage. Investigasi tanpa proses
salvage pernah dilakukan oleh Amerika Serikat pada kasus tenggelamnya USS
Thresher 58 tahun lalu. Tim investigasi USS Thresher menemukan 166 fakta
(findings of fact), 55 analisis, dan 19 rekomendasi, yang di antaranya adalah
semua katup laut atau sea valve yang bertekanan tinggi harus dilengkapi
dengan sistem kendali hidraulis. Pada 1960-an, Angkatan
Laut AS juga sudah menemukan potensi bahaya gelombang bawah laut atau internal
wave pada kemampuan kontrol kedalaman kapal selam, terutama bagi kapal selam
yang beroperasi pada kecepatan rendah. Hal ini menunjukkan perlunya mengatur
kecepatan minimum pada pengoperasian kapal selam atau desain kapal selam yang
dilengkapi dengan tangki khusus untuk dapat menghadapi fenomena internal
wave. Sesuai dengan fungsinya,
kapal selam militer seharusnya sudah didesain untuk tetap dapat beroperasi
dengan aman meskipun terdapat fenomena internal wave. Temuan-temuan teknis
seperti inilah yang diharapkan muncul dari investigasi KRI Nanggala-402
sehingga dapat terbentuk suatu standar ataupun sertifikasi yang dapat
diimplementasikan pada fase desain, konstruksi, hingga operasi dan
pemeliharaan kapal selam Indonesia di masa depan untuk mencegah musibah
serupa terulang kembali. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar