Risiko
Label Teroris KKB Papua Aisah Putri Budiatri ; Peneliti LIPI,
Research Associate LP3ES, Mahasiswi S-3 di ASAFAS, Kyoto University |
KOMPAS, 6 Mei 2021
Langkah pemerintah menetapkan kelompok
kriminal bersenjata Papua sebagai teroris dikhawatirkan akan meningkatkan
kompleksitas akar konflik Papua. Berbasis riset panjang sejak 2004, Tim
Kajian Papua LIPI pada 2009 menerbitkan buku berjudul Papua Road Map yang
memetakan empat akar masalah Papua: problem sejarah dan status politik,
kekerasan dan pelanggaran HAM, kegagalan pembangunan, serta diskriminasi dan
marjinalisasi terhadap orang asli Papua (OAP). Pada 2017, Tim LIPI melakukan riset kembali
untuk melihat apakah akar konflik itu mengalami pergeseran atau perubahan
setelah kurang lebih delapan tahun Papua Road Map diterbitkan. Nyatanya, akar
konflik tak berubah, bahkan masih relevan hingga hari ini. Ada harapan besar agar pemerintah terus
bergerak maju menyelesaikan konflik Papua. Namun, kebijakan baru menyematkan
label teroris bagi kelompok kriminal bersenjata (KKB) Papua justru akan
menimbulkan risiko kompleksitas akar konflik Papua. Sebagai efek dominonya
kemudian, hal ini akan menjadikan langkah pemerintah dan aktor pro-perdamaian
Papua menjadi semakin sulit mengakhiri konflik Papua. Risiko
label teroris Setelah melalui perdebatan panjang, yang
sesungguhnya telah dimulai bertahun-tahun lalu, pemerintah melalui Menko
Polhukam Mahfud MD pada 29 April 2021 menetapkan KKB Papua sebagai teroris.
Penetapan ini dilakukan sebagai respons pemerintah terhadap kekerasan masif
yang dilakukan KKB belakangan ini di Papua. Namun, langkah ini tentunya tidak tanpa
risiko. Penetapan label teroris ini justru akan meningkatkan kompleksitas
tiga dari empat akar konflik Papua. Pertama, status teroris bagi KKB Papua akan
meningkatkan intensitas penggunaan pendekatan keamanan di Papua, yang akan
menimbulkan dampak lanjutan pada banyak hal. Menko Polhukam menyatakan agar
semua aparat keamanan bertindak cepat dan tegas di Papua serta tetap
berhati-hati agar tak menyasar masyarakat sipil. Pernyataan ini di satu sisi men-sinyal-kan
akan ada langkah lanjutan dari aparat keamanan untuk memburu KKB yang tentu
berisiko pada tak terputusnya siklus kekerasan di Papua, dan bahkan
berpeluang menimbulkan problem baru pelanggaran HAM. Di sisi lain, pemerintah
telah menyadari ada risiko ”menyasar masyarakat sipil” dari operasi keamanan
tersebut, yang memang tak dapat dipastikan tak akan terjadi. Trauma dan ketakutan masyarakat sipil atas
operasi keamanan, terutama di era Orde Baru yang belum terobati, bisa semakin
buruk setelah penetapan status teroris ini. Kedua, penetapan status teroris yang
diikuti operasi keamanan dapat menghambat pembangunan di Papua. Pada periode
pertama Jokowi, pembangunan infrastruktur menjadi sebuah langkah strategis
untuk mengatasi konflik Papua. Dan ini akan dilanjutkan pada periode kedua,
dengan fokus tak hanya pembangunan infrastruktur, tetapi juga pembangunan
manusia. Pada 2020, ribuan warga Distrik
Tembagapura, Kabupaten Mimika, yang khawatir pada situasi keamanan di wilayah
mereka, mengungsi ke wilayah lain. Situasi ini tentunya, berdampak pada
banyak hal lain: anak-anak tak dapat melanjutkan sekolah, warga sulit dapat layanan
kesehatan, dan otomatis, pembangunan infrastruktur, ekonomi, atau manusia di
distrik ini pun terhenti. Situasi ini dapat berulang kembali jika risiko
eskalasi kekerasan setelah penetapan status teroris ini sungguh-sungguh
terjadi. Ketiga, stigmatisasi dan diskriminasi baru
terhadap OAP, tak hanya bagi mereka yang ada di Papua dan Papua Barat, tetapi
juga di luar kedua provinsi ini. Sebelum ini, banyak insiden muncul yang
disebabkan oleh pelekatan stigma buruk terhadap OAP. Salah satunya, insiden
asrama mahasiswa Papua di Surabaya pada 16 Agustus 2019. Saat itu ada ucapan berbau rasial terhadap
mahasiswa Papua yang menyulut kemarahan orang Papua dan menimbulkan aksi
protes di banyak wilayah, bahkan hingga berdampak pada rusaknya fasilitas
publik. Stigmatisasi rasial menjadi masalah besar
yang dihadapi OAP dan label teroris terhadap KKB berisiko jadi label baru
yang disematkan pada orang Papua. Hal ini menjadi kekhawatiran Gubernur Papua
Lukas Enembe pada rilis pers 29 April. Ketiga risiko itu menambah kompleksitas
baru pada, setidaknya, tiga dari empat akar konflik Papua, yakni terkait
kekerasan dan pelanggaran HAM, pembangunan, dan diskriminasi di Papua.
Apabila ketiga risiko ini sungguh terjadi, langkah untuk menyelesaikan
konflik Papua akan semakin sulit. Strategi
dialog Tentu saja tak ada yang tak sedih dan
berduka atas kejadian kekerasan dan pembunuhan yang berulang kali terjadi di
Papua. Namun, sebagai respons atas hal tersebut, pemerintah perlu melihat
konteks konflik Papua secara lebih luas, tidak hanya pada kasus kekerasannya,
tetapi juga pada keempat akar konflik Papua. Pemerintah perlu melihat apakah langkah
yang diambil akan secara strategis menyelesaikan akar konflik Papua secara
menyeluruh dan apakah langkah tersebut berisiko pada kondisi empat akar
konflik Papua yang lebih buruk. Alih-alih memberikan respons yang
berorientasi pada hanya satu aspek dari empat akar konflik Papua, seperti
pada penetapan status teroris KKB Papua, pemerintah seharusnya melanjutkan
langkah dialog yang pernah digagas Presiden Jokowi pada periode pertama lalu. Pada 2017, Presiden menyatakan akan
menggunakan dialog untuk menyelesaikan konflik Papua dan menunjuk tiga
persons in charge untuk menyiapkannya: (alm) Pater Neles Tebay (Koordinator
Jaringan Damai Papua saat itu), Menko Polhukam (saat itu) Wiranto, dan Kepala
Staf Kepresidenan (saat itu) Teten Masduki. Namun, hingga saat ini, dialog belum juga
terlaksana. Padahal, dialog dapat menjadi pendekatan strategis untuk
menyelesaikan berbagai problem yang mengkristal pada empat akar konflik
Papua. Dialog dapat menghasilkan kesepakatan yang memiliki legitimasi kuat
karena prosesnya melibatkan berbagai pihak, baik pemerintah maupun elemen
masyarakat Papua. Dialog merupakan pendekatan penyelesaian
konflik dengan bertukar gagasan, dan bukan dengan kekerasan. Seperti selalu
disampaikan (alm) Muridan S Widjojo, peneliti LIPI, dan (alm) Pater Neles
Tebay bahwa ”dialog tidak membunuh siapa pun”. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar